Bayang-Bayang Mawar

 

Cerita fiksi imajinatif ini ditulis sebagai bahan renungan edukatif bahwa ambisi tanpa kejujuran hanya akan melahirkan luka dan kekecewaan.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Di sebuah kota santri yang tenang, tempat lantunan doa dan nasihat kerap terdengar dari bilik-bilik pondok pesantren, berdirilah SMAN Angan-angan. Sekolah yang begitu diidam-idamkan para pelajar karena prestasinya yang gemilang. Di sudut lain kota, Bu Nila menatap sunyi ke luar jendela rumahnya yang megah. Sebuah rumah yang sering kali tampak tertutup, seperti hatinya yang perlahan terkunci oleh ambisi dan gengsi.

Mawar, putri semata wayangnya, sedang duduk di meja belajar, menatap layar laptop yang memampang kata-kata "Prestasi Internasional Mawar". Sertifikat-sertifikat berderet rapi di folder khusus. Bu Nila tersenyum kecil, namun sorot matanya tampak murung. Di balik kemewahan rumahnya, ada rahasia yang selama ini ia rawat, menjelma duri di setiap hembusan napasnya.

*********

Mawar hanyalah siswi SMPN 1 Awan-awan yang tak begitu mencolok dalam hal nilai akademik. Nilai rapornya biasa-biasa saja, tak seperti Melati, kakak kelasnya yang memang dikenal berprestasi sejak SD. Meski begitu, Mawar punya mimpi sederhana; ia ingin melanjutkan sekolah di SMAN Angan-angan, sama seperti Melati. Namun, zonasi dan nilai rapornya membawa Mawar pada kenyataan pahit; impiannya terlalu tinggi untuk dicapai dengan kemampuannya saat ini.

"Sampean masih bisa berpeluang diterima di SMAN Angan-angan jika punya sertifikat juara lomba nasional atau internasional," ujar Melati suatu sore ketika Mawar bertanya soal peluangnya.

Kalimat itu bagai batu yang dilempar ke permukaan tenang air danau—menimbulkan riak yang terus membesar. Riak yang membawa Bu Nila pada sebuah keputusan ekstrim, yakni jalan pintas.

Sebagai wanita berpendidikan dengan status ekonomi tinggi, Bu Nila sudah terlalu sering mendengar tepuk tangan di balik namanya sendiri. Ia ingin Mawar meraih hal serupa. Ia ingin putrinya terlihat istimewa, dipuji, dan dianggap pantas berdiri di sekolah terbaik kota ini—apa pun caranya.

Dengan koneksi saudara yang memiliki jabatan bergengsi, jalan Bu Nila terasa semakin mulus. Sertifikat demi sertifikat “prestasi” mulai dibuat. Nama Mawar tercetak rapi sebagai juara berbagai kompetisi bergengsi, dari Pekan Penelitian Ilmiah di ITB, Debat Ilmiah dari Djarum Foundation, hingga Olimpiade Sains tingkat Asia Tenggara.

Ketika berita penerimaan Mawar melalui jalur prestasi sampai ke telinga Melati, ia hanya bisa terdiam, menahan rasa heran yang tak tersampaikan. Bagaimana mungkin Mawar, yang tak pernah terdengar berjuang dalam ajang nasional—apalagi internasional—tiba-tiba melampaui batas-batas yang bahkan Melati sendiri belum capai?

Namun, tak ada yang berpikir lebih jauh. Semua bersorak atas prestasi barunya. Mawar resmi menjadi bagian dari SMAN Angan-angan, didukung oleh bukti-bukti yang kini terpajang di atas meja belajar.

*********

Semua berjalan normal hingga kabar penyakit parah Mawar mengguncang sekolah. Tumor otak stadium III menjadi alasannya sering absen. Guru-guru memahami, teman-teman menerima, meskipun ada sesekali rasa janggal menyelinap. Seperti kabar Mawar yang memenangkan kompetisi internasional dari ranjang perawatan, atau foto-foto sertifikat asing dengan tanda legalitas yang meragukan.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan. Desain sertifikat yang mirip template Canva, barcode yang hanya mengarah ke folder Google Drive, hingga tanda tangan pejabat penting yang tidak sesuai. Ketika guru-guru akhirnya melakukan kunjungan rumah, Bu Nila tetap tenang, membangun kembali tembok-tembok kebohongan dengan cerita perjalanan ke China untuk berobat dan lomba—sebuah narasi rumit yang diikat dengan kalimat-kalimat meyakinkan.

Namun, kebohongan seperti kain tipis yang semakin robek ketika disentuh terlalu keras. Foto-foto dari "ruang perawatan" terbukti berasal dari situs penyedia gambar. Surat-surat medis tanpa kop surat menunjukkan kebohongan yang selama ini dirajut begitu rapi mulai terurai di hadapan para guru.

"Seluruhnya... demi Mawar," batin Bu Nila ketika akhirnya rapat guru memutuskan untuk melakukan pendekatan persuasif. Baginya, semua ini hanyalah cara melindungi anaknya dari kegagalan, dari penghakiman, dari dunia yang terlalu cepat menuntut kesempurnaan. Tetapi, semakin jauh melangkah, semakin berat beban itu.

*********

Sore itu, ketika langit kota santri mulai redup, Bu Nila duduk sendiri di ruang tamu yang sepi. Jemarinya gemetar saat menyusun kalimat pesan whatsapp kepada kepala sekolah.

“Assalamualaikum.
Saya mohon maaf nggih Pak sudah banyak merepotkan njenengan,
Mawar sudah membuat surat pengunduran diri Pak, besok nggih biar disampaikan ke sekolah…”

Kata-kata itu mengalir bersama rasa sesal yang bertumbuk. Kepalanya dipenuhi bayang-bayang Mawar—anak yang tak pernah ia tanya betapa berat beban kebohongan yang harus dipanggulnya. Ambisi telah mengaburkan cinta. Ia ingin Mawar terlihat kuat, istimewa, mampu berdiri di atas panggung penuh tepuk tangan, namun lupa bahwa panggung itu berdiri di atas fondasi rapuh,yakni kebohongan.

Di balik pintu kamar, Mawar mendengarkan diam-diam. Air matanya jatuh, membasahi surat pengunduran diri yang baru saja ditulisnya. Sejak awal, ia tahu; setiap sertifikat yang dikirimkan, setiap foto yang diunggah, hanyalah ilusi yang membawanya jauh dari ketenangan. Setiap kali nama Mawar dipuji, hatinya justru kian remuk.

"Kita berhenti sampai di sini, Bu?" Mawar keluar dari kamar, suaranya lirih.

Bu Nila menatap putrinya lama. Ada perasaan asing menyayat hati—campuran antara rasa bersalah dan kelegaan yang tertunda. "Iya, Nak. Maafkan Ibu..." Suaranya patah, seperti bangunan yang akhirnya runtuh setelah sekian lama menahan beban.

Mawar tersenyum lemah, menatap mata ibunya yang mulai basah. "Aku hanya ingin sekolah dengan jujur, Bu. Kalau memang tidak pantas di sana, aku tak apa. Mungkin... Allah punya rencana lain."

Kata-kata Mawar menghantam kesadaran Bu Nila lebih kuat daripada seribu kecaman. Ia lupa bahwa setiap garis nasib telah tertulis jauh sebelum ambisinya lahir. Ia lupa bahwa kejujuran, meski tak selalu membawa pada kesuksesan instan, akan menuntun pada ketenangan yang hakiki.

*********

Keesokan harinya, Bu Nila melangkahkan kaki ke SMAN Angan-angan untuk terakhir kalinya sebagai wali murid Mawar. Ia menyerahkan surat pengunduran diri dengan tangan yang tak lagi gemetar, seolah seluruh beban itu perlahan luruh bersamaan dengan kejujuran yang akhirnya terucap.

Pihak sekolah menyambut dengan tenang, tanpa penghakiman. Mereka memahami, di balik kebohongan yang rumit, ada jiwa-jiwa rapuh yang tersesat dalam ambisi.

Para guru yang selama ini membimbing Mawar, meski sempat terkejut dengan kenyataan yang terungkap, tidak tenggelam dalam amarah. Mereka memilih jalan yang lebih sunyi tapi mulia—jalan keikhlasan. Di ruang guru yang tak lagi riuh membahas prestasi Mawar, kini terdengar bisikan-bisikan doa.

"Ia memang telah keliru, tapi setiap anak punya ruang untuk berubah," ucap Bu Rini, guru BK yang paling sering mendengarkan kisah Mawar.

Pak Ridwan, guru agama Islam yang tak pernah absen mengawali kelas dengan dzikir asmaul husna, pun menambahkan lirih, “Semoga Allah membukakan hatinya dan menjaganya dari jalan yang lebih buruk. Aamiin”

Tidak ada caci maki, tidak ada gunjingan. Hanya ada wajah-wajah yang belajar memaafkan dan hati yang tetap ingin melihat siswanya tumbuh, meski bukan lagi di bawah naungan sekolah mereka. Bagi mereka, Mawar bukanlah musuh; ia adalah pelajaran—tentang betapa beratnya menempuh jalan kejujuran, dan betapa mulianya memberi ruang bagi yang jatuh untuk bangkit kembali.

*********

Sore itu, Bu Nila dan Mawar pulang dengan hati yang lebih ringan. Tidak lagi ada sertifikat palsu yang harus dijaga, tidak ada lagi cerita-cerita besar yang harus direkayasa. Hanya ada kedamaian sederhana dari penerimaan; yaitu penerimaan bahwa jalan Allah mungkin tak selalu sesuai rencana manusia, tapi selalu membawa pada kebaikan bagi mereka yang tulus dan berprasangka baik.

Di kota santri itu, Mawar kembali menanam mimpi baru. Kali ini tanpa bayang-bayang kepalsuan, hanya kejujuran dan ketulusan yang ia bawa. Karena ia percaya, pada akhirnya, hidup yang diwarnai dengan keikhlasan akan selalu menemukan jalannya sendiri menuju cahaya.[pgn]

 

Pesan Moral:

Kejujuran adalah pondasi kehidupan yang kokoh. Ambisi tanpa kejujuran hanya akan melahirkan luka dan kepalsuan. Ikhlas menerima ketetapan Allah, meski terkadang pahit, akan membawa hati pada ketenangan sejati. Berprasangka baik kepada-Nya adalah kunci untuk menemukan hikmah di setiap perjalanan hidup.

 

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar