Sambung Kenangan tentang Mohammad Fauzil Adhim

Judul buku karya Mohammad Fauzil Adhim inilah yang menjadi inspirasi nama Wacana Bawana sebagai nama anak ketiga kami. 

 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Hampir dua dekade berlalu, sejak saya terakhir kali bertemu atau berkomunikasi dengan Mohammad Fauzil Adhim. Saya menetap di Jombang, sedangkan beliau tinggal di Yogyakarta, tepatnya di Jln. Monjali Gg. Masjid Mujahadah RT 15 RW 40 Karangjati, Melati, Sleman, Yogyakarta. Kenangan saya terhadapnya tidak pernah pudar, terutama sejak masa kuliah saya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari tahun 1998 hingga 2002.

Saat itu, saya sudah akrab dengan berbagai karya tulisnya, baik yang tipis-tipis maupun tebal-tebal, yang membahas tentang parenting, rumah tangga, psikologi terapan populer, dan kepenulisan. Meski belum pernah bertemu langsung, saya merasa ada chemistry yang khas dengannya, terutama setelah mengetahui bahwa kami berdua berasal dari Jombang. Saya merasa dekat dengan penulis produktif buku-buku best seller tersebut.

Tak disangka, Allah SWT benar-benar mendekatkan saya dengan Mohammad Fauzil Adhim secara langsung di Janti, Yogyakarta. Pada waktu itu, saya sudah lama ngekos di dekat Masjid Al-Fitroh Janti, dan aktif menjadi direktur Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Babul Ulum yang ada di masjid tersebut. Suatu hari, saya melihatnya sedang shalat berjamaah. Ternyata, beliau baru saja pindah ke Janti. Saya tidak tahu pasti apakah beliau dan keluarganya saat itu mengontrak atau membeli rumah di situ. Yang pasti, saat saya masih tinggal di Janti, beliau juga bertempat tinggal di dekat Masjid Al-Fitroh. Anak-anaknya, termasuk Fathimatuz Zahra dan beberapa adiknya, ikut mengaji di TPA Babul Ulum itu.

Pertemuan tersebut menjadi awal dari kedekatan kami. Kami sering saling berkunjung dan bercerita, sehingga semakin mengenal satu sama lain sebagai sesama warga asal Jombang. Beliau meminta saya memanggilnya dengan sebutan Cak Fauzil, dan beliau memanggil saya dengan sebutan Cak Adien. Kedekatan ini menjadi semakin akrab seiring waktu.

Namun, pada awal tahun 2003, saya harus meninggalkan Janti dan kembali ke Jombang untuk berkhidmat sebagai guru di SD Islam Rooshon Fikr. Setelah itu, saya mendengar kabar bahwa Cak Fauzil Adhim pindah ke Jalan Monjali. Meski komunikasi kami terputus karena kesibukan masing-masing, saya sempat berkunjung ke rumah barunya di Jalan Monjali saat liburan di Yogyakarta. Di sana, beliau bercerita bahwa rumah tersebut adalah hasil dari khidmat intelektualnya dalam menulis berbagai buku best seller. "Alhamdulillah, Cak, ini hasil dari royalti buku," ujarnya dengan penuh syukur.

Setelah kunjungan tersebut, komunikasi kami benar-benar terputus. Hampir 20 tahun berlalu tanpa kabar, hingga pada Senin, 7 Juli 2024, saya mendapatkan direct message di akun Instagram saya @pakgurunine dari akun Instagram @wewanginabi dengan foto profil yang tidak asing lagi, yaitu Mohammad Fauzil Adhim. Saya sangat gembira dan segera membalasnya. Kami kemudian melanjutkan obrolan melalui chat WhatsApp.

Cak Fauzil Adhim ternyata tergerak untuk menghubungi saya setelah menerima flyer ucapan tahniah yang saya buat untuk Gus Kikin, alumnus SMPP 1976, yang terpilih sebagai ketua PWNU Jawa Timur masa khidmat 2024-2029. Cak Fauzil Adhim sudah kehilangan nomor WhatsApp saya karena memori ponselnya rusak. Beliau kemudian meminta nomor kontak saya kepada Mas Jalaluddin Hambali, sesama alumni SMAN 2 Jombang yang juga teman akrab Cak Fauzil Adhim. Mereka dulu aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler teater SANSESUS di SMAN 2 Jombang.

Saya sempat memberitahu Mas Jalaluddin Hambali bahwa nama anak ketiga saya terinspirasi dari salah satu judul buku karya Mohammad Fauzil Adhim, yaitu "Dunia Kata" yang diterbitkan oleh DAR MIZAN. Saya menggunakan bahasa Jawa dalam penamaan anak saya. "Dunia" dalam bahasa Jawa disebut "Buana" atau "Bawana", dan "Kata" menjadi "Wacana". Maka, anak ketiga saya dinamai "Wacana Bawana".

Cak Fauzil Adhim bercerita bahwa keluarganya ada yang tinggal di Sambong Santren. Jika ada acara di Jombang, beliau biasanya berkunjung ke rumah Sambong Santren. Saya mengabarkan kepadanya bahwa pada Sabtu, 31 Agustus 2024, insyaallah saya akan ada acara di Yogyakarta. "Semoga nanti saya bisa menyempatkan diri sowan lagi ke ndalem Njenengan di Monjali," jawab saya melalui chat WA.

Saya sangat bersemangat menulis profil Mohammad Fauzil Adhim ini bukan hanya karena telah mengenalnya, tetapi juga karena ia adalah salah satu alumnus SMAN 2 Jombang yang bisa menginspirasi banyak orang, khususnya murid-murid saya di SMAN 2 Jombang.

Mohammad Fauzil Adhim mulai menulis di media massa sejak SMP kelas 3, tetapi baru benar-benar menekuni menulis sejak masuk di SMAN 2 Jombang. Buku pertamanya ditulis saat masih belajar di SMP Negeri Kutorejo, Mojokerto. Buku tersebut tentang belajar bahasa Inggris secara mudah, namun tidak selesai. Buku yang benar-benar selesai dan diterbitkan pertama kali adalah pada akhir tahun kedua kuliahnya.

Lahir pada 29 Desember 1972 di Mojokerto, ia berasal dari keluarga yang sangat religius. Ibunya, Aminatuz Zuhriyah, berasal dari keluarga besar pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, sedangkan ayahnya berasal dari Pacitan, dari keluarga pesantren Termas. Perpindahan dari Pacitan ke Banyuwangi membawa masa kecilnya dalam lingkungan keluarga kyai, meski pesantren tersebut telah bubar.

Mohammad Fauzil Adhim menikah saat masih kuliah dengan Siti Mariana Anas Beddu, dan dikaruniai enam anak: Fathimatuz Zahra, Muhammad Husain As-Sajjad, Muhammad Hibatillah Hasanin, Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, Muhammad Navies Ramadhan, dan Safa. Pendidikan formalnya meliputi SDN Ketidur, SMPN Kutorejo, SMAN 2 Jombang, dan S1 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Karya-karya beliau mencakup berbagai topik, terutama tentang pernikahan dan parenting, seperti "Kupinang Engkau dengan Hamdalah", "Indahnya Pernikahan Dini", dan "Membuat Anak Gila Membaca". Salah satu isi mahar yang saya berikan kepada istri saya saat akad nikah adalah buku kompilasi karya Mohammad Fauzil Adhim yang berjudul "Kado Pernikahan".

Profil dan perjalanan hidup Mohammad Fauzil Adhim menjadi inspirasi yang berharga bagi banyak orang, termasuk saya. Semoga pertemuan kami yang akan datang dapat menjadi momentum untuk saling mendukung dan menginspirasi dalam setiap langkah kehidupan.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar