![]() |
Penampilan Taliya Kayana didukung penuh ayah, tante, guru dan teman-temannya. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Taliya Kayana kembali membawa nama SMP Negeri 3 Peterongan
dalam panggung lomba Geguritan tingkat kabupaten Jombang. Setelah berhasil
meraih juara 1 bersama dengan timnya di Musabaqoh Syarhil Quran (MSQ) yang
digelar oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, kali ini ia
terpilih menjadi delegasi sekolahnya dalam lomba Geguritan, membaca puisi
berbahasa Jawa. Kegiatan yang berlangsung di halaman depan kantor Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang pada 5 November 2024 ini menjadi
ajang pembuktian kebanggaannya terhadap bahasa dan budaya Jawa. Tak hanya
sekadar tampil, lomba ini menguji kemampuannya membawakan puisi berbahasa Jawa
dengan penjiwaan yang mendalam.
Panitia
lomba sudah menentukan beberapa judul puisi, di antaranya adalah "Wong
Jowo" karya Suripan Sadi Hutomo, “Balada Sarip Tambakyasa” karya Joko
Lelono, “Bumiku Ya Bumimu” karya Arista Widya, dan “Ngasag” karya Lesmaniasita.
Setelah membaca dan mempertimbangkan masing-masing puisi, guru pembimbing
menyarankan Taliya memilih "Wong Jowo" karya Suripan Sadi Hutomo.
Puisi ini tidak hanya menggugah, tapi juga menyentuh isu penting tentang
identitas budaya Jawa di tengah arus globalisasi.
Makna
“Wong Jowo”
Puisi
"Wong Jowo" mengangkat tema identitas Jawa, mempertanyakan pengaruh
budaya Barat yang mulai merambah nilai-nilai lokal. Suripan Sadi Hutomo dengan
cermat mengolah kata-kata menjadi sebuah pertanyaan besar: "Apa masih
relevan nilai-nilai budaya Jawa di tengah derasnya pengaruh budaya Barat?"
Puisi ini menggugah pembacanya untuk merenungkan pentingnya menjaga budaya yang
menjadi akar diri. Kalimat seperti "Wong Jawa aja jawal" dan
"Jawa jawal Jawane kadhal" menunjukkan peringatan agar orang Jawa
tidak melupakan akar budayanya, tidak sekadar mengikuti modernisasi tanpa
panduan.
Taliya
menghayati setiap larik dari puisi ini, membayangkan perjuangan budaya Jawa
mempertahankan jati diri di tengah persaingan zaman. Baginya, puisi ini
mengajarkan kesadaran bahwa budaya adalah pondasi penting dalam menghadapi
dunia yang terus berubah. Tak hanya sekadar menghafal, ia berlatih membacakan
puisi ini dengan penjiwaan agar maknanya sampai ke penonton dan, terutama, pada
juri lomba.
Persiapan
yang Tidak Mudah
Meskipun
sudah berpengalaman di panggung, perasaan grogi tak dapat dielakkan.
Sesampainya di lokasi lomba, Taliya langsung merasa gelisah. Ia bahkan sempat
mondar-mandir dan mencari sudut yang tenang untuk menenangkan diri. Saat
mendekati giliran tampil, rasa groginya makin terasa, bahkan ia sempat harus ke
kamar mandi untuk menenangkan diri. Saya dan dek Rista Farida yang berkesempatan mendampinginya,
turut merasakan ketegangan yang ada di wajahnya, tapi juga yakin bahwa Taliya
akan tampil dengan baik.
Khusus
untuk momen ini, saya sengaja membawakan microphone wireless agar bisa merekam
penampilannya dengan suara yang lebih jernih. Saya ingin merekam setiap kata,
intonasi, dan ekspresi Taliya saat tampil di panggung, menjadikan momen ini
sebagai dokumentasi berharga perjalanan kariernya di dunia seni baca puisi.
Penampilan
yang Penuh Pesona
Pada
pukul 13.30 WIB, Taliya mendapatkan giliran untuk tampil. Ia mengenakan busana
kebaya hitam dipadu dengan sarung batik parang berwarna putih hitam dan jilbab
hitam. Rangkaian aksesoris bros berwarna emas menambah anggun penampilannya di
panggung. Ia tampil dengan percaya diri, membaca puisi "Wong Jowo"
dengan gaya yang khas dan berkarakter.
Dengan
intonasi yang terukur dan penekanan kata-kata yang tepat, Taliya membacakan
puisi tersebut dengan penuh penjiwaan. Setiap baris puisi yang diucapkannya
seakan menancap kuat di hati para penonton. Rasa bangga akan budaya Jawa terasa
dalam setiap ekspresi wajahnya. Meskipun tetap terselip ketegangan, Taliya
mampu mengatasi rasa gugupnya dan tampil maksimal.
Namun,
meski sudah tampil sebaik mungkin, saya paham betul bahwa perlombaan ini sarat
dengan penilaian subyektif dewan juri kompeten yang diberi kewenangan mutlak.
Beberapa peserta lain juga tampil dengan sangat baik, masing-masing membawa
karakter yang kuat dan keunikan tersendiri dalam membawakan puisi Jawa. Saya
mengingatkan Taliya untuk tetap berlapang dada apapun hasil yang nanti
diumumkan.
Lomba
yang Sarat Persaingan
Seusai
penampilan Taliya, saya sempat melihat beberapa peserta lain yang tampil tidak
kalah bagus. Beberapa di antara mereka benar-benar menguasai panggung, sehingga
saya sadar bahwa persaingan kali ini cukup ketat. Dalam hati, saya tetap
berharap agar penampilan Taliya dapat memikat hati para juri.
Sore
harinya, saya mencoba bertanya pada panitia mengenai hasil lomba. Panitia
memberitahukan bahwa Taliya berhasil meraih juara harapan 1. Meski belum
berhasil menjadi juara utama, pencapaian ini sudah menjadi kebanggaan
tersendiri bagi Taliya dan sekolahnya. Apalagi, ini adalah pengalaman berharga
bagi Taliya untuk terus mengembangkan kemampuan dan ketekunannya di bidang seni
baca puisi berbahasa Jawa.
Merawat
Jiwa Jawa dalam Jiwa Muda
Bagi
Taliya, lomba ini bukan hanya soal kemenangan, tapi juga pengalaman berharga
untuk merasakan lebih dalam makna budaya Jawa. Di era yang semakin global ini,
mempertahankan akar budaya tidaklah mudah. Tantangan modernisasi yang sering
kali menggoda generasi muda untuk mengadopsi budaya asing membuat nilai-nilai
budaya lokal menjadi sedikit terabaikan. Namun, Taliya dan anak-anak muda lain
yang mengikuti lomba Geguritan ini adalah bukti bahwa jiwa-jiwa muda masih
memiliki tempat untuk budaya leluhurnya.
Taliya Kayana telah menunjukkan bahwa budaya Jawa tetap relevan dan dapat dinikmati oleh generasi muda. Melalui puisi, ia mampu mengekspresikan perasaannya tentang pentingnya menjaga identitas budaya di tengah modernitas. Momen ini akan menjadi kenangan berharga baginya, dan semoga menjadi penyemangat untuk terus menekuni seni, khususnya seni baca puisi berbahasa Jawa.Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari lingkungan, Taliya akan terus berkarya, menjadi bagian dari generasi muda yang merawat dan memperkaya budaya Jawa. Terlepas dari hasil juara atau tidak, ia telah berhasil menyampaikan pesan penting bahwa jiwa Jawa harus tetap hidup di setiap generasi. Melalui Geguritan, ia dan anak-anak muda lain menunjukkan pada dunia bahwa budaya Jawa tidak akan pernah lekang oleh waktu.[pgn]
0 Komentar