![]() |
Bapak Komari dan Ibu Munifah saat mendampingi istri saya yang mengikuti acara wisuda Sarjana S1 di Universitas Darul Ulum Jombang. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Pernikahan adalah perjalanan panjang
yang melibatkan dua hati, dua keluarga, dan sebuah komitmen untuk saling
berbagi kehidupan. Itulah yang saya rasakan ketika menikahi Hikmatun Ni’mah
pada Jumat, 26 Mei 2006. Di sebuah musholla indah yang bernama Roudhotun Najah,
di Kranji, Paciran, Lamongan, kami mengucapkan ikrar janji setia di hadapan
keluarga dan kerabat serta petugas dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Paciran,
Lamongan. Proses akad nikah yang sederhana namun penuh makna itu berlangsung
pada pukul 10.00 WIB, menjadi titik awal perjalanan hidup kami bersama.
Mengenang H. Komari, Bapak Mertua
Kranji, sebuah desa yang terletak di tepi pantai utara Jawa,
menjadi saksi bisu hubungan kami yang diawali dengan sebuah lamaran yang penuh
harapan. Ketika saya pertama kali datang ke rumah itu untuk melamar Hikmatun
Ni’mah, calon Bapak mertuaku, Komari, tidak ada di rumah. Beliau sedang bekerja
di Malaysia, sebuah negara yang sudah menjadi tempat mencari nafkahnya. Ibu
Munifah, sang calon ibu mertua yang bijak dan penuh kesabaran, menerima
kedatanganku dengan hangat. Dengan senyum ramah, beliau menerima maksud baik
saya dan akhirnya memberi izin untuk menikahi putrinya.
Pertemuan pertama saya dengan Bapak Komari baru terjadi beberapa
hari sebelum akad nikah. Saya harus datang ke rumah Kranji untuk menyerahkan
berkas administrasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pernikahan. Saat itu,
saya juga bermaksud menyerahkan biaya untuk penyelenggaraan pernikahan, tetapi
Bapak menolak menerima semuanya. “Karena pernikahan itu dijalani oleh kedua
belah pihak, maka biaya pernikahannya harus kita tanggung bersama,” ujar beliau
dalam bahasa Jawa yang halus, sambil mengembalikan separuh biaya yang saya
serahkan. Pada awalnya, saya merasa bahwa biaya pernikahan adalah tanggung
jawab saya sebagai calon suami, namun karena Bapak berprinsip seperti itu, saya
pun menghormati keputusannya dan akhirnya menerima.
Setelah menikah, saya dan istri saya mulai menjalani kehidupan
bersama di Jombang, sementara Bapak Komari kembali bekerja di Malaysia. Saya
menjadi guru di SMAN Ploso, sementara istri saya menjadi guru di SD Islam
Roushon Fikr Jombang. Pada tahun 2009, setelah beberapa tahun kami menikah,
Bapak dan Ibu Munifah akhirnya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Keberangkatan
mereka menjadi titik balik kehidupan beliau, karena setelah kembali dari tanah
suci, Bapak memutuskan untuk tinggal di kampung halaman dan menikmati masa
tuanya dengan beribadah serta mengisi hari-hari di Musholla Roudhotun Najah,
tempat yang selalu dekat di hatinya.
Namun, seiring berjalannya waktu, usia Bapak semakin lanjut dan
kesehatan beliau mulai menurun. Kakinya yang dahulu kuat untuk berjalan
perlahan mulai melemah. Bapak yang dulu tampak sangat tangguh kini harus
menghadapi kenyataan bahwa tubuhnya tak sekuat dulu. Meski demikian, beliau
tetap tegar. Ibu Munifah selalu setia mendampingi, memberi dukungan penuh, dan
menjaga dengan sabar.
Setiap kali liburan atau saat Idul Fitri, kami, keluarga besar dari Jombang, selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Kranji. Kami menganggap momen-momen ini sangat berarti untuk mempererat tali silaturahmi dengan keluarga besar di sana. Biasanya, pada H+2 Idul Fitri, kami bersama anak-anak dan keluarga lainnya pulang ke rumah Kranji, dan Bapak serta Ibu juga sering berkunjung ke rumah besannya. Suasana itu selalu penuh kehangatan, tawa, dan kebahagiaan yang tak ternilai. Rumah itu menjadi tempat di mana kami berkumpul, berbagi cerita, dan merasakan kedamaian yang datang dari kebersamaan.
Namun, pada awal tahun 2017, kesehatan Bapak semakin memburuk.
Puncaknya terjadi pada Rabu, 1 Februari 2017, ketika beliau harus dirawat intensif
di RS Suyudi Paciran. Senin, 6 Februari 2017, di tengah perawatan medis, beliau
akhirnya berpulang ke rahmatullah. Kepergian beliau meninggalkan kesedihan yang
mendalam, terutama bagi istri saya yang saat itu mendampinginya hingga akhir
hayatnya.
Saat kabar duka itu datang, saya dan anak-anak tengah berada di
rumah kami di Pacarpeluk, Jombang. Begitu mendengar bahwa Bapak telah meninggal
dunia, saya segera mengajak anak-anak, Caraka Shankara yang berusia 9 tahun dan
Taliya Kayana yang berusia 8 tahun, untuk ikut serta dalam prosesi pemakaman.
Kami berangkat dengan sepeda motor Shogun dari Jombang menuju Kranji,
perjalanan panjang yang penuh doa dan harapan. Saya menitipkan Wacana Bawana,
yang saat itu masih berusia 9 tahun, kepada ibu dan bapak yang juga akan segera
menyusul ke rumah duka di Kranji, Paciran.
Jenazah Bapak dishalati di Musholla Roudhotun Najah, tempat yang
telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kami. Setelah dishalatkan,
jenazah beliau dibawa menuju pemakaman umum desa yang terletak di tepi Jalan
Raya Paciran. Pemakaman itu terletak di kawasan yang tenang, di dekat pantai
utara, tempat yang seolah menjadi latar belakang peristirahatan terakhir Bapak
Komari. Alam yang tenang dan deburan ombak di pantai menjadi saksi bisu bagi
perjalanan hidup beliau yang penuh makna.
Bapak Komari adalah sosok yang sederhana, irit bicara, namun penuh
prinsip. Ia selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang diyakininya, salah
satunya adalah prinsip saling berbagi tanggung jawab dalam kehidupan, yang ia
terapkan pada pernikahan kami. Beliau tidak hanya memberi contoh dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam cara menghadapinya dengan penuh
keikhlasan. Kehilangan beliau adalah kehilangan yang mendalam, tetapi kami
selalu mengingatnya dengan rasa terhormat dan penuh cinta.
Meskipun kini beliau telah tiada, warisan nilai-nilai yang beliau
ajarkan tetap hidup dalam keluarga kami. Setiap kali saya melintas di jalan
menuju Kranji, atau ketika melihat musholla yang menjadi saksi perjalanan hidup
kami, kenangan akan Bapak Komari selalu hadir, mengingatkan kami tentang
pentingnya menjalani hidup dengan keikhlasan, tanggung jawab, dan rasa saling
menghormati. Bapak telah meninggalkan kami, tetapi jejak hidup beliau terus
mengalir dalam setiap langkah kami.
Mengenang Hj. Munifah, Ibu Mertua
Kehidupan keluarga di rumah Kranji, Paciran, Lamongan, tak lagi
sama sejak kepergian Bapak Komari. Kesedihan dan kehilangan mendalam mengubah
dinamika sehari-hari di rumah yang dulu penuh canda dan tawa. Ibu Munifah,
seorang perempuan tangguh, harus menghadapi kenyataan pahit tanpa kehadiran
pendamping hidupnya. Di tengah kerapuhan hatinya, masih ada dukungan dari mas
Rozi, anak tertua yang setia menemani di rumah itu. Dek Pur tinggal di rumah
Wedung, dan istri saya tinggal di rumah Jombang. Kehadiran keluarga dan kerabat
dekat yang sering berkunjung ke rumah Kranji menjadi pelipur lara bagi Ibu
Munifah, memberikan secercah cahaya di tengah duka mendalam.
Namun, duka mendalam tak berhenti pada kehilangan suami. Kehilangan
demi kehilangan kembali menghantam hati Ibu Munifah. Tak lama setelah itu,
saudara-saudara dekat yang selalu setia mengunjungi rumah, Wak Yu Karni, Man
Dullah, Man Muntahar, dan Man Munir, satu per satu berpulang ke hadirat-Nya.
Kepergian mereka tak hanya meninggalkan kesedihan tetapi juga mengosongkan
ruang kebersamaan yang selama ini menjadi penghiburan bagi Ibu Munifah. Mereka
bukan sekadar saudara, tetapi juga teman berbagi cerita, tempat bertanya, dan
sosok yang selalu menghormati serta menganggap Ibu Munifah sebagai panutan.
Duka yang bertubi-tubi berdampak signifikan pada kondisi kesehatan
Ibu Munifah. Beberapa kali kesehatannya menurun, hingga ia harus menjalani
perawatan di Rumah Sakit. Kejadian tersebut menyadarkan keluarga akan
pentingnya lebih intens memberikan perhatian dan kasih sayang. Istri saya, Hikmatun
Ni’mah, merasa terpanggil untuk lebih sering berkunjung ke rumah Kranji. Setiap
akhir pekan, ia menyempatkan diri datang, memastikan bahwa Ibu Munifah merasa
dicintai dan tidak sendirian. Kehadiran seorang anak perempuan, dengan sentuhan
dan kelembutan yang tidak bisa tergantikan oleh saudara laki-laki, memberikan
rasa aman dan kenyamanan yang mendalam bagi Ibu Munifah.
Awal November 2024 menjadi titik balik yang mengkhawatirkan.
Kesehatan Ibu Munifah semakin memburuk. Istri saya yang berada di Jombang terus
berkomunikasi dengan mas Rozi dan dek Pur, memantau kondisi kesehatan sang ibu.
Puncaknya terjadi pada tanggal 12 November 2024, ketika Ibu Munifah mengalami
insiden jatuh di kamar mandi. Rasa panik dan khawatir langsung menyelimuti
benak saya dan istri saya. Meskipun saya tidak bisa langsung datang karena
harus menghadiri rapat perdana sebagai ketua Penilaian Sumatif Akhir Semester Ganjil 2024/2025.
Saya sempat dilema, namun atas persetujuan istri, akhirnya saya diminta tetap
hadir di sekolah untuk rapat itu. Sebagai wakilnya, Bapak dan Ibu saya yang
berkunjung ke rumah Kranji bersama istri saya untuk menjenguk ibu yang sakit.
Sebelum berangkat ke rumah Kranji, istri saya
berpesan kepada saya, “Jika nanti keadaan Mak e memburuk, aku gak jadi ikut ke
Jakarta. Aku akan menemani Mak e.”
Alhamdulillah, sesampainya di
rumah Kranji, Ibu Munifah menunjukkan peningkatan kesehatan. Beliau bahkan bisa
makan dengan lahap ketika disuapi oleh istri saya. Keceriaan terpancar saat
menyaksikan video cucunya, Taliya Kayana, berjuara di Grand Final Lomba Cipta
Baca Puisi Festival Bulan Bahasa di MAN 2 Jombang. Meski tubuhnya lemah, ia
tetap bersemangat menyaksikan penampilan cucunya hingga beberapa kali bangkit
untuk melihat layar, kemudian berbaring lagi setelah selesainya video itu.
Ketika melihat ibunya menunjukkan tanda-tanda pemulihan, istri saya
merasa sedikit lega. Dengan berat hati, ia berpamitan untuk tetap melaksanakan
tugas Studi Tiru ke Jakarta, kegiatan yang telah lama direncanakan bersama
Yayasan Roushon Fikr dengan para pimpinan SD Islam Roushon Fikr. Dek Pur juga
berpamitan untuk kembali berdinas di Rumah Sakit Padangan Bojonegoro.
Selasa sore, 12 November 2024, Istri saya bersama Bapak dan Ibu tiba di rumah Pacarpeluk
sekitar pukul 19.30. Mereka membawa kabar menenangkan bahwa kondisi Ibu
Munifah, yang sebelumnya dikhawatirkan, insyaallah akan baik-baik saja.
Ketenangan ini memberi energi positif untuk menyongsong aktivitas keesokan
harinya.
Rabu pagi, 13 November 2024, saya mengantar istri
dan putra bungsu kami, Wacana Bawana, ke SD Islam Roushon Fikr. Wacana tampak
penuh semangat karena hari itu ia akan mengikuti kegiatan Kemah Mandiri di
Hutan Venus Trawas, Mojokerto. Sebagai bagian dari pendidikan karakter,
kegiatan ini disambutnya dengan antusias.
Malam harinya, giliran Taliya Kayana, putri kedua
kami, yang kami antar kembali ke asrama Hidayatul Quran di Pondok Pesantren
Darul Ulum. Setelah tiga hari istirahat di rumah, Taliya kembali melanjutkan rutinitas
belajarnya. Tanpa jeda, perjalanan berlanjut ke Stasiun Jombang untuk mengantar
istri menaiki kereta yang dijadwalkan berangkat pukul 20.15.
Kami tiba lebih awal, memanfaatkan waktu dengan
shalat Isya berjamaah di Masjid Agung Baitul Mukminin, yang berlokasi dekat
stasiun. Selesai shalat, kami menuju stasiun, di mana beberapa anggota
rombongan sudah berkumpul. Momen kebersamaan sederhana ini terasa begitu
berarti, meski padatnya aktivitas silih berganti.
Malam itu, istri saya bersama rombongan dari SD Islam Roushon Fikr
meninggalkan Jombang menuju Jakarta. Kepada saya, ia menitipkan doa agar
kondisi ibunya segera membaik.
Kamis, 14 November 2024, menjadi awal dari perjalanan tak
terlupakan dalam keluarga besar kami. Ibu Munifah, mendadak mengalami kondisi
kesehatan yang memburuk. Kabar dari Kranji terus mengalir, menyebutkan bahwa
kondisi Ibu Munifah kembali menurun. Setiap pesan yang masuk membuat hati istri
saya semakin gelisah. “Mas...Mak e kesehatan nne menurun. Doakan aku di tunggu
ya, kalau ada apa-apa,” tulisnya dalam pesan singkat yang disertai rasa takut
akan yang terburuk.
Dek Eli dan Mas Rozi segera membawa beliau ke Rumah Sakit Suyudi.
Sekitar pukul 15.20 WIB, ibu mulai mendapatkan penanganan medis, sementara Dek
Pur, yang saat itu berada di Bojonegoro, bergegas pulang untuk menuju rumah
sakit.
Pada hari itu, istri saya menerima pesan dari Dek Eli melalui
WhatsApp. "Mohon doanya mbak ibuk lumayan parah. Ini sudah di RS Suyudi.
Bismillah, semoga Allah memberi pertolongan." Istri saya bimbang.
"Mas...gimana? Apa aku pulang duluan malam ini? Atau aku tetap besuk
sore?” tanyanya.
Saya menjawab dengan tenang, "Sementara ini mending tetap pulang
sesuai jadwal saja. Kita berdoa semoga ibu segera mendapatkan pertolongan. Baru
kalau ada hal darurat, Njenengan harus pulang segera."
Istri saya mencoba mencari tiket kereta api malam itu, tetapi
semuanya sudah habis. Sementara itu, kondisi ibu semakin menurun, dan pihak
Rumah Sakit Suyudi memutuskan merujuk beliau ke RS Muhammadiyah Lamongan.
Menjelang pukul 23.00 WIB, ibu tiba di sana dalam keadaan yang semakin lemah.
Namun, takdir Allah telah ditetapkan. Pada Jumat dini hari, 15
November 2024, pukul 02.35 WIB, Dek Pur mengabarkan bahwa Ibu Munifah telah
berpulang. Pesannya singkat, namun penuh duka. "Ibu sudah meninggal.
Jenazah langsung kami bawa pulang ke rumah Kranji, Paciran untuk
disucikan." Mengingat ini adalah hari Jumat, Mas Rozi dan Dek Pur sepakat
agar jenazah ibu dishalati di Masjid Agung Kranji setelah shalat Jumat,
sehingga lebih banyak jamaah bisa turut serta.
Pagi itu, saya, Caraka Shankara, Wacana Bawana, Bapak Syamsul Huda,
dan Ibu Dewi Alfiyah berangkat ke rumah duka. Perjalanan kami dimulai pukul
07.30 WIB. Istri saya tidak bisa ikut, karena kereta api yang membawanya baru
akan tiba di Jombang pada Sabtu dini hari.
Setibanya di rumah duka pukul 10.30 WIB, suasana haru menyelimuti.
Jenazah ibu telah dimasukkan ke dalam keranda. Sekitar pukul 11.00 WIB, keranda
diarak menuju Masjid Agung Kranji. Shalat Jumat itu dipimpin oleh Kyai Syafi’,
yang kemudian juga menjadi imam shalat jenazah. Dalam khutbahnya, beliau
menyampaikan rasa kehilangan mendalam atas wafatnya Ibu Munifah dan mendoakan agar
beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah.
Setelah itu, jenazah ibu diantar menuju pemakaman yang telah
disiapkan. Tempat peristirahatan terakhirnya bersebelahan dengan makam almarhum
Bapak Komari. Dalam prosesi pemakaman, Mas Rozi turun ke liang lahat untuk
mengumandangkan adzan dan iqamah, diiringi suasana haru dari para petakziyah
yang menyaksikan. Man Zainul, seorang modin desa, membacakan talqin,
mengingatkan kepada semua yang hadir akan kehidupan yang fana ini.
Setelah prosesi pemakaman selesai, kami kembali ke Jombang pada
sore hari. Namun, perjalanan duka kami belum selesai. Pada malam itu, saya
bersiap menjemput istri di Stasiun Kereta Api Jombang pada pukul 02.30 WIB untuk
kemudian bersama-sama kembali ke rumah duka di Kranji, Lamongan.
Hingga tujuh hari setelah wafatnya Ibu Munifah, rumah duka terus
dipenuhi para petakziyah. Tidak hanya keluarga besar, tetapi juga para sahabat
dan kolega datang silih berganti memberikan penghormatan terakhir. Banyak yang
mengenang beliau sebagai sosok yang lembut, penuh kasih, dan menjadi teladan bagi
keluarganya.
Wafatnya Ibu Munifah pada Jumat Legi memberikan kesan istimewa.
Dalam tradisi Jawa, Jumat Legi adalah hari yang penuh berkah. Ibu berpulang
dengan cepat setelah sakit yang singkat, tanpa menyusahkan banyak orang. Banyak
yang merasa kehilangan, tetapi kehadiran para pelayat yang begitu banyak
menjadi tanda bahwa hidup beliau penuh makna dan cinta.
Kami terus mendoakan beliau. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan maghfirah-Nya, menempatkan beliau di surga-Nya, dan menerima segala amal ibadah beliau. Aamiin.[pgn]
0 Komentar