![]() |
Foto kenangan saat kami berumrah bersama Keluarga Besar Yayasan Roushon Fikr pada tahun 2020. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Jika tak ada aral melintang,
saya dan istri insyaallah akan menunaikan ibadah haji pada tahun 2026 atau 2027 atau 2028. Sebuah panggilan
spiritual yang sudah lama kami rindukan dan persiapkan, baik secara lahiriah
maupun batiniah. Sejak mendapatkan informasi nomor porsi, kami pun semakin giat
meningkatkan literasi seputar ibadah haji, mulai dari aspek administratif,
ritual keagamaan, hingga teknis keseharian selama berada di tanah suci.
Salah
satu sahabat saya, Ahmad Faqih, yang juga menjabat sebagai sekretaris Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang, baru saja pulang
dari tanah suci usai menjalankan ibadah haji tahun 2024. Dalam obrolan santai
kami, ia bercerita tentang pengalamannya. Menurutnya, seluruh kebutuhan ibadah
dan teknis keseharian jamaah haji sudah sangat layak dipenuhi oleh petugas dari
Kementerian Agama Republik Indonesia. Ia bahkan menyarankan agar saya dan istri
kelak menjalani haji secara mandiri, cukup mengikuti program haji reguler yang
diselenggarakan oleh pemerintah, tanpa harus bergabung dengan Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) swasta.
Awalnya
saya cukup ragu. Bukankah selama ini keberadaan KBIHU selalu diasosiasikan
sebagai bagian penting dari penyelenggaraan haji? Namun karena saya tipe orang
yang suka menyelami informasi dari dasar hukumnya, saya pun membuka dan membaca
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Dalam
Bab III Pasal 10 secara tegas disebutkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji reguler
adalah tanggung jawab pemerintah. Bahkan tanggung jawab itu dilaksanakan secara
struktural melalui satuan kerja tetap di tingkat pusat, daerah, hingga Arab
Saudi. Lebih dari itu, di Bab II Pasal 6, disebutkan bahwa jamaah haji berhak
atas berbagai layanan, mulai dari manasik, akomodasi, konsumsi, transportasi,
perlindungan hukum, hingga layanan bagi penyandang disabilitas.
Setelah
memahami itu, saya mulai mengerti dan menerima saran sahabat saya itu. Maka saya
dan istri berkomitmen, insyaallah akan berhaji secara mandiri, dengan memanfaatkan segala fasilitas dan layanan yang
telah disediakan oleh pemerintah, tanpa harus mengikuti KBIHU tertentu.
Namun,
saya juga merenung: mengapa kesadaran seperti ini belum merata di tengah
masyarakat? Bisa jadi, edukasi dan sosialisasi dari pihak Kementerian Agama
tentang layanan haji reguler masih belum masif dan intensif. Atau mungkin,
promosi dari KBIHU justru lebih kuat, meyakinkan, dan menyentuh rasa
kekhawatiran para calon jamaah, sehingga muncul anggapan seolah berhaji tanpa
bimbingan KBIHU adalah tindakan yang nekat dan rawan tersesat.
Sebagai
calon jamaah haji, saya ingin membangun optimisme. Terlebih, sejak tahun 2024
pemerintah telah membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), sebuah lembaga
nonkementerian setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Pada 2024, BP Haji dipimpin oleh KH. Moch. Irfan Yusuf dan wakilnya
Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak. Mulai tahun 2026, pelaksanaan ibadah haji akan
diambil alih sepenuhnya oleh BP Haji. Maka wajar jika kami berharap, pelayanan
akan lebih baik, sistematis, dan bebas dari keruwetan.
Keruwetan?
Ya, keruwetan penyelenggaraan haji tahun 2025 sepertinya menjadi pelajaran
penting. Saya membaca kisah langsung dari Muh. Ikhwanudin Alfianto, seorang
kakak kelas saya di MAPK/MAKN Jember yang menjadi jamaah haji reguler kloter SUB-53
asal Ponorogo. Ia menulis pengalaman berhajinya secara reflektif dan jujur.
Awalnya, ia sangat puas dengan pelayanan haji di dalam negeri—proses
administrasi cepat, bimbingan manasik lengkap, fast track bandara efisien. Tapi
semuanya berubah begitu tiba di Jeddah.
Tanpa
diberi waktu ke toilet, para jamaah langsung diarahkan naik bus yang kemudian
berjalan tanpa petugas pendamping menuju hotel. Di sinilah awal kekacauan
dimulai. Pembagian hotel tidak lagi berdasarkan kloter atau regu sebagaimana
sistem yang sudah dibentuk di Indonesia, tetapi berdasar syarikah (perusahaan
penyedia layanan di Arab Saudi). Hasilnya? Suami istri terpisah hotel, lansia
terpisah dari pendampingnya, bahkan banyak koper tidak sampai ke tangan
pemiliknya hingga satu minggu. Beberapa jamaah hanya memakai pakaian ihram
tanpa baju ganti selama berhari-hari.
Keruwetan
berlanjut saat fase Armuzna—Arafah, Muzdalifah, Mina—yang merupakan puncak
haji. Jamaah kloter SUB-53 bahkan ada yang baru sampai di Arafah menjelang sore
hari tanggal 9 Dzulhijjah, padahal wukuf adalah rukun haji yang tidak boleh
terlewatkan. Sebagian jamaah bahkan langsung dibawa kembali ke hotel, tanpa
mabit di Muzdalifah dan Mina. Ironis, ketika sah dan tidaknya haji seseorang
seolah jadi taruhan akibat sistem yang kacau.
Saya tidak ingin menghakimi siapa yang salah. Tapi yang jelas, penyelenggaraan haji reguler harus kembali berpihak pada prinsip rahmatan lil alamin—memberi kemudahan, menjamin kenyamanan, dan memuliakan tamu Allah. Maka saya percaya, BP Haji akan mampu melakukan evaluasi menyeluruh dan menciptakan penyelenggaraan haji yang lebih profesional dan terintegrasi, sehingga pelayanan kepada jamaah haji bisa diperbaiki dan ditingkatkan.
Bagi
saya dan istri, memilih berhaji mandiri dengan mengikuti layanan resmi dari
pemerintah bukanlah bentuk kemandirian yang arogan, tapi bentuk tawakal—pasrah
namun tetap dengan ikhtiar cerdas. Kita percaya bahwa Allah Maha Melihat setiap
niat yang tulus dan langkah yang jujur. Maka dengan memahami hak dan tanggung
jawab sebagai jamaah haji reguler, kami justru merasa lebih siap, lebih percaya
diri, dan lebih tenang dalam menanti panggilan suci dari Tanah Haram.
Haji mandiri bukan sekadar keputusan praktis, tetapi cerminan dari semangat belajar, berdaya, dan percaya bahwa negara mampu menyelenggarakan ibadah agung ini secara bermartabat. Dengan demikian, pertanyaan “Haji Mandiri, Mengapa Tidak?” bukan lagi sebatas retorika, melainkan ajakan nyata untuk melihat, menimbang, dan memilih berdasarkan informasi yang valid dan pengalaman yang reflektif. [pgn]
0 Komentar