![]() |
"Menjadikan anak shalih itu memang agak rumit. Tapi salah satu caranya adalah dengan menghubungkan antar generasi. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Senin pagi, 12 Mei 2025, jalan-jalan di Jombang masih
basah oleh sisa hujan malam sebelumnya, sejuk dan teduh. Saya dan istri
melangkah masuk ke halaman utama Ribath
Hidayatul Quran, Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan. Hari itu adalah
hari kelulusan putri kami, Taliya Kayana. Ia telah menuntaskan belajar jenjang SMP-nya di ribath ini, sekaligus menapaki
fase baru dalam hidupnya. Bagi kami, ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah
titik takdir; persimpangan
yang menyatukan doa, ikhtiar, dan harapan.
Tapi
tak saya sangka, momen itu berubah menjadi perjalanan batin yang mendalam.
Saat KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi atau yang akrab disapa Gus Awis,
menyampaikan pidato tausiyahnya, dada saya
tiba-tiba terasa penuh. Untaian kata beliau yang kalem, lembut, namun dalam,
seolah menusuk ruang-ruang terdalam dalam hati saya sebagai seorang ayah.
Bayangan wajah Caraka Shankara, Taliya Kayana, dan Wacana Bawana hadir silih
berganti di pelupuk mata. Saya menyimak, tapi hati saya seperti diajak pulang; menelusuri
ulang jalan panjang dalam mendidik anak-anak yang Allah titipkan kepada kami.
Air
mata saya menetes perlahan. Tak mampu saya tahan. Istighfar lirih menjadi
dzikir spontan. Saya mohon ampun kepada Allah jika selama ini masih banyak
salah dalam menjadi orang tua. Lalu doa-doa saya panjatkan agar anak-anak kami
dijadikan shalih dan membawa manfaat bagi dunia dan akhirat. Apalagi ketika
menyaksikan para santri yang diwisuda sebagai hafidz dan hafidzah 30 juz. Hati
ini bergetar hebat.
Gus
Awis kemudian menyampaikan pesan yang sangat mengena: “Menjadikan anak shalih itu
memang agak rumit. Tapi salah satu caranya adalah dengan menghubungkan antar
generasi.”
Beliau
mengutip QS. Al-Kahfi ayat 82, kisah dua anak yatim yang hartanya dijaga oleh
Allah karena ayah mereka adalah orang yang shalih. "Wa kaana abuu huma shaalihan."
Keshalihan ayah mereka menjadi sebab terjaganya masa depan mereka.
Ayat
ini bukan sekadar kisah. Ini adalah petunjuk spiritual sekaligus strategi
pendidikan. Ternyata, salah satu cara menjadikan anak shalih adalah dengan
menurunkan warisan keshalihan dari pendahulunya. Seperti air yang mengalir dari
mata air yang jernih, keshalihan adalah tradisi. Ia bisa diwariskan jika dijaga
dan diteruskan.
Gus
Awis juga menyinggung bagaimana Nabi Isa a.s. diperintahkan untuk mensyukuri
nikmat Allah yang diberikan kepada dirinya dan ibunya (QS. Al-Maidah ayat 110), serta doa Nabi Sulaiman yang mensyukuri
nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya (QS. An-Naml ayat 19). Ayat-ayat ini mempertegas satu hal;
bahwa keshalihan itu tidak berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh pondasi
generasi sebelumnya.
Saya
pun berpikir dan
menyimpulkan.
Tugas
kita sebagai orang tua bukan hanya membesarkan anak secara fisik, tapi
menyambung rantai keshalihan dari leluhur kita; menjaga
bara iman dan amal yang pernah dinyalakan oleh kakek buyut kita. Bisa jadi,
doa-doa kebaikan yang kami panjatkan hari ini adalah gema dari sujud panjang
kakek kami puluhan tahun silam.
Lalu
bagaimana caranya? Gus Awis memberi teladan melalui kisah Nabi Ya’qub a.s.
bersama kedua belas anaknya. Ya, anak-anak beliau yang dikenal dengan al-asbath, yang
kelak semuanya menjadi nabi, menunjukkan keberhasilan luar biasa dalam
pendidikan keluarga.
Menurut
Gus Awis, ada empat cara Nabi Ya’qub mendidik anak:
Pertama,
mendeteksi potensi anak.
Ketika
Nabi Yusuf menceritakan mimpinya (QS. Yusuf ayat
4), Nabi Ya’qub tidak
menakwilkan atau menafsirkan secara langsung. Beliau
tahu, anaknya memiliki potensi besar dalam memahami takwil mimpi. Ia biarkan
anak itu berkembang dengan kemampuannya. Ini pelajaran berharga bagi kami.
Setiap anak memiliki potensinya masing-masing. Caraka dengan semangat pencak silat dan wirausahanya, Taliya
dengan ketekunannya dalam literasi sastra, Wacana
dengan bakat seninya yang masih diasah. Tugas kami
adalah mengenali, bukan memaksakan.
Kedua,
memotivasi agar potensi itu berkembang.
Tujuannya bukan sekadar memuji, tapi menanamkan
kesadaran bahwa semua itu adalah nikmat dari Allah. Hal ini sangat penting agar kita dan anak-anak kita tidak mudah terjatuh
dalam kesombingan. Dalam QS. Yusuf ayat 6, Nabi Ya’qub mengingatkan bahwa
keistimewaan Yusuf adalah karunia yang juga diberikan kepada leluhur
mereka—Ibrahim dan Ishaq. Maka potensi tak boleh membuat sombong, tapi
menjadi alasan untuk bersyukur dan terus belajar.
Ketiga,
memproteksi.
Ketika
Nabi Yusuf menceritakan mimpinya, Nabi Ya’qub melarangnya membagikan cerita itu
kepada saudara-saudaranya (QS. Yusuf ayat 5). Ini
adalah bentuk perlindungan. Beliau ingin menghindarkan Yusuf dari rasa iri atau
kecemburuan saudara-saudaranya. Begitulah orang tua;
bukan hanya mengenali bakat anak, tapi juga menjaga agar lingkungan tidak
merusaknya.
Keempat,
membesarkan hati anak agar tidak putus asa.
Dalam
perjalanan hidup Nabi Yusuf, betapa banyak cobaan yang ia hadapi;
sumur, penjara, pengkhianatan. Tapi keyakinan dan semangatnya tak luntur. Ini
tak lepas dari peran sang ayah yang selalu menguatkan dan membesarkan hatinya.
Kami belajar bahwa membesarkan anak berarti juga membesarkan harapan dan
keteguhan jiwanya.
Empat
prinsip ini menjadi pedoman baru bagi saya. Bahwa mendidik anak bukan hanya
soal memberi fasilitas terbaik atau membimbing pelajaran. Tapi lebih dalam dari
itu, yakni soal mengenal mereka, mencintai mereka, melindungi
mereka, dan menyalakan harapan dalam jiwa mereka.
Hari
itu, kami pulang dari ribath Hidayatul Quran bukan
hanya dengan kenangan kelulusan putri kami. Kami pulang dengan kesadaran atas tanggung
jawab yang lebih dalam, yakni untuk
meneruskan mata rantai keshalihan para leluhur kami.
Tujuannya adalah untuk menjaga bara iman yang telah
diwariskan kepada kami; dan
untuk mendidik anak-anak kami bukan sekadar agar pintar, tapi agar menjadi
manusia-manusia shalih yang membawa cahaya bagi zamannya.
Seperti dinding rumah dua anak yatim dalam kisah Nabi Khidir, semoga anak-anak kami juga tumbuh dengan perlindungan Allah karena keberkahan para pendahulu mereka. Semoga dengan segala kekurangan kami sebagai orang tua, Allah tetap menjaga dan menuntun mereka menuju jalan yang lurus. Karena sejatinya, mendidik anak adalah bentuk syukur atas nikmat yang pernah Allah berikan kepada kita dan para leluhur kita. Dan, keshalihan adalah warisan paling indah yang bisa kita tinggalkan.[pgn]
0 Komentar