Belajar Keberagaman dengan Bernalar Kritis

 

Pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di kelas XII-6 SMAN 2 Jombang.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Kamis pagi, 9 Januari 2025, saya memasuki kelas XII-6 SMAN 2 Jombang dengan semangat. Hari itu, saya menjadi fasilitator untuk pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tema yang kami bahas cukup menarik: keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Dengan dimensi bernalar kritis, saya bertekad memberikan pengalaman belajar yang tidak hanya informatif tetapi juga memancing diskusi mendalam.

Dalam kegiatan ini, fokus utama kami adalah bagaimana murid-murid mampu mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan mengelola informasi serta gagasan. Target akhirnya, mereka diharapkan mampu menganalisis informasi yang kompleks dan memilih gagasan yang paling relevan untuk diprioritaskan. Tentu saja ini tidak sekadar tantangan, tetapi juga peluang untuk melatih mereka berpikir kritis sekaligus menghargai keberagaman.

Memulai dengan Diskusi Kelompok

Agar pembelajaran lebih interaktif, saya membagi murid-murid menjadi lima kelompok. Setiap kelompok mendapatkan tugas yang sama: menganalisis narasi dan video yang saya berikan kepada mereka tentang aliran kepercayaan di Indonesia, terutama yang sedang memperjuangkan eksistensi dan perlindungan dari negara.

Saya membagi kegiatan diskusi mereka menjadi tiga tahap utama:

  1. Mengidentifikasi fakta tentang aliran kepercayaan.
  2. Mengklarifikasi fakta tersebut berdasarkan konteks sosial dan budaya.
  3. Mengelola informasi menjadi gagasan-gagasan yang bisa mereka gunakan untuk membangun argumentasi.

Setelah diskusi selesai, hasil kerja kelompok ini dipresentasikan di depan kelas. Selain menjadi sarana latihan berbicara, presentasi ini juga memberikan kesempatan bagi murid-murid lain untuk menanggapi dan memperkaya pembahasan.

Temuan Awal dari Dua Kelompok

Dari lima kelompok, dua kelompok telah berhasil mempresentasikan hasil diskusinya hari itu. Temuan mereka membuka wawasan baru bagi semua yang hadir.

Kelompok pertama menyampaikan bahwa aliran kepercayaan biasanya diterima dan dipraktikkan secara turun-temurun dalam masyarakat tertentu. Namun, tidak seperti agama-agama besar yang memiliki kitab suci, aliran kepercayaan lebih menekankan pada tradisi dan kebudayaan lokal. Ritus-ritus yang dilakukan para penganutnya lebih mencerminkan kearifan lokal ketimbang ajaran yang terstruktur.

Kelompok kedua menambahkan perspektif yang menarik. Mereka menemukan bahwa penganut aliran kepercayaan kebanyakan berasal dari masyarakat dengan tingkat pendidikan formal yang rendah. Hal ini memengaruhi cara mereka memahami dan mempertahankan kepercayaannya. Tanpa penjelasan yang rasional atau panduan yang baku, tradisi ini sering kali hanya diturunkan dalam lingkup keluarga secara eksklusif.

Kedua kelompok juga menyepakati bahwa masa depan aliran kepercayaan menghadapi tantangan besar. Tidak adanya panduan yang terstandardisasi membuat ajaran ini sulit berkembang di luar lingkup keluarga. Selain itu, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka mempertanyakan kepercayaan yang tidak memiliki dasar rasional.

Dimensi Bernalar Kritis: Proses yang Berharga

Melalui kegiatan ini, dimensi bernalar kritis dalam Profil Pelajar Pancasila benar-benar diterapkan. Murid-murid tidak hanya sekadar mengumpulkan informasi, tetapi juga belajar memilah mana yang relevan dan bagaimana menyusunnya menjadi argumen yang logis.

Proses ini mengajarkan mereka pentingnya melihat informasi dari berbagai sudut pandang. Misalnya, fakta bahwa aliran kepercayaan sering dikaitkan dengan pendidikan rendah tidak berarti mereka tidak layak dihormati. Sebaliknya, ini justru menjadi peluang untuk memahami konteks sosial dan budaya yang membentuk kepercayaan tersebut.

Saya juga mendorong mereka untuk mempertimbangkan bagaimana nilai-nilai keberagaman dalam Pancasila, khususnya sila pertama dan ketiga, bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu selalu setuju, tetapi memahami dan menghormati keberagaman adalah langkah awal menuju persatuan.

Refleksi Murid dan Diskusi Lanjutan

Setelah presentasi, saya meminta murid-murid untuk memberikan tanggapan terhadap temuan kelompok yang telah mempresentasikan hasil diskusi mereka. Diskusi yang muncul cukup menarik. Beberapa murid bertanya mengapa aliran kepercayaan cenderung eksklusif, sementara yang lain mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat memberikan perlindungan yang adil tanpa mengabaikan kelompok minoritas ini.

Refleksi yang muncul menunjukkan bahwa murid-murid mulai memahami pentingnya keberagaman, sekaligus tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tertentu. Saya pun mengapresiasi keberanian mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, yang menunjukkan bahwa proses belajar mereka berjalan sesuai harapan.

Keberagaman sebagai Kekuatan

Sebagai fasilitator, saya merasa bahwa pembelajaran hari itu bukan hanya tentang memahami aliran kepercayaan, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai keberagaman. Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya dan kepercayaan yang luar biasa. Namun, keberagaman ini juga sering kali menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik.

Melalui pembelajaran ini, saya berharap murid-murid tidak hanya menjadi pelajar yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki empati terhadap perbedaan. Memahami keberagaman bukan berarti harus setuju dengan semua hal, tetapi menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk percaya pada apa yang mereka yakini.

Kesimpulan

Kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di kelas XII-6 hari itu memberikan pelajaran berharga, baik bagi murid-murid maupun saya sebagai guru. Diskusi tentang keberagaman agama dan kepercayaan membuka wawasan baru dan melatih mereka untuk berpikir kritis, memahami fakta, serta membangun gagasan yang relevan.

Sebagai generasi muda, murid-murid ini memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keberagaman Indonesia. Dengan berpikir kritis dan memahami nilai-nilai Pancasila, mereka dapat menjadi agen perubahan yang menghormati perbedaan dan memperkuat persatuan.

Hari itu, saya pulang dengan rasa bangga. Bukan hanya karena berhasil memfasilitasi pembelajaran yang baik, tetapi juga karena melihat murid-murid saya mulai memahami bahwa keberagaman adalah kekuatan yang harus dirawat bersama.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar