Setengah Abad MUI: Antara Marwah dan Tantangan

 

Sebuah catatan reflektif peringatan 50 tahun milad Majelis Ulama Indonesia.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Lima puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi sebuah lembaga. Bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), usia emas ini bukan hanya tentang usia, tetapi juga tentang perjalanan panjang dalam mengawal umat, menjaga akidah, dan meneguhkan nilai-nilai Islam di tengah dinamika bangsa yang terus berubah. Sejak berdiri pada 26 Juli 1975, MUI telah menjadi ruang silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dari berbagai latar belakang dalam semangat ukhuwah dan pengabdian.

MUI lahir dari kesadaran historis bahwa bangsa Indonesia memerlukan panduan moral dan spiritual pascakemerdekaan. Ulama, sebagai penerus tugas kenabian (waratsatul anbiya), memiliki peran strategis dalam membimbing umat, tak hanya dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dari sinilah MUI mengambil peran suci—menyuarakan kebenaran, menguatkan akidah, mengawal syariah, dan merawat akhlak.

Selama lima dekade, MUI telah memainkan peran signifikan. Dari mengeluarkan fatwa hingga menjadi penengah dalam polemik umat, dari pelopor dakwah moderat hingga penggerak ekonomi syariah, kiprahnya tampak nyata. Namun, di balik keberhasilan itu, MUI juga terus bergulat dengan tantangan zaman yang semakin kompleks.

Perubahan zaman membawa serta tantangan baru. Umat Islam kini tidak hanya dihadapkan pada persoalan klasik seputar akidah dan ibadah, tetapi juga krisis identitas, disorientasi moral, dan keterpinggiran dalam era digital. Media sosial menciptakan "ustaz-ustaz dadakan" yang bebas menafsirkan agama tanpa basis keilmuan. Dalam kondisi ini, MUI harus tampil bukan hanya sebagai pemberi fatwa, tetapi juga sebagai pendidik umat yang mampu menjernihkan kebingungan dan menuntun dengan bijak.

Khususnya bagi generasi muda—milenial dan Gen Z—yang hidup dalam dunia yang cair dan penuh distraksi, MUI ditantang untuk hadir dengan pendekatan yang segar dan komunikatif. Jika tidak, peran ulama bisa tergeser oleh suara-suara viral yang kerap hampa dari substansi. Oleh karena itu, MUI perlu merumuskan strategi dakwah baru yang menjangkau mereka melalui kanal-kanal digital dengan bahasa yang relevan.

Selain itu, fragmentasi umat Islam yang kerap berujung pada polarisasi pemikiran, bahkan konflik, menjadi tantangan tersendiri. Di sinilah MUI harus memposisikan diri sebagai juru damai yang netral dan independen. MUI tak boleh larut dalam pusaran kepentingan politik praktis yang menggerus marwah keulamaan. Sebab, saat ulama kehilangan otonominya, maka hilang pula kemuliaannya.

Tantangan ideologis juga semakin terasa. Wacana liberalisme, sekularisme, dan relativisme nilai terus menguat, bahkan merasuki kebijakan, pendidikan, hingga budaya digital. Di tengah narasi bahwa agama hanya urusan privat, MUI perlu hadir dengan respon cerdas, bukan emosional. Melalui dialog terbuka, argumentasi ilmiah, dan kolaborasi konstruktif, MUI bisa menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang integral—mengatur seluruh aspek kehidupan secara rahmatan lil ‘alamin.

Tak kalah penting, MUI juga harus ikut berkontribusi dalam penguatan ekonomi keumatan. Islam yang adil tak cukup hanya didakwahkan, tetapi harus diwujudkan melalui langkah nyata: pengembangan zakat, wakaf, koperasi syariah, UMKM halal, dan sistem ekonomi Islam yang memberdayakan. Keadilan sosial bukan hanya mimpi, tetapi cita-cita yang harus diupayakan secara sistematis dan berkelanjutan.

Revitalisasi peran ulama menjadi kebutuhan mendesak. Regenerasi tidak bisa ditunda. Ulama muda yang menguasai teknologi digital, keilmuan modern, dan memiliki spiritualitas mendalam harus diberi ruang lebih luas dalam tubuh MUI. Dunia saat ini membutuhkan juru dakwah yang tidak hanya piawai membaca kitab, tetapi juga paham algoritma—yang mampu menyampaikan pesan Islam melalui YouTube, TikTok, dan platform digital lainnya dengan narasi yang damai, sejuk, dan mencerahkan.

Namun, kita juga harus jujur: MUI memiliki keterbatasan kapasitas kelembagaan dan ruang gerak. Tak semua tantangan bisa langsung dijawab secara cepat dan efektif. Karena itu, penting bagi MUI untuk menyusun skala prioritas. Ini bukan soal memilih tantangan yang paling mudah, melainkan strategi agar MUI tetap fokus menjalankan misi utamanya sebagai penjaga nurani umat dan penuntun jalan dakwah.

Kini, di usia emasnya, MUI harus terus menjadi cahaya penuntun—bukan menara gading yang terpisah dari realitas umat. Ia harus tetap menjadi penjaga cahaya keulamaan: cahaya yang membimbing, bukan menghakimi; yang menegur dengan kasih, bukan mencela dengan benci. Cahaya yang bersumber dari langit, tetapi menyentuh bumi dengan kelembutan.

Lima puluh tahun telah berlalu. Banyak pencapaian telah ditorehkan, dan lebih banyak lagi tantangan yang menanti. MUI tidak boleh berjalan sendiri. Umat pun tidak boleh melepaskan ulama dari pangkuannya. Sejarah membuktikan, kejatuhan umat sering kali terjadi saat mereka meninggalkan ilmu dan menolak bimbingan ulama.

Maka, mari kita jaga MUI bukan sekadar sebagai lembaga, tetapi sebagai warisan perjuangan para nabi. Sebab dari sinilah kita bisa terus berharap: di tengah gelapnya zaman, masih ada pelita yang setia menebar rahmat dan menjaga marwah.

Selamat Milad Emas, MUI. Teruslah menjadi mitra umat dan bangsa.

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang


Baca juga!

Menelurusi Nalar Fatwa Sound Horeg

Posting Komentar

0 Komentar