Menjaga Perempuan, Menjaga Peradaban

 

Tulisan ini adalah catatan reflektif Pak Guru NINE saat mengajar di kelas XI-3 SMAN 2 Jombang.


[Jombang, Pak Guru NINE] - Suatu pagi yang muram, kabar mengejutkan beredar dari dusun Peluk, desa Pacarpeluk. Sesosok mayat perempuan ditemukan di aliran sungai di belakang rumah saya. Tragedi ini bukan sekadar cerita kriminal yang bisa kita lupakan begitu saja, tetapi sebuah peringatan yang mengetuk kesadaran kita tentang betapa pentingnya keamanan, terutama bagi perempuan.

Sebagai seorang ayah dan pendidik di SMAN 2 Jombang, saya tidak bisa membiarkan peristiwa ini berlalu tanpa menjadi bahan refleksi bagi anak-anak dan murid-murid saya. Kejahatan semacam ini tidak terjadi dalam ruang hampa; ia berakar dari berbagai faktor sosial dan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat kita. Maka, saya merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan kepada mereka agar lebih waspada dan memahami realitas sosial yang mereka hadapi.

Memilih Pergaulan dengan Bijak

Kepada Caraka Shankara dan Wacana Bawana, dua anak saya, saya menekankan pentingnya memilih pergaulan dengan hati-hati. Saya mengingatkan mereka bahwa banyak kasus kejahatan, termasuk yang menimpa perempuan, dilakukan oleh orang-orang yang dikenalnya. “Jangan sampai kalian salah memilih teman,” pesan saya kepada mereka. “Melihat korban yang masih remaja, saya menduga pelakunya adalah orang yang sudah akrab dengannya.”

Pesan ini tidak hanya berlaku bagi mereka, tetapi juga bagi murid-murid saya di SMAN 2 Jombang. Saat mengajar di kelas XI-3, saya pun menyampaikan nasihat dan arahan kepada murid-murid saya. Lingkaran pergaulan dapat menentukan banyak hal dalam kehidupan seseorang. Salah bergaul bukan hanya berisiko membuat seseorang terjerumus ke dalam perbuatan negatif, tetapi juga bisa menempatkannya dalam situasi berbahaya.

Namun, di luar aspek pergaulan, ada persoalan lain yang lebih besar, yaitu bagaimana masyarakat kita masih memandang keamanan perempuan sebagai sesuatu yang hanya menjadi tanggung jawab perempuan itu sendiri.

Ketimpangan Peran

Dalam diskusi di kelas, saya menyarankan agar para murid, khususnya yang perempuan, membekali diri dengan keterampilan bela diri. “Kalian tidak harus seperti Clarisa Maharani yang memang atlet Kempo,” ujar saya. “Tapi setidaknya, kalian harus bisa menjatuhkan atau melemahkan orang yang berniat jahat. Setelah itu, baru kalian teriak minta tolong.”

Namun, di tengah diskusi itu, Cinta Nayla Sa’diyah, salah satu murid saya, mengangkat tangan dan bertanya, “Maaf Pak, mengapa kami yang perempuan yang harus dinasihati seperti ini? Harusnya kan anak-anak laki-laki yang diedukasi agar tidak melakukan kekerasan kepada perempuan?”

Pertanyaannya membuat saya terdiam sejenak. Saya tahu, ini bukan sekadar protes spontan, tetapi sebuah pernyataan kritis dari seseorang yang menyadari bahwa akar masalah sebenarnya bukan semata-mata terletak pada kurangnya perlindungan diri perempuan, melainkan juga pada pola pikir laki-laki yang merasa berhak menggunakan kekerasan.

Saya pun menjawab, “Kamu benar. Secara ideal, laki-laki dan perempuan setara. Islam pun menegaskan hal itu. Namun, kita hidup dalam budaya patriarki, di mana perempuan sering kali tersubordinasi, bukan karena mereka lebih lemah, tetapi karena sistem sosial yang masih belum adil.”

Saya kemudian mengajak mereka untuk merenungkan realitas yang terjadi di banyak rumah tangga. Saya bertanya, “Siapa yang setiap pagi bangun lebih awal, ayah atau ibu?” Hampir seluruh kelas menjawab, “Ibu.”

Saya melanjutkan, “Apa yang dikerjakan ibu setelah bangun tidur?”

Mereka menjawab hampir serempak, “Shalat tahajjud, lalu memasak sampai hari terang.”

“Lalu, apa yang dilakukan ayah?”

Jawaban mereka pun beragam. Ada yang berkata, “Tidur.” Ada juga yang menjawab, “Shalat tahajjud lalu shalat subuh di masjid.”

Saya ingin menegaskan satu hal: dalam banyak keluarga, beban tanggung jawab sering kali lebih banyak dipikul oleh perempuan, bahkan dalam hal-hal yang sebenarnya menjadi kewajiban laki-laki. Sandang, pangan, dan papan adalah tanggung jawab suami terhadap istri, tetapi dalam praktiknya, banyak perempuan yang turut berjuang memenuhi kebutuhan ini tanpa adanya kesadaran dari pihak laki-laki.

Perempuan Rentan Kekerasan

Ketimpangan gender ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga, tetapi juga dalam cara masyarakat memandang peran dan kewajiban masing-masing gender. Perempuan diharapkan untuk selalu menjaga diri, berpakaian sopan, tidak pulang terlalu malam, dan tidak berbuat sesuatu yang "memancing" kejahatan. Namun, bagaimana dengan laki-laki? Seberapa sering kita mendengar bahwa mereka harus belajar mengendalikan diri, menghormati perempuan, dan tidak menggunakan kekerasan sebagai alat kekuasaan?

Inilah mengapa pendidikan tentang kesetaraan gender harus lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Mereka harus memahami bahwa kehormatan seorang perempuan bukan sesuatu yang bisa dirampas atau dipermainkan. Perempuan tidak boleh dipandang sebagai sosok yang lebih lemah dan oleh karenanya harus terus-menerus melindungi diri mereka sendiri.

Saya kemudian mengutip ayat Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ ayat 34 yang menyatakan bahwa laki-laki bertanggung jawab atas nafkah dan kesejahteraan perempuan. Namun, tanggung jawab ini bukan berarti dominasi. Kepemimpinan dalam rumah tangga bukanlah tentang kekuasaan, melainkan tentang kewajiban untuk melindungi dan menafkahi, bukan menindas atau memperlakukan perempuan dengan semena-mena.

Kasus tragis di dusun Peluk ini seharusnya menjadi titik balik bagi kita semua. Keamanan perempuan bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci utama untuk mengubah pola pikir masyarakat.

Anak-anak laki-laki harus diajarkan sejak dini bahwa mereka tidak berhak menggunakan kekerasan atau merasa superior atas perempuan. Mereka harus belajar untuk menghargai perempuan sebagai manusia yang setara.

Di sisi lain, anak-anak perempuan harus dididik agar memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk menolak perlakuan tidak adil. Jika bela diri bisa menjadi alat untuk meningkatkan rasa aman mereka, maka tidak ada salahnya mereka mempelajarinya. Namun, yang lebih penting dari sekadar membela diri adalah membangun masyarakat yang tidak membiarkan kekerasan terhadap perempuan terjadi sejak awal.

Kalam Penutup

Pada akhirnya, menjaga perempuan bukan hanya tanggung jawab perempuan itu sendiri, tetapi tanggung jawab kita semua. Saat perempuan merasa aman dan dihormati, peradaban akan berkembang dengan lebih sehat dan adil.

Saya ingin anak-anak saya, murid-murid saya, dan generasi muda pada umumnya tumbuh dengan pemahaman bahwa menghormati perempuan bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Karena menjaga perempuan, sejatinya adalah menjaga peradaban.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar