![]() |
Kidung Santri: Hikayat Santri dalam Bait Puisi |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Salah satu sosok yang selama ini dikenal sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam dan
Budi Pekerti yang gemar berliterasi adalah Nine Adien Maulana. Guru SMAN 2 Jombang ini memiliki hubungan yang istimewa dengan
dunia sastra, meskipun ia mengaku dirinya hanyalah seorang penikmat. Sejak
masih menimba ilmu di MAPK-MAKN Jember, Nine telah menggemari menulis dan
membaca puisi. Namun, baginya, puisi lebih sekadar menjadi media untuk
mengekspresikan perasaan dibandingkan karya seni serius. Tanpa keinginan
menjadi penyair atau sastrawan, ia lebih memilih menyelami buku-buku nonfiksi
untuk mengeksplorasi sisi intelektualnya.
Namun, kehidupan memiliki cara untuk mengubah orientasi seseorang. Setelah berkeluarga dan menjadi ayah, Nine mendapati inspirasi baru melalui anak keduanya, Taliya Kayana. Taliya, yang saat ini menempuh pendidikan di asrama Hidayatul Quran Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, menunjukkan bakat potensial dalam cipta dan baca puisi. Prestasi Taliya dalam bidang ini menjadi pemantik semangat baru bagi Nine untuk menggagas sebuah proyek sastra yang tak hanya mendukung putrinya, tetapi juga mencerminkan perjalanan dan pemaknaan kehidupan santri.
Proses Kreatif yang Tak Biasa
Pondok pesantren, dengan segala aturan yang
melekat, menjadi tantangan unik dalam proses penyusunan antologi puisi ini. Di
asrama Hidayatul Quran (HQ), santri tidak diperkenankan menggunakan smartphone
atau laptop. Aturan ini, meski bermanfaat dalam membentuk kedisiplinan dan
kemandirian, memaksa Nine dan Taliya untuk mencari cara kreatif agar tetap bisa
berkolaborasi.
Nine berperan sebagai “sutradara” dalam proyek
ini. Ia menyusun kisi-kisi tema yang akan dituangkan dalam puisi, kemudian
menyerahkannya kepada Taliya untuk diterjemahkan dalam bait-bait puitis. Taliya
menuliskan hasil karyanya di buku tulis. Melalui jasa peminjaman ponsel, ia
memotret halaman-halaman tersebut dan mengirimkannya kepada ayahnya. Ada
kalanya ia juga mengirimkannya melalui surat elektonik atau direct message instagram.
Puisi-puisi itu kemudian diedit oleh Nine. Ia
menyempurnakan pilihan kata, membangun metafora yang lebih kaya, dan memastikan
tiap bait memiliki makna yang dalam. Proses ini tidak hanya menjadi sarana
komunikasi, tetapi juga jembatan emosional antara ayah dan anak. Sebuah
hubungan yang tak hanya berbicara melalui kata, tetapi juga melalui makna.
Penghormatan dan Pengabdian
Proyek ini sementara diberi judul “Kidung Santri:
Hikayat Santri dalam Bait Puisi”. Secara garis besar, buku ini berisi refleksi
perjalanan Taliya selama menjalani kehidupan di pesantren, dari masa-masa
adaptasi awal hingga mencapai peningkatan spiritual dan intelektual.
Puisi-puisi ini menjadi medium untuk menggambarkan
suka duka, perjuangan, dan pelajaran hidup yang dirasakan Taliya. Lebih dari
sekadar karya sastra, antologi ini diharapkan menjadi kenang-kenangan berharga
untuk almamaternya, SMP Negeri 3 Peterongan, serta hadiah khidmat kepada para
guru, kiai, dan nyai yang telah berjasa mendidik dan membimbingnya.
Nine percaya bahwa menulis adalah bentuk khidmat.
Dengan menyusun antologi puisi ini, ia ingin memberikan sesuatu yang lebih dari
sekadar kebanggaan pribadi. Buku ini, baginya, adalah penghormatan bagi tradisi
pesantren, refleksi dari nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan santri, dan
warisan sastra yang dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Tradisi Sastra Pesantren
Tradisi sastra di pesantren sebenarnya bukan hal
baru. Dalam sejarahnya, banyak kiai dan ulama pesantren yang juga merupakan
penyair ulung. Puisi menjadi medium untuk menyampaikan nilai-nilai keislaman,
refleksi kehidupan, dan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Melalui
"Kidung Santri", Nine dan Taliya turut serta menghidupkan kembali
tradisi ini.
Buku ini diharapkan menjadi jembatan antara dunia
pesantren dan masyarakat umum. Dengan bahasa yang puitis namun mudah dipahami,
antologi ini mampu menggambarkan kehidupan santri secara autentik, sekaligus
menyampaikan pesan moral yang relevan bagi pembaca dari berbagai latar
belakang.
Meski proyek ini menghadapi banyak kendala teknis,
Nine dan Taliya tetap optimis. Mereka menyadari bahwa proses ini bukan sekadar
tentang hasil akhir, tetapi juga perjalanan yang mempererat hubungan ayah dan
anak, serta memperdalam pemahaman mereka tentang kehidupan pesantren.
Judul buku “Kidung Santri” masih bersifat
sementara. Nine membuka kemungkinan untuk menggantinya jika nantinya ia dan
Taliya menemukan ide yang lebih baik. Namun, semangat dan visi di balik buku
ini tidak akan berubah: menciptakan karya yang bukan hanya indah, tetapi juga
bermakna dan penuh dedikasi.
Harapan
Antologi puisi ini adalah contoh nyata bagaimana
sastra bisa menjadi medium pengabdian dan cinta. Bagi Nine, ini adalah bentuk
dukungan kepada putrinya untuk terus berkarya. Bagi Taliya, ini adalah sarana
untuk mengabadikan pengalaman dan pelajaran hidupnya. Dan bagi pembaca, “Kidung
Santri” adalah undangan untuk melihat dunia pesantren dari sudut pandang yang
lebih humanis dan puitis.
Semoga proyek ini dapat segera diselesaikan dan diterbitkan, sehingga bukan hanya menjadi kenangan manis bagi Taliya, tetapi juga inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Sebuah bukti bahwa sastra, dalam segala bentuknya, memiliki kekuatan untuk menyatukan, menyampaikan, dan mengabdi.[pgn]
0 Komentar