Doa Kok Mengancam?

 

Mengawali dan mengakhiri pembelajaran dengan memanjatkan doa.


[Jombang, Pak Guru NINE]

“Pak, kenapa ya hati saya kok semakin tidak tenang menghadapi Ujian Nasional, padahal saya sudah shalat lima waktu, mengaji, puasa Senin Kamis, shalat Tahajjud dan shalat Dluha serta berdoa? Bukankah seharusnya hati menjadi tenang dengan mengerjakan ibadah-ibadah itu? Apa yang salah ya?”  tanya beberapa murid saya saat kami sedang lesehan  di musholla sekolah setelah mengerjakan shalat Dluha.

Menurut saya, sebenarnya pokok masalahnya bukan terletak pada berbagai ritual syari’ah yang telah dilakukan. Segala peribadatan itu adalah suatu kebaikan yang memang seharusnya menjadi gaya hidup umat Islam. Yang menjadi masalahnya adalah pemahaman dan sikap mental yang tidak tepat atas pelaksanaan ibadah ritual, khususnya doa.

Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhannya. Ini adalah aktifitas penghambaan manusia kepada Allah. Secara tersirat hal ini memberikan pengertian bahwa manusia berada pada kedudukan bawah yang selalu membutuhkan, sedangkan Allah pada kedudukan atas yang Maha mencukupi segalah kebutuhan makhluknya. Berdoa adalah proses penghambaan manusia kepada Tuhannya.  

Atas dasar itulah kita bisa sedikit memahami mengapa Allah memerintahkan kita berdoa dan mengecam orang yang tidak mau berdoa. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (TQS. Ghafir: [40] : 60).

Perintah Allah kepada hamba-hambaNya untuk berdoa pada hakikatnya bukan untuk kepentinganNya. Manfaat doa kembali kepada hamba itu sendiri. Janji Allah akan mengijabah doa setiap hambaNya semakin menegaskan bahwa manfaat perintah ini bukan untuk Allah, tapi semata-mata untuk yang berdoa.

Tidak berlebihan dikatakan bahwa orang yang enggan atau bahkan tidak mau berdoa adalah orang yang sombong (takabbur). Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika dalam ayat tersebut setelah adanya perintah berdoa, kemudian dilanjutkan dengan pernyataan tentang orang yang menyombongkan diri yang akan dicampakkan dalam neraka dalam keadaan hina-dina.

Kedudukan Allah adalah Tuhan Sang Pecipta, sedangkan segala selainNya, khususnya manusia adalah hamba yang diciptakan. Yang satu memiliki hak dan yang lain memiliki kewajiban yang tidak layak untuk saling ditukarbalikkan. Apa yang menjadi hak Allah jangan didudukkan pada manusia, sedangkan apa yang menjadi kewajiban manusia jangan ditempatkan pada kedudukan Allah.

Hak Allah adalah memerintah, sedangkan kewajiban manusia adalah menjalankan perintah. Hak Allah memberi, sedangkan kewajiban manusia adalah meminta. Hak Allah adalah melarang, sedangkan kewajiban manusia adalah menghindari larangan. Hak Allah adalah disembah, sedangkan kewajiban manusia adalah menyembah.

Perintah untuk berdoa adalah hak Allah. Karena Allah memerintahkannya, maka menjadi kewajiban bagi kita untuk melaksanakannya. Karena doa adalah perintah Allah, maka etika ruhani atau sikap mental yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berdoa adalah semata-mata patuh terhadap apa yang diperintahkan, bukan menuju apa yang diinginkan atau dihajatkan dalam doa.

Tentunya, derajat kepatuhan terhadap perintah Tuhan, jauh lebih tinggi daripada tercapainya hajat dengan doa. Mengapa? Jika kita patuh berarti kita mengutamakan Yang Memerintah, tapi jika tercapainya hajat yang menjadi tujuan, berarti kita menomerduakan Allah. Keagungan dan Kemahakuasaan Allah kita tukar dengan tercapainya hajat. Apa ya pantas itu kita lakukan kepada Allah?

Apakah salah kita punya hajat dan harapan terpenuhinya hajat dengan doa? Tentu tidak. Hajat kita terhadap sesuatu pada hakikatnya adalah pemberian yang datang dari Allah. Dengan diberi hajat berarti kita ditunjukkan kedudukan kehambaan kita. Seharusnya kita sadar hal ini, sehingga segera mengetahui kewajiban kita.

Ketika kita berhajat kepada sesuatu berarti Allah sedang menampakkan sifat kehambaan kita dan menampakkan sifat kesempurnaanNya. Jika kita merasa butuh berarti sifat kekayaan Allah ditampilkan kepada manusia. Dengan merasa butuh berarti kita sedang menempati kedudukan hamba. Dengan demikian kita bisa memahami bahwa sebenarnya, datangnya hajat pada diri kita adalah pemberian Allah yang luar biasa besar.

Alur mengapa akhirnya kita harus berdoa seperti ini harus kita pahami, agar kita tidak terbalik atau tersesat dalam memahami doa dalam bingkai tauhid. Jika tidak, maka mustahil kita dapat ikhlas dalam berdoa. Doa yang ikhlas adalah permohonan yang tidak memaksa Allah menuruti segala keinginan kita, namun sarana curhat kita yang lemah kepada Allah Yang Mahaperkasa atas segalanya.

Ciri doa yang tidak ikhlas adalah lebih menomersatukan perpenuhinya keinginan dan hajat daripada kemesraan curhat kepada Allah saat berdoa. Orang yang berdoa itu memaksa Allah mengabulkan segala yang diinginkankan. Seolah-olah dialah yang paling tahu bahwa keinginan itulah yang paling baik baginya. Seolah-olah, jika keinginan itu tidak terkabulkan, dia merasa telah gagal dan tidak bermakna. Akibatnya, Kemahaluasan Kasih Sayang dan Ilmu Allah dipaksa dibatasi oleh sempit dan piciknya akal pikiran yang berdoa semacam itu.

Alih-alih mendapat ketenangan hati, semakin serius dia berdoa dengan model ini, maka dapat dipastikan hasilnya adalah semakin tidak tenang. Bagaimana mungkin bisa tenang, jika doa dilakukan dengan memaksa dan mengancam. Doa yang tidak ikhlas hanya berbuah ketidaktenangan.

Bisa jadi, murid-murid saya yang bertanya tentang ketidaktenangan hatinya menghadapi Ujian Nasional meskipun telah berdoa dan meningkatkan ibadah ritualnya disebabkan ketidakikhlasan mereka. Mereka memaksa bukan berdoa. Mereka mengancam bukan memohon. Mereka menetapkan dan mutuskan bukan mengajukan usulan.

Mungkin seperti inilah model doa mereka. Ya Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Kasihinilah aku. Sebentar lagi aku menghadapi Ujian Nasional yang menentukan kelulusan. Aku mohon luluskanlah aku, entah bagaimanapun caranya. Engkau kan Mahakuasa. 

Jika sampai aku tidak lulus, pasti kedua orang tua aku sangat kecewa dan sedih serta marah kepada aku. Padahal aku sangat ingin berbakti dan membahagiakan mereka. Bukankah Engkau sendiri kan yang memerintahkannya?

Ya Allah berapapun nilai hasil Ujian Nasional yang aku peroleh, itu tidak masalah. Yang penting aku lulus. Sesulit apapun soal-soal Ujian Nasional yang aku hadapi, itu tidak masalah. Yang penting aku lulus. Segarang apapun pengawas Ujian Nasional yang aku temui, itu tidak masalah. Yang penting aku lulus.

Jika sampai aku tidak lulus, pasti aku malu sekali kepada kedua orang tua, guru, teman-teman dan semua orang. Mereka pasti menganggapku orang yang bodoh dan gagal. Betapa sedihnya hatiku, Ya Allah. Jika Engkau kasihan kepadaku, maka luluskanlah aku.   

Jika model doa mereka seperti itu, maka wajar jika hati mereka semakin tidak tenang. Berdoa kok mengancam! [pgn] 

Posting Komentar

0 Komentar