Hari Raya Makan yang Penuh Makna

 

Kata "Ied" (عيد) dalam bahasa Arab berarti hari raya, bukan kembali. Bentuk jamaknya adalah "a'yad" (أعياد).  


[Jombang, Pak Guru NINE] - Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri sebagai tanda berakhirnya bulan suci Ramadhan. Namun, banyak yang salah memahami makna istilah "Idul Fitri" itu sendiri. Banyak yang mengira "Ied" berarti "kembali," sehingga Idul Fitri dimaknai sebagai "kembali ke kesucian." Padahal, secara bahasa, pemahaman ini kurang tepat.

Kata "Ied" (عيد) dalam bahasa Arab berarti "hari raya," bukan kembali. Bentuk jamaknya adalah "a’yad" (أعياد). Dalam berbagai agama dan budaya, istilah ini digunakan untuk merujuk pada perayaan tertentu. Misalnya, Natal disebut "Iedul Milad" (عيد الميلاد) yang berarti hari raya kelahiran, dan hari besar nasional disebut "Iedul Wathan" (عيد الوطن). Kesalahan pemahaman bahwa "Ied" berarti "kembali" muncul karena kemiripan kata dengan "’aada - ya’uudu - ‘audatan" (عاد - يعود - عودة) yang berarti kembali. Sayangnya, banyak penceramah dan tokoh agama yang kurang teliti, sehingga kesalahan ini terus tersebar luas.

Makna Idul Fitri

Secara bahasa, "Idul Fitri" lebih tepat dimaknai sebagai "Hari Raya Makan." Kata "fitri" berasal dari "fithr" (فطر) yang berarti berbuka atau makan setelah puasa. Pada tanggal 1 Syawal, umat Islam diharamkan untuk berpuasa dan justru diwajibkan untuk makan sebelum shalat Idul Fitri.

Konsep ini juga berkaitan dengan zakat fitri, yang diberikan sebelum shalat Idul Fitri. Zakat ini wajib ditunaikan dalam bentuk makanan pokok agar tidak ada orang miskin yang kelaparan di hari kemenangan. Tujuannya adalah menciptakan kebersamaan dan kegembiraan yang merata di kalangan umat Islam.

Banyak orang merasa kurang nyaman menyebut Idul Fitri sebagai "Hari Raya Makan" karena terdengar terlalu sederhana dibandingkan dengan makna "kembali suci" yang sering digunakan. Namun, jika direnungkan, makan adalah kebutuhan dasar manusia. Setelah sebulan penuh menahan diri dari makan dan minum, hari raya ini menjadi momentum syukur dan kebahagiaan yang nyata.

Allah SWT mengingatkan dalam QS. Al-A’raf ayat 31: "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan." Ayat ini menekankan keseimbangan dalam konsumsi makanan serta pentingnya mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Islam tidak melarang menikmati makanan yang lezat, tetapi mengajarkan adab dalam makan, seperti tidak berlebihan dan tidak membuang makanan secara mubazir.

Selain itu, hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan pentingnya berbuka (makan-minum) sebelum shalat Idul Fitri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak berangkat ke tempat shalat Idul Fitri sebelum makan beberapa butir kurma dalam jumlah ganjil. Hal ini menunjukkan bahwa makan pada hari raya adalah bagian dari sunnah yang mengiringi perayaan kemenangan setelah Ramadhan.

Hari Raya yang Universal dan Sederhana

Idul Fitri sebagai "Hari Raya Makan" memiliki pesan yang sangat mendalam dan universal. Makan adalah kebutuhan dasar yang dirasakan oleh semua manusia. Oleh sebab itu, Islam mewajibkan umatnya untuk makan pada hari ini sebagai simbol kebahagiaan dan kemenangan setelah Ramadhan.

Lebih dari sekadar makan, Idul Fitri juga merupakan perayaan kepedulian sosial. Zakat fitri memastikan bahwa semua orang bisa menikmati hari tersebut dengan kebahagiaan yang sama. Islam tidak ingin ada seorang pun yang berpuasa di hari yang seharusnya diisi dengan makan dan minum. Oleh karena itu, setiap muslim diwajibkan menyisihkan sebagian hartanya dalam bentuk makanan pokok untuk mereka yang membutuhkan.

Jika direnungkan, konsep ini sangat luar biasa. Idul Fitri bukan hanya perayaan pribadi, tetapi juga perayaan bersama. Kebahagiaan seorang muslim di Idul Fitri tidak hanya berasal dari makanan yang dimakannya sendiri, tetapi juga dari kebahagiaan orang lain yang turut menikmatinya. Dengan kata lain, Idul Fitri adalah momentum untuk mempererat solidaritas sosial, menumbuhkan empati, dan menegaskan bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang.

Selain itu, hari raya ini juga merupakan momentum untuk memperbaiki hubungan sosial. Di momen Idul Fitri, umat Islam dianjurkan untuk saling bermaafan, mengunjungi kerabat, dan mempererat tali silaturahmi. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang menekankan pentingnya hubungan baik antar sesama manusia. Idul Fitri bukan hanya soal makan dan minum, tetapi juga tentang kebersamaan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menghargai Makna yang Sesungguhnya

Dengan memahami makna asli Idul Fitri sebagai "Hari Raya Makan," kita bisa lebih menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tidak ada yang perlu dirasa rendah dalam menyebutnya sebagai "Hari Raya Makan." Justru, inilah bentuk nyata dari syariat Islam yang sederhana dan universal.

Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia. Islam mengajarkan keseimbangan—menahan diri di bulan Ramadhan dan menikmati rezeki di hari Idul Fitri. Kita merayakan Idul Fitri dengan rasa syukur atas kesempatan berbuka, atas nikmat makanan yang diberikan Allah, dan atas kebersamaan dengan keluarga serta sesama muslim.

Jadi, menyebut Idul Fitri sebagai "Hari Raya Makan" bukanlah penyederhanaan makna, melainkan justru mengembalikan maknanya yang lebih sesuai dengan ajaran Islam. Di balik istilah ini tersimpan makna yang mendalam dan berharga bagi setiap muslim.

Dengan memahami hal ini, kita tidak perlu lagi merasa aneh atau ragu dalam menyebut Idul Fitri sebagai Hari Raya Makan. Sebab, di balik kesederhanaan istilah ini, tersimpan makna yang begitu mendalam dan berharga bagi setiap muslim. Hari raya ini adalah saat untuk bersyukur, berbagi, mempererat hubungan sosial, dan menikmati rezeki yang diberikan Allah dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan.[pgn]

 

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar