[Jombang, Pak Guru
NINE] - Setiap bulan Agustus,
udara di negeri ini dipenuhi aroma semangat kemerdekaan. Dari pelosok desa
hingga kota besar, jalanan ramai oleh bendera merah putih, gapura hias, dan
beragam lomba 17-an. Salah satu tradisi yang tak pernah absen adalah Gerak
Jalan — pawai kaki yang katanya menghidupkan kembali napak tilas perjuangan
para pejuang. Sebagai seorang guru, saya kerap menyaksikan antusiasme siswa
mengikuti kegiatan ini. Namun, seiring waktu, saya merasa perlu memberikan
makna lebih terhadap tradisi ini. Sebab, tanpa pemaknaan yang tepat, Gerak
Jalan bisa terjebak menjadi sekadar ritual seremonial yang boros biaya dan
minim substansi.
Dalam tulisan saya berjudul “Menapak
Jejak Sejarah Melalui Gerak Jalan”, saya mencoba memotret sisi historis dan
nilai kebangsaan di balik kegiatan ini. Namun, seorang sahabat yang juga
sekretaris MUI Kabupaten Jombang memberi catatan kritis yang tak bisa saya
abaikan. Ia mempertanyakan cost and benefit dari Gerak Jalan, khususnya
dari perspektif sekolah.
Kritik Keprihatinannya
Kritiknya cukup telak. Untuk latihan
Gerak Jalan, siswa bisa kehilangan lebih dari 10 hari efektif belajar. Belum
lagi biaya kostum yang kerap menembus Rp. 250 ribu per orang, konsumsi selama
latihan dan lomba yang bisa menguras Rp. 2 juta per regu, serta transportasi
yang kadang melanggar aturan lalu lintas karena menggunakan truk barang.
Setelah lomba, peserta butuh istirahat satu hari penuh. Jika dihitung-hitung,
total ada 12 hari KBM yang hilang. Semua ini demi apa? Gelora nasionalisme?
Hiburan rakyat? Benarkah keduanya tercapai?
Pertanyaannya semakin tajam: apakah
pernah ada penelitian yang membuktikan Gerak Jalan secara signifikan
meningkatkan rasa nasionalisme siswa atau menjadi hiburan yang benar-benar
bermanfaat bagi masyarakat? Ataukah kita hanya menjalankan rutinitas tahunan
tanpa benar-benar mengevaluasi dampaknya?
Tawaran Solusi
Saya tidak menampik, di lapangan sering
muncul kontradiksi antara tujuan mulia dan realitas. Ada peserta yang tampil
urakan, memakai kostum tak pantas, berdandan ala waria, bahkan mengabaikan
kewajiban shalat. Alih-alih menjadi media edukasi sejarah, Gerak Jalan berubah
menjadi ajang euforia.
Sebagai guru, saya merasa bertanggung
jawab untuk tidak sekadar mengkritik, tapi juga memberi tawaran solusi. Tradisi
boleh tetap hidup, namun formatnya bisa kita rekonstruksi agar lebih hemat,
edukatif, dan tepat sasaran.
Langkah Kreatif Rekonstruksi Gerak
Jalan
1.
Menyederhanakan konsep
Gerak
Jalan tidak harus lomba akbar dengan rute jauh dan kostum mewah. Kita bisa
membuat versi edukatif di lingkungan sekolah atau desa dengan rute pendek.
Sepanjang perjalanan, peserta melewati pos-pos pengetahuan yang menyajikan
kisah pahlawan, pembacaan naskah proklamasi, atau permainan edukatif. Ini bukan
sekadar jalan kaki, tapi perjalanan menimba wawasan sejarah.
2. Penilaian
yang transparan dan edukatif
Selama
ini, juri sering “menyamar” di antara penonton. Akibatnya, peserta tidak merasa
diawasi, lalu tampil tanpa kontrol. Bayangkan jika di setiap pos penilaian,
juri hadir secara terbuka. Peserta akan menjaga perilaku, bersikap sopan, dan
menampilkan yang terbaik. Evaluasi pun menjadi proses belajar, bukan sekadar
ajang menunggu nilai.
3. Menekankan
nilai sejarah dan etika
Kostum
peserta bisa sederhana namun bermakna, misalnya terinspirasi dari pakaian
pejuang atau busana adat. Yang penting sopan dan sesuai budaya. Panitia perlu
tegas, bahkan mendiskualifikasi peserta yang melanggar norma. Dengan begitu,
pesan moral dan budaya bisa tersampaikan lebih kuat daripada sekadar hiburan
visual.
4. Kreativitas
untuk mengurangi biaya
Tidak semua harus baru dan mahal. Kostum bisa dimodifikasi dari pakaian yang sudah ada, atau memanfaatkan bahan bekas dengan sentuhan kreatif. UMKM lokal bisa dilibatkan menyediakan atribut murah atau gratis sebagai promosi usaha. Selain hemat, ini juga memberdayakan ekonomi lokal.
Saya memahami, banyak orang menyukai
Gerak Jalan karena memberi suasana meriah dan memperkuat kebersamaan. Namun, di
sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata terhadap biaya besar dan potensi
hilangnya waktu belajar. Solusi terbaik adalah mencari titik temu: menjaga
semangat perayaan sambil memastikan kegiatan tersebut punya dampak nyata pada
pendidikan dan moral peserta.
Bayangkan jika setiap Gerak Jalan
disertai tema khusus, misalnya “Jejak Pahlawan Lokal” atau “Bhineka Tunggal
Ika.” Setiap kelompok peserta wajib menyajikan informasi atau drama singkat
tentang tema tersebut di pos penilaian. Masyarakat tidak hanya menonton parade,
tapi juga mendapatkan pengetahuan baru. Murid pun belajar riset, presentasi,
dan kerja sama.
Kita perlu menyadari bahwa pendidikan
tidak hanya terjadi di dalam kelas. Kegiatan peringatan kemerdekaan bisa
menjadi kelas terbuka yang mengajarkan sejarah, etika, solidaritas, dan
kreativitas. Namun, untuk mencapai itu, kita harus mau mengubah kebiasaan lama
yang terlalu fokus pada kemeriahan visual menjadi kegiatan yang sarat nilai.
Gerak Jalan yang direkonstruksi dengan
pendekatan edukatif akan tetap menyenangkan, namun lebih hemat, tertib, dan
relevan dengan tujuan memperingati kemerdekaan. Dengan konsep baru ini, kita
bisa menumbuhkan rasa nasionalisme yang lebih autentik, bukan sekadar euforia
sesaat.
Tradisi ada untuk diwariskan, tapi warisan
yang baik adalah yang membawa manfaat. Jika Gerak Jalan ingin tetap menjadi
bagian dari identitas perayaan kemerdekaan, ia harus mampu beradaptasi dengan
zaman. Kita tidak lagi hidup di era di mana hiburan massal menjadi satu-satunya
cara menyatukan masyarakat. Di era informasi ini, orang mencari kegiatan yang
tidak hanya menghibur, tapi juga mendidik dan memberi makna.[pgn]
Nine Adien
Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten
Jombang
Baca juga!
1 Komentar
Bagus
BalasHapus