![]() |
Meskipun kekerasan bisa menimpa siapa saja, namun perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan dalam hal ini. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Sebagai
seorang guru Pendidikan Agama Islam dan juga sekretaris Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Jombang, saya merasa memiliki tanggung jawab moral sekaligus
spiritual dalam menyikapi hadirnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
Kabupaten Jombang tentang Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
(PPAKK). Dokumen
ini bukan hanya rangkaian pasal dan ayat. Ia adalah cermin komitmen Pemerintah Daerah untuk membangun peradaban
yang lebih manusiawi, adil, dan peduli terhadap kelompok yang paling rentan di
masyarakat, yakni:
perempuan dan anak.
Tak bisa kita pungkiri, kekerasan terhadap
perempuan dan anak masih menjadi fenomena yang menyayat nurani. Kasus
femisida yang menimpah warga Sebani Sumobito beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa kasus
kekerasan seringkali terjadi justru dari lingkungan
terdekat korban. Tidak hanya itu, rumah tangga, sekolah atau lembaga pendidikan
dan keagaamaan yang seharusnya menjadi tempat paling aman ternyata tidak luput
dari kasus kekerasan khususnya kepada perempuan dan anak.
Di sinilah pentingnya keberadaan regulasi yang
kokoh, berpihak, dan responsif. Raperda ini, dalam banyak hal, telah menjawab
kebutuhan tersebut.
Kelebihan yang Patut Diapresiasi
Pertama, Raperda ini sangat komprehensif. Ia
mengatur bukan hanya tentang penanganan korban, tetapi juga mencakup
pencegahan, pemulihan, pemberdayaan, hingga penguatan lembaga pelaksana seperti
UPTD PPA. Bahkan,
aspek medis, psikologis, hukum, hingga rohani—semuanya diakomodasi. Ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah memahami bahwa kekerasan tidak hanya
melukai tubuh, tapi juga jiwa dan harga diri korban.
Kedua, Raperda ini membuka ruang partisipasi
masyarakat secara luas. Dalam Pasal 11 dan 29, disebutkan bahwa masyarakat,
keluarga, bahkan pondok pesantren dan organisasi keagamaan dilibatkan dalam
upaya pencegahan dan pemulihan. Bagi saya, ini adalah langkah strategis.
Jombang, yang memiliki ratusan pondok pesantren dan ribuan santri, memiliki
potensi besar untuk menjadi pelopor pelindungan perempuan dan anak berbasis
nilai-nilai keagamaan.
Ketiga, Raperda ini menjunjung tinggi prinsip
keadilan dan non-diskriminasi. Siapa pun korbannya, apa pun latar belakangnya,
negara hadir untuk melindungi. Ini selaras dengan spirit Islam yang mengajarkan
bahwa setiap jiwa itu suci, dan tidak ada satu pun manusia yang layak
diperlakukan secara zalim, apalagi mereka yang lemah dan tak berdaya.
Kekurangan yang Perlu Dicermati
Namun, di tengah berbagai keunggulan itu, saya
melihat ada beberapa celah yang perlu ditambal agar Raperda ini benar-benar
membumi.
Pertama, belum adanya afirmasi khusus terhadap
keterlibatan tokoh agama dalam upaya pemulihan korban. Bimbingan rohani memang disebut
dalam Pasal 17 ayat (4), tetapi belum ada mekanisme yang jelas tentang bagaimana
pelibatan kyai, ustadz, dan guru agama dilakukan secara sistematis. Padahal,
bagi korban di daerah yang religius seperti Jombang, pemulihan mental sering
kali lebih efektif jika dibarengi pendekatan spiritual.
Kedua, belum ada penegasan tentang perlindungan
dari potensi kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Meski
disebutkan bahwa pondok pesantren termasuk aktor yang bisa dilibatkan (Pasal
11), tidak ada penekanan khusus terhadap pentingnya pengawasan internal di
lembaga-lembaga ini, yang sangat tertutup dari sorotan publik. Padahal, kasus
kekerasan di lembaga seperti ini bisa menjadi sangat laten dan sulit
terdeteksi.
Ketiga, aspek edukasi keluarga seharusnya
diperdalam. Pasal 8 dan 30 sudah mengatur partisipasi keluarga, namun belum
mencakup strategi yang konkret. Misalnya, adakah modul parenting Islami yang
akan disusun? Apakah ada pelatihan preventif yang wajib diikuti oleh orang tua
di wilayah rawan kekerasan?
Usulan Perbaikan
Untuk memperkuat Raperda ini, saya mengusulkan
beberapa langkah:
1. Membentuk
Dewan Etik Keagamaan yang melibatkan MUI, ormas Islam, dan tokoh pondok
pesantren sebagai mitra kritis dan pendamping moral terhadap lembaga keagamaan
dalam isu kekerasan.
2. Mengintegrasikan
kurikulum pendidikan agama dengan modul edukatif tentang pencegahan
kekerasan**, baik di sekolah maupun pesantren. Guru PAI bisa menjadi ujung
tombak literasi anti-kekerasan berbasis nilai-nilai Qurani dan hadits.
3. Mendorong
UPTD PPA menggandeng pondok pesantren dalam program pemulihan berbasis
spiritual, dengan menjadikan beberapa pesantren percontohan sebagai “Pesantren
Ramah Anak dan Perempuan.”
4. Menyusun
SOP (standar operasional prosedur) untuk pelaporan dan pendampingan korban di
lingkungan tertutup seperti pesantren, termasuk membuka hotline khusus yang
dikelola secara independen namun terkoordinasi dengan Dinas terkait.
Rekomendasi Strategis
Raperda ini harus menjadi pemantik perubahan
budaya. Kita tidak bisa hanya berharap pada pasal dan peraturan. Masyarakat
harus dilibatkan dalam gerakan kolektif melawan kekerasan. Saya
merekomendasikan agar Pemkab Jombang:
1. Menggelar safari edukasi ke pesantren, majelis taklim,
dan sekolah, bekerja sama dengan guru PAI dan tokoh agama.
2. Menginisiasi forum komunikasi pesantren peduli perempuan
dan anak, yang menjadi ruang belajar bersama dan tempat bertukar praktik baik.
3. Menggunakan
platform digital untuk kampanye edukasi, dengan memanfaatkan media sosial
dakwah yang sekarang mulai digemari kalangan muda.
Akhirnya, Raperda ini adalah langkah
maju. Tapi ia akan berjalan di tempat jika tidak ditopang oleh kesadaran sosial
dan komitmen bersama. Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, saya
yakin—dengan kekuatan spiritual yang dimiliki Jombang, dengan guru, kyai, dan santri
sebagai garda depan—kita bisa membangun peradaban yang lebih ramah, aman, dan
penuh kasih sayang bagi perempuan dan anak.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Karena setiap
upaya pelindungan adalah bagian dari ibadah, bagian dari membela kemanusiaan.[pgn]
Nine Adien
Maulana, GPAI SMAN 2 JOMBANG-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Baca juga!
0 Komentar