Terus Belajar Menjadi Orang Tua

 

Parenting bukan hanya soal siapa yang sudah sukses mendidik anaknya dengan sempurna. Ia adalah proses yang terus berjalan dalam mendampingi anak, jatuh-bangun memahami perubahan zaman, dan kesediaan untuk bertumbuh bersama anak-anak kita.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Ada undangan yang tidak bisa saya tolak, meski dalam hati saya sempat ragu. Undangan itu datang dengan nada yang sopan, tulus, dan sangat bersahaja dari seorang Kepala Sekolah bernama Ibu Sri Lestari, yang memimpin SD Negeri Sumberagung, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang.

Melalui percakapan WhatsApp yang singkat namun penuh makna, beliau menyampaikan rencana akan digelarnya acara perpisahan siswa kelas 6 pada tanggal 17 Juni 2025 mendatang. Namun bukan sekadar perpisahan biasa—acara itu akan diisi dengan sesi parenting, ditujukan untuk wali murid dan siswa kelas 6 sebagai bagian dari bekal menjelang masa remaja dan jenjang pendidikan berikutnya. Dalam konteks itulah saya diminta untuk mengisi materi.

Awalnya saya menjawab dengan jujur, “Sebenarnya saya kurang ideal, Bu, untuk bicara soal parenting, karena saya merasa masih belum ideal sebagai orang tua.” Saya katakan begitu bukan karena rendah diri, tetapi karena memang realitas rumah tangga saya belum benar-benar berhasil seperti yang mungkin dibayangkan banyak orang.

Saya adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMAN 2 Jombang yang juga aktif sebagai fungsionaris organisasi keagamaan Islam. Sudah sering saya diminta memberi ceramah keagamaan, mengisi pelatihan, bahkan seminar. Tapi kali ini terasa berbeda; saya diminta bicara tentang menjadi orang tua, di saat saya sendiri masih terus belajar menjadi orang tua yang baik.

Saya punya tiga anak dengan keunikan masing-masing. Ada di antara mereka yang belum menunjukkan kemandirian yang seharusnya dimiliki di usianya. Ia belum bisa mengatur waktu belajar dengan disiplin, kesadaran ibadahnya belum tumbuh dari dalam diri, dan saya pun sering kehabisan ide untuk menyemangatinya tanpa membuatnya merasa dihakimi. Di sinilah letak keraguan saya.

Tapi Ibu Sri Lestari menjawab dengan kalimat sederhana yang menggugah: “Mboten nopo-nopo, Pak. Sama-sama belajar. Saya hanya ingin memberi bekal terakhir untuk orang tua dan siswa kelas 6, sebelum mereka melanjutkan ke SMP. Agar perpisahan ini tidak hanya penuh tawa dan hiburan, tapi juga sarat makna.”

Jawaban itu menampar kesadaran saya. Parenting bukan hanya soal siapa yang sudah sukses mendidik anaknya dengan sempurna. Parenting adalah soal proses yang terus berjalan. Soal kegigihan dalam mendampingi anak, jatuh-bangun memahami perubahan zaman, dan kesediaan untuk bertumbuh bersama anak-anak kita.

Maka saya pun menyanggupi undangan itu, dengan satu niat sederhana: berbagi perjalanan, bukan menggurui.

Mengapa Parenting Masih Perlu Dibahas di Era Sekarang?

Acara parenting seperti ini—yang akan digelar 17 Juni nanti—seringkali dianggap “pelengkap” dari acara inti seperti perpisahan. Padahal, di sanalah makna paling dalam bisa dibagikan.

Anak-anak kita sekarang adalah generasi Z, generasi yang tumbuh dalam dunia digital sejak lahir. Mereka tidak hanya berbeda dalam hal teknologi, tapi juga dalam cara mereka merespons nasihat, membangun pemahaman, dan menyerap nilai. Mereka butuh pendekatan yang berbasis empati, bukan sekadar otoritas. Butuh keteladanan, bukan hanya perintah.

Sebagai orang tua, kita tidak sedang berhadapan dengan musuh. Kita sedang mendampingi seorang jiwa yang sedang tumbuh, yang sering kebingungan menghadapi gelombang identitas, tekanan teman sebaya, dan pergolakan emosi.

Di sinilah peran penting parenting Islami dan psikologi perkembangan anak menjadi peta jalan kita. Islam memerintahkan kita menjaga keluarga dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6), namun juga menunjukkan bahwa bahkan para nabi pun tidak selalu berhasil “mengontrol” hasil didikan mereka—karena hidayah itu mutlak milik Allah.

Sementara itu, teori psikologi menyatakan bahwa anak-anak berkembang paling optimal saat mereka dibimbing pada zona perkembangan terdekat mereka—yang belum mereka kuasai sendiri, tapi bisa dicapai dengan bantuan.

Maka menjadi orang tua bukanlah soal kontrol mutlak, tapi soal kesabaran mendampingi, ketulusan memberi contoh, dan doa yang tak pernah berhenti.

Perjalanan yang Belum Selesai

Dalam parenting, saya belajar bahwa kita semua sedang menempuh perjalanan panjang. Tidak ada kata "tamat" dalam mendidik anak. Bahkan saat mereka dewasa nanti, mereka tetap akan membawa nilai-nilai yang kita tanamkan hari ini—entah baik atau buruk.

Yang paling penting adalah bahwa kita tidak boleh berhenti belajar. Kita tidak boleh menyerah. Kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kita pun pernah salah. Bahkan masih salah.

Saya tidak akan datang ke SDN Sumberagung nanti untuk menjadi “pakar”. Saya datang sebagai seorang ayah yang masih belajar mencintai anak-anaknya dengan benar. Yang kadang gagal, tapi tidak menyerah.

Maka kepada para orang tua yang hadir nanti, izinkan saya mengajak untuk menata ulang cara pandang kita terhadap anak-anak:

Mereka bukan proyek kesuksesan kita.

Mereka bukan refleksi sempurna dari siapa kita.

Mereka adalah amanah, yang Allah titipkan, untuk mendidik kita juga.

Semoga acara parenting yang dirancang sederhana ini bisa membawa makna mendalam. Bahwa saat anak-anak kita lulus dari bangku SD dan bersiap menyongsong masa remaja, kita—orang tua mereka—juga ikut naik kelas. Naik kelas dalam kesabaran, dalam pengertian, dalam semangat memperbaiki diri.

Dan semoga, di tengah senyum perpisahan tanggal 17 Juni nanti, ada satu rasa syukur yang tumbuh bahwa kita tidak sendirian dalam perjuangan ini. Kita sama-sama sedang belajar menjadi orang tua.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar