Pertemuan Tak Terduga, Inspirasi Tak Terhingga

Mas Zainal ,sebelah kiri saya, bersama kedua putranya saat berada di halaman ribath Hidayatul Quran PPDU Rejoso Peterongan Jombang.

 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Dalam kehidupan, kita kerap dipertemukan dengan orang-orang hebat melalui jalan yang tak terduga. Bukan lewat panggung megah atau forum resmi, melainkan dalam peristiwa-peristiwa sederhana yang menyisakan jejak mendalam. Itulah yang saya alami ketika pertama kali bersua dengan mas Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.A.—seorang akademisi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang kini menyandang gelar Guru Besar bidang ilmu Living Qur’an.

Saya mengenal beliau bukan dari bangku kuliah atau seminar ilmiah, melainkan dari sebuah grup WhatsApp bernama Santri Kaliwates, tempat berkumpulnya para alumni MAPK/MAKN Jember. Beliau adalah angkatan ke-3, sedangkan saya berasal dari angkatan ke-9. Awalnya, kami hanya saling menyapa dalam grup, berbagi pesan ringan dan sesekali terlibat dalam diskusi tentang agama, pendidikan, dan kehidupan. Meskipun belum pernah bertatap muka, sapaan-sapaan virtual itu mulai menumbuhkan rasa kedekatan.

Hingga suatu hari, kami benar-benar dipertemukan—bukan di kampus atau pesantren, tetapi di jalan raya Tembelang-Jombang. Saat itu, beliau tengah mengalami musibah kecil: ban mobilnya bocor, sementara ia sedang dalam perjalanan bersama istrinya. Beliau menghubungi saya, meminta bantuan untuk mencarikan bengkel terdekat. Saya pun segera meluncur ke lokasi. Pertemuan perdana itu tak berlangsung lama, namun cukup untuk menghapus batas formalitas di antara kami. Sejak hari itu, hubungan kami berubah. Dari sekadar rekan di grup menjadi sahabat seperjuangan dalam jalan ilmu dan dakwah.

Yang membuat hubungan ini makin erat adalah kenyataan bahwa kami berdua sama-sama wali santri di Ribath Hidayatul Qur’an PPDU Peterongan Jombang. Anak-anak kami menimba ilmu di bawah bimbingan KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi (Gus Awis), yang juga alumnus Santri Kaliwates. Kami kerap bertemu saat sambang santri, saling bertukar cerita dan semangat dalam mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berakhlak dan berilmu.

Pada suatu kunjungan ke ribath, Mas Zainal—demikian saya memanggil beliau dengan akrab—menyampaikan kabar bahagia. Beliau akan dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Living Qur’an di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Beliau bermaksud mengundang Gus Awis untuk menghadiri acara pengukuhan Guru Besarnya. Tak hanya itu, saya pun diminta mendampingi Gus Awis dalam acara tersebut. Saya merasa terhormat, sekaligus bimbang. Saya katakan, “Jika Gus Awis bisa hadir, insyaAllah saya siap ikut. Tapi kalau beliau berhalangan, saya pun belum bisa memastikan karena bersamaan dengan jadwal mengajar di sekolah.”

Beberapa waktu kemudian, Mas Zainal mengabarkan bahwa acara akan digelar pada Rabu, 28 Mei 2025. Namun, Gus Awis tidak bisa hadir karena ada agenda penting di Rejoso—pertemuan wali santri dalam rangka pelepasan santri kelas akhir. Maka saya pun mengkonfirmasi bahwa saya juga tidak bisa menghadiri acara tersebut.

Meski tak bisa hadir secara fisik, saya merasa perlu tetap hadir secara batin. Maka saya buatkan sebuah video ucapan selamat dan doa terbaik untuk beliau. Ucapan itu bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan saya terhadap perjuangan beliau. Orasi ilmiah beliau yang berjudul “Memproduksi Tafsir Lokal Kolaboratif Pesantren Secara Massif: Potensi, Hambatan, dan Alternatif Solusi” adalah gagasan yang bukan hanya akademis, tapi juga memiliki nilai strategis bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an berbasis pesantren. Dalam dunia yang makin kompleks, pendekatan lokal kolaboratif seperti yang beliau gagas adalah nafas segar dalam studi keislaman.

Dalam hati kecil saya, saya membatin: sungguh beruntung beliau, bisa mencapai titik puncak akademik yang prestisius. Tapi kemudian muncul renungan: mungkinkah saya—seorang guru SMA negeri biasa—juga bisa menapaki jejak prestasi itu?

Pertanyaan ini terasa berat. Saya sadar, posisi dan kesempatan kami berbeda. Saya bukan dosen, tidak memiliki beban tridharma perguruan tinggi. Keseharian saya lebih banyak bergelut dengan kelas, kurikulum, dan tugas administrasi. Kadang untuk membaca buku pun harus mencuri waktu. Tapi setiap kali saya melihat sahabat seperti Mas Zainal berhasil meraih gelar Guru Besar, saya tidak melihat jurang yang memisahkan kami. Justru saya melihat jembatan harapan. Bahwa dengan izin Allah SWT, setiap orang bisa diberi jalan—meski jalannya tidak sama.

Bisa jadi, jalan saya bukan menjadi profesor. Tapi saya tetap ingin melanjutkan studi ke jenjang S3. Bukan untuk gelar, tapi untuk kebermanfaatan. Jika Allah menghendaki, bukan tidak mungkin jalan itu dibukakan. Bukankah Allah telah berfirman bahwa siapa yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya, maka akan Dia tunjukkan jalan-jalan-Nya?

Kisah Mas Zainal adalah bukti bahwa ilmu dan kesungguhan tidak pernah mengkhianati hasil. Dan saya percaya, keberkahan itu bisa menular. Setidaknya, saya bisa "kecipratan berkah" dari perjuangan beliau. Karena di dunia pendidikan, keberhasilan seseorang bukan hanya milik pribadi, tapi juga menjadi inspirasi bagi banyak jiwa yang terus berjuang dalam senyap.

Hari ini, saya masih berada di jalan. Bukan jalan raya Tembelang-Jombang, tapi jalan panjang yang bernama ilmu. Dan saya bersyukur, pernah bertemu seseorang yang menunjukkan bahwa tak ada yang mustahil bagi mereka yang terus berjalan—dengan niat yang lurus, tekad yang teguh, dan keyakinan kepada pertolongan Allah.[pgn]


Saksikan Live Pengukuhan Guru Besar Mas Ahmad Zainal Abidin!  

Posting Komentar

0 Komentar