Pertimbangan Kami Memondokkan Anak

 

Santri Njoso adalah sebutan bagi santri Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, karena pesantren ini berada di desa Rejoso.

[Jombang, Pak Guru NINE]

Memondokkan anak di pondok pesantren tidak sama dengan menyekolahkan anak di sekolah atau madrasah pada umumnya. Memondokkan anak itu sangat khas karena ada pertimbangan kepercayaan penuh orang tua kepada kyai atau bunyai. Kepercayaan ini bersumber dari kemantapan hati calon wali santri dan atau calon santri kepada figur beliau-beliau atas keilmuan, khidmat, dan akhlaq. Setidak-tidaknya itulah pilihan sikap dan pertimbang saya dalam memondokkan anak kepada kyai atau bunyai.

Karena saya dan istri mengenal dan mantap dengan kyai dan bunyai pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Quran Sentul Tembelang, maka kami pun memondokkan Caraka Shankara ke pondok pesantren tersebut. Meskipun anak pertama kami ini hanya bisa mondok selama dua setengah tahun, sebelum akhirnya minta dipamitkan untuk boyong, namun kami tetap meyakini bahwa mondok baginya tetap lebih baik daripada tidak mondok. 

Namun, kami tidak bisa memaksakan kemantapan hati kami kepada anak kami yang sudah tidak kerasan lagi mondok di sana. Karena dialah yang menjalaninya, sedangkan kami hanya memfasilitasi, maka kami harus tegas menantangnya untuk tetap mondok ataukah boyong dengan segala konsekwensinya.

Ternyata dia milih boyong. Kami tentu kecewa. Namun, itulah pilihanya dan keputusannya yang membuat kami terus berfikir dan berusaha keras mencari tempat belajar baginya yang sesuai dengan bakat dan minatnya di luar pondok pesantren.

Figur kyai dan bunyai juga tetap menjadi  pertimbangan utama kami saat memondokkan Taliya Kayana, adik Caraka Shankara. Selama ini, saya tidak pernah memiliki ketertarikan memondokkan anak ke Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, namun karena saya mengenal KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi beserta istrinya dan hati saya telah mantap kepadanya maka saya pun akhirnya juga mantap memondokkan anak kedua saya kepada beliau-beliau.

Meskipun awalnya, anak kedua kami ini tidak berminat mondok, namun dia bisa berkompromi dengan arahan dan harapan kami. Dia pun mau dipondokkan dan disekolahkan di SMPN 3 Peterongan yang berada dalam lingkungan pondok pesantren itu.

Taliya Kayana akhirnya diterima menjadi santri di asrama Hidayatul Qur'an yang diasuh KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dan Nyai Hj. Laily Nafis dalam naungan Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Dia pun resmi menjadi Santri nJoso, sebutan khas santri di pesantren ini yang merupakan singkatan nama desa Rejoso, Peterongan.

Alhamdulillah, sekarang sepertinya ia telah kerasan mondok, meskipun di awal masa masuk mondok ia sering menyampaikan permintaan. "Yah, saya mondok hanya tiga tahun saja ya?",  pinta Taliya kepada saya. Permintaan itu beberapa kali disampaikan kepada kami.

Saya tidak menjawabnya dengan tegas, karena saya dan istri ingin anak-anak kami tetap mondok hingga jenjang SMA/MA. "Perjalanan belajar sampean masih lama. Nanti saja kalau menjelang lulus SMP, ayo kita musyawarahkan lagi. Sekarang nikmati saja masa belajar di pondok ini dan di SMPN 3 Peterongan.", jawab saya mengambang.

Saya dan istri sebenarnya memotivasi anak kedua kami untuk merintis menghafalkan Al-Quran. Selain karena pondoknya memang memberi perhatian lebih kepada program tahfidh Al-Quran, kami ingin anak-anak kami juga bisa lebih dekat dan intens dalam membaca dan mempelajari kitab suci ini.

"Ayah dan Bunda tidak menarget sampean harus khatam hafalan dalam waktu singkat. Namun kami ingin kalian selalu dekat dengan Al-Quran.", jelas saya kepada Taliya sebagai usaha untuk memotivasinya.

Pemberian motivasi ini bukan tanpa dasar. Kyai dan bunyai di pesantren ini keduanya adalah Hafidh dan Hafidhah yang setia menerima setoran hafalan dari santri-santrinya. Jika santri sering melakukan setoran hafalan, tentu akan terbentuk hubungan guru-murid yang lebih intensif. Hal ini tentu sangat baik dalam pembelajaran dalam pesantren.

Kami hanya sekadar memotivasi dan memfasilitasi. Kami tidak akan memaksa Taliya Kayana harus mengikuti keinginan kami. Bagi kami, kesediaannya mondok dengan segala dinamika di dalamnya adalah kebahagiaan tersendiri yang patut disyukuri. Kami yakin bahwa ini adalah bekal kehidupan yang paling berharga untuk masa depannya. [png]


Posting Komentar

0 Komentar