Jombang Harus Bergerak untuk Transportasi Publik yang Layak

 

Jika Jombang bergerak hari ini, maka besok kita bisa menyaksikan murid-murid kita naik kendaraan umum berlogo kebanggaan daerahnya. Mereka tersenyum, tidak lagi takut ditilang, tidak lagi memikul rasa bersalah karena melanggar hukum. 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap pagi, jalanan Jombang dipenuhi oleh murid-murid berseragam sekolah yang melaju di atas sepeda motor. Sekilas tampak biasa saja. Namun, ada satu pertanyaan besar yang terus menghantui hati saya sebagai guru: “Apakah mereka semua sudah memiliki SIM?” Jawabannya nyaris pasti: belum. Sebab sebagian dari mereka masih duduk di bangku SMP atau SMA dan belum cukup umur untuk mengantongi Surat Izin Mengemudi. Di sinilah dilema itu dimulai.

Di satu sisi, saya tahu bahwa mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM adalah pelanggaran hukum. Tapi di sisi lain, saya juga paham bahwa mayoritas orang tua murid tidak memiliki cukup waktu atau tenaga untuk mengantar dan menjemput anaknya setiap hari. Jarak rumah ke sekolah yang bisa mencapai belasan kilometer, ditambah minimnya transportasi umum yang layak, membuat sepeda motor menjadi pilihan “terpaksa tapi realistis”.

Sekolah pun tahu. Maka mereka melarang motor siswa masuk ke lingkungan sekolah. Tapi kenyataan berkata lain: para murid tetap datang dengan motor, memarkirkannya di penitipan milik warga sekitar sekolah, lalu berjalan kaki masuk ke gerbang. Guru-guru pun tahu, tapi berpura-pura tidak tahu. Ini bukan bentuk pembiaran, melainkan ketidakberdayaan dalam sistem yang tak menyediakan alternatif.

Namun, kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam pura-pura. Apalagi jika solusinya sudah ada, nyata, dan telah berhasil diadopsi oleh kabupaten tetangga; Tuban. Di sana, Pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Perhubungan menghadirkan “Si Mas Ganteng” — singkatan dari Transportasi Masyarakat Tuban yang Elegan, Aman, Nyaman, dan Terintegrasi.

Apa yang membuat Si Mas Ganteng istimewa? Banyak. Pertama, gratis bagi pelajar. Kedua, trayeknya menghubungkan titik-titik penting antar sekolah dan stasiun. Ketiga, berbasis aplikasi digital yang membuat penggunaannya efisien dan terkontrol. Keempat, desain kendaraan menarik dan mirip kendaraan wisata, sehingga pelajar merasa nyaman dan bangga menggunakannya. Kelima, ramah lingkungan karena menggunakan armada yang lebih bersih dan minim emisi. Dan terakhir, tentu saja, pelajar tidak perlu waswas kena tilang atau kecelakaan lalu lintas.

Melihat keberhasilan Tuban, wajar jika muncul satu pertanyaan reflektif: “Mengapa Jombang belum bisa?”

Padahal, embrio solusi ini sudah ada di Jombang, meski dalam lingkup terbatas. Di lingkungan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, misalnya, santri yang bersekolah agak jauh dari ribathnya telah disediakan layanan transportasi internal seperti Kereta Kelinci dan Bus Santri. Artinya, kesadaran akan pentingnya transportasi pelajar bukan hal baru. Yang belum ada adalah komitmen dan kemauan politik dari pemerintah daerah untuk mengadopsi solusi serupa dalam skala kabupaten.

Jika Pemerintah Kabupaten Jombang dan DPRD-nya punya visi jauh ke depan, mereka seharusnya menjadikan transportasi publik pelajar sebagai salah satu prioritas pembangunan. Bukan hanya demi kenyamanan, tapi demi keselamatan generasi penerus dan tegaknya budaya hukum di usia muda. Kita tidak bisa terus membiarkan murid-murid kita belajar dengan cara yang melanggar hukum, hanya karena negara tidak menyediakan pilihan yang layak.

TransJatim yang telah digagas oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga bisa menjadi referensi tambahan. Layanan transportasi antarwilayah dengan harga terjangkau ini menjadi bukti bahwa jika ada kemauan politik yang kuat, maka solusi transportasi massal bukanlah hal mustahil.

Apalagi, investasi di sektor transportasi pelajar bukanlah pemborosan. Ia akan berdampak langsung pada:

·         Tingkat kedisiplinan siswa yang lebih baik,

·         Pengurangan pelanggaran lalu lintas oleh anak di bawah umur,

·         Menurunnya angka kecelakaan yang melibatkan pelajar,

·         Perubahan budaya berkendara yang lebih tertib,

·         Dan tentu saja, meringankan beban ekonomi keluarga.

Lebih dari itu, anak-anak kita akan belajar bahwa menjadi warga negara yang taat hukum dimulai dari kebiasaan kecil: datang ke sekolah dengan cara yang benar. Mereka tidak perlu lagi “diam-diam” membawa motor tanpa SIM. Guru pun bisa mendidik dengan tenang, tanpa dihantui dilema moral setiap pagi.

Kita tidak sedang bicara tentang mimpi yang tinggi. Kita bicara soal kebutuhan riil yang bisa diwujudkan. Tinggal bagaimana Pemkab Jombang dan DPRD-nya melihat ini bukan sebagai beban, tapi sebagai peluang besar untuk menciptakan warisan kebijakan yang berpihak pada pendidikan dan masa depan.

Karena itu, kami para guru, para orang tua, dan tentu para murid, menanti keberanian itu. Beranikah Jombang mengambil langkah seperti Tuban? Beranikah Jombang menghadirkan transportasi publik gratis, aman, dan nyaman bagi pelajarnya?

Jika Jombang bergerak hari ini, maka besok kita bisa menyaksikan murid-murid kita naik kendaraan umum berlogo kebanggaan daerahnya. Mereka tersenyum, tidak lagi takut ditilang, tidak lagi memikul rasa bersalah karena melanggar hukum. Mereka menjadi pelajar yang merdeka belajar — bukan hanya di kelas, tapi juga di jalan raya.

Saatnya Jombang bergerak. Jangan tunggu sampai kecelakaan berikutnya terjadi. Jangan tunggu sampai pelanggaran menjadi kebiasaan. Saatnya hadirkan moda transportasi publik pelajar. Gratis, nyaman, dan bermartabat.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!

Bukan Salah Siswa, Tapi Sistem yang Tak Ramah!

Posting Komentar

0 Komentar