Jangan Jadikan Murid Cengeng dan Guru Permisif, Akibat Kampanye Antiperundungan!

 

Falsafah Ngalah, Ngalih, Ngamuk mungkin relevan dijadikan landasan bagi kita agar tidak menjadi pribadi yang lemah dan mudah dilemahkan pihak lain. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Kampanye antiperundungan di sekolah adalah bagian dari upaya besar bangsa ini dalam melindungi anak-anak sebagai generasi penerus. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, negara menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 pun memperkuat upaya ini melalui kewajiban pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satgas PPKS di satuan pendidikan.

Namun di balik semangat mulia ini, kita harus tetap waspada terhadap potensi efek samping yang tak diinginkan. Jangan sampai kampanye ini, yang pada dasarnya bertujuan melindungi anak, justru menciptakan murid-murid yang mudah tersinggung, bermental lemah, dan terlalu bergantung pada sistem pengaduan. Lebih buruk lagi, jangan sampai guru sebagai pendidik kehilangan daya didiknya karena takut dianggap melanggar hukum saat menegakkan kedisiplinan atau memberi teguran yang edukatif.

Kita perlu mengingat bahwa sekolah bukan hanya tempat mencari ilmu pengetahuan, tetapi juga ruang untuk mendewasakan diri. Dunia nyata tidak selalu ramah, dan anak-anak perlu dilatih untuk menghadapi tantangan hidup dengan tegar dan berani. Slogan "berani melapor jika menjadi korban perundungan" tentu patut dikampanyekan, namun harus diimbangi dengan edukasi bahwa tidak semua teguran, lelucon, atau konflik antar teman adalah perundungan. Membekali anak dengan pemahaman dan kebijaksanaan ini penting agar mereka tidak mudah merasa menjadi korban hanya karena merasa tidak nyaman.

Kita bisa menoleh pada falsafah Jawa yang bijak: “ngalah, ngalih, ngamuk.” Tiga kata ini merepresentasikan sikap mental yang kuat dan adaptif dalam menghadapi persoalan. Ngalah adalah bentuk kedewasaan menerima keadaan, memilih untuk tidak terpancing emosi. Ngalih adalah bentuk kecerdikan, mencari jalan lain atau solusi yang lebih bijak. Dan jika kedua jalan ini gagal, barulah ngamuk—yakni bersikap tegas untuk membela diri dan menegakkan keadilan. Ini bukan soal kekerasan, melainkan keberanian untuk berdiri membela diri dengan cara yang tepat dan bermartabat.

Dalam konteks perundungan, murid perlu memahami bahwa tidak semua tekanan harus dilawan dengan pengaduan. Ada kalanya kita perlu mengalah untuk menjaga keharmonisan, atau menyingkir dari situasi yang merugikan. Namun bila sudah menyentuh batas harga diri dan keselamatan, barulah mereka harus bersuara dan melapor. Pendekatan ini mendidik anak untuk menjadi pribadi yang matang, tidak gegabah, dan memiliki daya tahan mental.

Di sisi lain, guru adalah aktor utama dalam proses pendidikan. Namun belakangan, banyak guru mulai merasa gamang. Mereka takut menegur, takut memberi sanksi, bahkan takut membentuk karakter anak dengan tegas, karena khawatir dipersepsikan sebagai pelaku kekerasan. Padahal, mendidik tanpa ketegasan adalah ibarat layar tanpa tiang. Anak-anak butuh batas, butuh tuntunan, butuh arahan. Jika guru dikebiri fungsinya hanya karena kesalahpahaman terhadap makna perlindungan anak, maka sekolah akan kehilangan ruh pendidikannya.

Permendikbudristek 46/2023 sudah memberikan kerangka yang jelas. Regulasi ini bertujuan untuk mencegah dan menangani kekerasan secara sistematis dan terukur. TPPK dan Satgas PPKS dibentuk bukan untuk menakut-nakuti guru, tetapi untuk memastikan ada saluran aduan dan penanganan yang adil bagi korban maupun pelaku. Maka, pendekatan yang tepat adalah menjadikan regulasi ini sebagai alat bantu, bukan sebagai belenggu.

Yang perlu kita bangun adalah ekosistem sekolah yang sehat: komunikasi terbuka, saling menghormati, dan kolaborasi antara guru, murid, orang tua, dan masyarakat. Sekolah wajib menyusun tata tertib yang jelas, menyosialisasikan nilai-nilai antiperundungan, dan menyediakan saluran pelaporan yang akomodatif. Namun di saat yang sama, harus ada mekanisme edukatif yang mendorong siswa untuk menyelesaikan konflik dengan kedewasaan, bukan dengan aduan instan.

Peran orang tua juga sangat krusial. Mereka bukan hanya pendukung dari luar pagar sekolah, tetapi mitra sejajar dalam pendidikan karakter. Orang tua perlu mengajarkan bahwa hidup tidak selalu menyenangkan. Anak harus diajari untuk bertanggung jawab, untuk membedakan antara candaan yang berlebihan dan perundungan, antara teguran disiplin dan kekerasan. Ketika orang tua terlalu reaktif dan tidak memberi ruang bagi guru untuk menjalankan peran edukatifnya, maka anak akan tumbuh dalam gelembung yang rapuh.

Penting pula dipahami bahwa membela diri bukanlah kejahatan. Dalam konteks tertentu, mempertahankan kehormatan diri adalah bentuk kemuliaan. “Berkelahi” dalam arti mempertahankan harga diri secara proporsional—bukan menyerang atau membalas dendam—adalah bentuk karakter yang tegas. Ini adalah pelajaran penting dalam pendidikan karakter: menjadi anak baik bukan berarti menjadi lemah.

Kampanye antiperundungan yang bijak bukanlah yang membungkus anak-anak dalam kepompong perlindungan berlebihan. Melainkan, kampanye yang justru membentuk daya tahan, keberanian, dan kebijaksanaan dalam bersikap. Kita tidak sedang mencetak generasi “korban”, tetapi generasi pemimpin masa depan.

Akhirnya, perlindungan anak bukan berarti menjadikan guru tak berdaya, dan tidak pula menjadikan murid terlalu mudah mengeluh. Perlindungan anak adalah proses menciptakan ruang yang aman untuk belajar dan tumbuh, dengan tetap menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, keberanian, dan keteguhan hati. Sekolah yang ideal bukanlah sekolah tanpa konflik, tapi sekolah yang mengajarkan bagaimana menyikapi konflik dengan kepala dingin dan hati lapang.

Dengan pemahaman yang proporsional dan bijak, regulasi yang berpihak, dan budaya sekolah yang sehat, kampanye antiperundungan akan benar-benar bermakna. Mari kita wujudkan sekolah sebagai tempat yang aman, tegas, dan membangun mental anak-anak kita menjadi generasi tangguh, bukan generasi cengeng.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

 

Baca juga!

Catatan Kritis atas Kebijakan Tes Kemampuan Akademik

Mengusahakan MPLSyang Benar-benar Ramah

 

 


Posting Komentar

0 Komentar