Menelusuri Nalar Fatwa Sound Horeg

 

Marilah kita bijak menyikapi fatwa ini. Bukan dengan emosi atau spekulasi, tapi dengan literasi yang memadai.  

[Jombang, Pak Guru NINE] - Fatwa bukan sekadar pernyataan halal atau haram. Ia merupakan buah pikir panjang, hasil dari dialektika antara realitas sosial dan prinsip syariat. Begitu pula dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg. Di balik satu kata "haram", terdapat kerangka sistematis yang menjadikannya kokoh secara hukum, argumentatif secara nalar, dan berimbang secara maslahat. Inilah pentingnya kita memahami sistematika penulisan fatwa tersebut agar tidak terjebak pada narasi sepotong.

1. Dimulai dengan Identitas: Judul dan Penomoran

Sebagaimana lazim dalam dokumen resmi, fatwa ini dibuka dengan penegasan identitas: nomor, tahun, dan tema utama, yaitu penggunaan sound horeg. Penyebutan ini bukan formalitas belaka, melainkan pijakan administratif yang menjamin akuntabilitas dan kemudahan rujukan di kemudian hari. Dalam konteks ini, MUI Jatim menegaskan bahwa fatwa tersebut adalah respon serius atas kegelisahan masyarakat.

2. Menimbang: Membaca Keresahan Masyarakat

Bagian “Menimbang” memuat latar sosial yang menjadi alasan fatwa ini terbit. Di antaranya: permohonan masyarakat, munculnya pro-kontra, potensi konflik sosial, hingga petisi penolakan dengan ratusan tanda tangan. Inilah argumen moral dan sosiologis yang menunjukkan bahwa fatwa bukan hanya perkara teks suci, melainkan juga konteks nyata. MUI Jatim menegaskan bahwa suara yang terlalu bising tak sekadar mengganggu, tapi juga memecah harmoni sosial.

3. Mengingat: Landasan Dalil dan Hukum

Inilah bagian paling teologis sekaligus yuridis. Dideretkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyinggung larangan menyakiti sesama, berbuat kerusakan, dan membahayakan diri sendiri. Diiringi pula oleh hadits-hadits Nabi SAW tentang etika sosial dan prinsip la dharara wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain). Tak ketinggalan, prinsip-prinsip fikih seperti dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih utama dari mengambil kemaslahatan). Di sinilah nalar syar’i bekerja: mengaitkan dalil dengan realitas secara proporsional.

4. Memperhatikan: Data dan Pendapat Ahli

Salah satu keunikan fatwa ini adalah bagian “Memperhatikan” yang memuat data ilmiah, regulasi pemerintah, serta masukan ahli dan masyarakat. Misalnya, fakta bahwa sound horeg bisa mencapai 135 desibel, jauh melebihi ambang batas WHO (85 dB). Pendapat pakar THT dari FK UNAIR menyebut bahwa suara setinggi itu berisiko merusak pendengaran, bahkan menimbulkan gangguan jantung dan tidur. Di sini, fatwa tak berdiri sendiri dalam ruang tafsir keagamaan, tapi bersanding erat dengan sains dan hukum positif.

5. Memutuskan: Empat Pilar Fatwa

Bagian inti fatwa termuat dalam “Memutuskan” yang terdiri dari empat bagian penting:

  • Pertama: Ketentuan Umum, menjelaskan definisi sound horeg dan desibel sebagai pijakan konseptual.
  • Kedua: Ketentuan Hukum, menyatakan dengan tegas bahwa penggunaan sound horeg yang melampaui batas, menimbulkan kerusakan fisik, atau disertai kemaksiatan seperti joget campur aurat, adalah haram. Namun bila digunakan secara wajar untuk kegiatan positif seperti pengajian atau pernikahan, maka boleh.
  • Ketiga: Rekomendasi, menyeru kepada pemerintah untuk membuat regulasi, kepada penyelenggara acara untuk menjaga norma, serta kepada masyarakat untuk memilih hiburan sehat.
  • Keempat: Ketentuan Penutup, menegaskan bahwa fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dan terbuka untuk revisi bila diperlukan. Ini menunjukkan keterbukaan terhadap dinamika zaman.

6. Disahkan dengan Tanda Tangan dan Otoritas

Fatwa ini bukan sekadar pendapat pribadi. Ia dilegalkan secara institusional oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim, serta disahkan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI Jatim. Ini mengokohkan bahwa fatwa bukan produk individu, melainkan lembaga resmi dengan tanggung jawab keummatan.

 

Sistematika penulisan fatwa ini bukan sekadar struktur administratif. Ia adalah cermin dari kehati-hatian, kehormatan pada ilmu, dan penghormatan pada suara rakyat. Di saat sebagian pihak menilai bahwa fatwa hanya berdasarkan desibel semata, sistematika ini menunjukkan bahwa fatwa MUI Jatim lahir dari jalinan ayat, data, nalar hukum, dan suara publik.

Karenanya, marilah kita bijak menyikapi fatwa ini. Bukan dengan emosi atau spekulasi, tapi dengan literasi. Karena pada akhirnya, keberagamaan yang sehat adalah yang menjadikan maslahat sebagai tujuan, bukan memaksakan ekspresi atas nama kesenangan semata. Fatwa ini bukan untuk membungkam kreativitas, melainkan menuntun agar ia tak melukai telinga dan nurani masyarakat.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang


Baca juga!

Sound Horeg, Fatwa MUI dan Batas Desibel


Posting Komentar

0 Komentar