Makan, Minum dan Kesadaran Spiritual

 

Dengan berpuasa kita bisa merasakan lapar dan dahaga untuk membangkitkan semangat empati dan peduli.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap orang, tanpa terkecuali, bergantung pada makanan untuk bertahan hidup dan pada air untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Namun, pernahkah kita benar-benar merenungi betapa pentingnya setiap suapan yang masuk ke mulut kita? Tanpa makanan, tubuh melemah. Tanpa air, manusia tidak akan bertahan lama. Kebutuhan ini begitu mendasar hingga menjadi hal pertama yang manusia cari ketika merasakan lapar dan haus.

Allah SWT telah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an untuk menikmati rezeki-Nya dengan penuh kesadaran dan tidak berlebihan. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31, Allah berfirman yang artinya, “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan”. Ayat ini tidak hanya mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam mengonsumsi makanan dan minuman, tetapi juga menanamkan nilai kesyukuran dalam diri kita. Islam tidak melarang kita untuk menikmati makanan yang lezat, tetapi ada adab yang harus dijaga. Di antaranya, kita dianjurkan makan secukupnya, tidak mencela makanan yang tidak kita sukai, serta menghindari sikap boros dan mubazir.

Salah satu momen terbaik untuk benar-benar memahami makna makan dan minum adalah ketika kita menjalankan ibadah puasa. Selama bulan Ramadhan, kita belajar untuk menahan diri dari kebutuhan dasar ini dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Pada saat itu, perut kosong dan tenggorokan kering menjadi pengalaman yang nyata. Kita mulai menyadari bahwa sesuatu yang kita anggap biasa—segelas air atau sepotong roti—ternyata memiliki nilai yang luar biasa. Ketika adzan Maghrib berkumandang, seteguk air yang sebelumnya tampak biasa saja menjadi nikmat yang luar biasa. Bahkan makanan yang sederhana pun terasa begitu istimewa.

Namun, di luar bulan Ramadhan, ada banyak orang yang merasakan lapar dan haus setiap harinya. Seorang fakir yang tidak memiliki penghasilan tetap atau seseorang yang hidup dalam kemiskinan harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa dengan mudah menikmati makanan sebagaimana kebanyakan dari kita. Puasa seharusnya membuka mata dan hati kita terhadap kenyataan ini. Jika kita yang hanya menahan lapar dan haus dari subuh hingga maghrib sudah merasa berat, bagaimana dengan mereka yang harus menahan lapar lebih lama atau bahkan tidak tahu kapan mereka akan makan kembali?

Dalam Islam, puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum. Lebih dari itu, puasa adalah sarana untuk melatih hawa nafsu serta meningkatkan kepekaan hati. Ketika kita merasakan lapar, kita lebih mudah memahami penderitaan orang lain. Empati yang tumbuh dari pengalaman ini seharusnya mendorong kita untuk lebih peduli terhadap mereka yang kekurangan. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya berbagi kepada sesama, terutama kepada mereka yang hidup dalam kesulitan.

Di sinilah letak keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Puasa bukan hanya ibadah pribadi yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga cara untuk meningkatkan kesalehan sosial kita. Islam tidak hanya mengajarkan kita untuk menjadi orang yang saleh secara ritual, tetapi juga saleh secara sosial. Salah satu bentuk konkret dari kesalehan sosial adalah dengan berbagi rezeki kepada mereka yang membutuhkan.

Karena itulah, puasa dalam Islam disempurnakan dengan zakat, infaq, dan sedekah. Ramadhan menjadi momentum terbaik bagi umat Muslim untuk tidak hanya meningkatkan ketakwaan, tetapi juga menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Zakat fitri, misalnya, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu untuk membantu saudara-saudaranya yang kurang beruntung agar mereka juga bisa merasakan kebahagiaan di hari raya. Selain itu, berbagi makanan untuk berbuka puasa juga menjadi salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, *"Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun."* (HR. Tirmidzi, No. 807)

Kesadaran ini harus kita bawa ke dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan berlalu, kita tetap harus menjaga empati dan kepedulian terhadap sesama. Mungkin kita tidak bisa selalu memberikan makanan kepada semua orang yang membutuhkan, tetapi kita bisa memulainya dengan hal-hal kecil, seperti tidak membuang makanan, tidak berlebihan dalam makan, serta berbagi kepada tetangga atau orang-orang sekitar yang membutuhkan.

Dari sini, kita memahami bahwa makan dan minum bukan hanya sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan sosial. Setiap suapan yang kita nikmati seharusnya mengingatkan kita pada nikmat Allah yang tidak boleh disia-siakan. Lapar dan dahaga yang kita rasakan selama puasa adalah cara Allah mengajarkan kita untuk lebih bersyukur dan lebih peduli terhadap sesama.

Kesalehan seorang Muslim tidak hanya diukur dari ibadah ritualnya, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan sesama manusia. Seorang Muslim yang baik bukan hanya rajin beribadah, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan peka terhadap penderitaan orang lain. Dengan memahami esensi dari makan dan minum sebagai kebutuhan dasar, serta menghayati hikmah dari lapar dan dahaga dalam berpuasa, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya dalam hubungan dengan Allah, tetapi juga dalam hubungan dengan sesama manusia.

Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur, lebih peduli, dan lebih saleh secara ritual maupun sosial. Karena pada akhirnya, ibadah yang kita lakukan bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, tetapi juga untuk memberikan manfaat bagi orang lain di sekitar kita.[pgn]


Nine Adien Maulana
GPAI SMAN 2 Jombang, Sekretaris DP MUI Kab. Jombang

Posting Komentar

0 Komentar