3 Catatan Telaah Regulasi Kesehatan Reproduksi

Diskusi gayeng antar sesama Santri Kaliwates.

[Jombang, Pak Guru NINE] – Tadi pagi saya mendapatkan pesan Whatsapp dari KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi (Gus Awis), selaku ketua umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang (Senin, 12/8). Beliau meminta saya untuk menelaah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.

Beberapa pasal dalam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 akhir-akhir ini direspon publik dengan berbagai penolakan. “Cabut atau Revisi!”, itulah respon tegas berbagai elemen masyarakat. Ada yang meresponnya dengan sikap tegas, namun asal-asalan menolak. Ada juga yang menolak berdasarkan persepsinya tanpa memperhatikan redaksi pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

Sebagai seorang Kyai yang intelektual, Gus Awis tidak mau DP MUI Jombang ikut-ikutan seperti itu. Ia ingin lembaga ini bisa memahamai masalah secara proporsional dan kontekstual, sehingga bisa bersikap secara obyektif dan berwibawa.

Setelah membaca Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 melalui file PDF yang ditampilkan di layar laptop, saya kemudian menyimpulkan bahwa sumber polemik ini berpusat pada pembahasan Kesehatan Reproduksi (Pasal 96 hingga Pasal 130). Pembacaan dan telaah sederhana ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana peraturan tersebut sesuai dengan norma agama dan memberikan rekomendasi penyesuaian jika diperlukan.

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 dirancang untuk meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi di Indonesia. Pasal-pasal yang mengatur kesehatan reproduksi dimulai dari Pasal 96 hingga Pasal 130. Tujuan ini jelas positif dan bertujuan untuk memastikan kesejahteraan individu melalui perawatan kesehatan yang lebih baik. Namun, sejumlah pasal dalam peraturan ini telah memicu kontroversi dan ketidakpuasan, terutama di kalangan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, apalagi pada pasal 98 disebutkan pernyataan penghormatan terhadap nilai agama.

Pasal 98 dalam Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa "Upaya Kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama." Pernyataan ini mencerminkan niat baik pemerintah untuk menghormati norma-norma agama dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Namun, ada beberapa pasal yang tampaknya tidak sepenuhnya selaras dengan norma agama, yang membutuhkan peninjauan lebih lanjut.

Ada tiga pembahasan hasil telaah yang telah saya lakukan, yaitu:

1.  Pelarangan Khitan Perempuan: Pasal 102

Salah satu pasal yang menjadi pusat perhatian adalah Pasal 102. Pasal ini mengatur tentang upaya kesehatan sistem reproduksi untuk bayi, balita, dan anak prasekolah, termasuk penghapusan praktik sunat perempuan. Dalam pandangan MUI, sunat perempuan merupakan bagian dari fitrah Islam dan syiar agama. Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 menjelaskan bahwa khitan perempuan adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Meskipun terdapat concern terhadap kesehatan dan keselamatan perempuan, pelarangan total tanpa mempertimbangkan pandangan agama bisa dianggap tidak menghormati keyakinan sebagian besar umat Islam.

Penghapusan praktik ini tanpa memberi ruang untuk pelaksanaan sesuai dengan syari'ah dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik dalam masyarakat yang memandang khitan perempuan sebagai bagian dari aturan agama. Pengecualian yang memungkinkan khitan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan agama dan memperhatikan aspek kesehatan perlu dipertimbangkan.

 

2.  Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah: Pasal 103 Ayat 4 e

Pasal 103 Ayat 4 e mengatur tentang pelayanan kesehatan reproduksi yang mencakup deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi. Penyediaan alat kontrasepsi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di sekolah-sekolah dinilai tidak sesuai, terutama untuk anak usia sekolah.

Pencantuman poin ini dalam peraturan dapat berpotensi mengarah pada distribusi alat kontrasepsi di sekolah yang dianggap tidak tepat dan kontraproduktif. Di era digital saat ini, edukasi mengenai kesehatan reproduksi bisa disampaikan melalui berbagai produk digital, baik berupa materi audio-video maupun realitas maya. Metode ini lebih efektif dan efisien daripada penyediaan alat kontrasepsi secara fisik, yang dapat menimbulkan persepsi negatif dan penyalahgunaan.

 

3.  Aborsi: Pasal 116 hingga Pasal 118

Pasal 116 hingga Pasal 118 membahas tentang aborsi, menetapkan larangan aborsi kecuali dalam kasus kedaruratan medis atau akibat tindak pidana perkosaan. Pasal 117 mendefinisikan kedaruratan medis sebagai kondisi yang mengancam nyawa ibu atau janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki. Pasal 118 menetapkan prosedur untuk membuktikan kehamilan akibat perkosaan.

Fatwa MUI Nomor 1/Munas VI/MUI/2000 mengharamkan aborsi kecuali dalam keadaan mendesak seperti untuk menyelamatkan nyawa ibu. Pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah ini perlu menyesuaikan diri dengan fatwa MUI agar kebijakan aborsi yang diterapkan selaras dengan prinsip-prinsip agama dan menghormati martabat manusia. Penyesuaian ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan norma agama dan dapat diterima oleh masyarakat.

 

Rekomendasi dan Penyesuaian

Berdasarkan pembacaan dan telaah di atas, saya kemudian melaporkan kepada Gus Awis tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 sebagai berikut:  

1.  Pengecualian Khitan Perempuan: Peraturan sebaiknya tidak melarang khitan perempuan secara total tetapi memberikan ruang untuk pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan agama. Penerapan khitan perempuan harus memperhatikan prinsip-prinsip syari'ah dan kesehatan.

2.  Penyediaan Alat Kontrasepsi: Pasal yang mencantumkan penyediaan alat kontrasepsi sebagai pelayanan kesehatan di sekolah-sekolah sebaiknya dihapus atau disesuaikan. Edukasi kesehatan reproduksi sebaiknya dilakukan melalui media digital yang lebih sesuai dan tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan.

3.  Kebijakan Aborsi: Pasal-pasal mengenai aborsi perlu disesuaikan dengan fatwa MUI untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan sesuai dengan prinsip agama dan menghormati martabat manusia. Prosedur dan definisi kedaruratan medis harus jelas dan konsisten dengan norma agama.

 

Dengan melakukan penyesuaian ini, diharapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 dapat mengakomodasi kebutuhan kesehatan reproduksi masyarakat secara efektif dan sekaligus menghormati norma-norma agama yang berlaku. Telaah ini bertujuan untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak hanya memenuhi standar kesehatan yang tinggi tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat. [pgn]

Posting Komentar

0 Komentar