![]() |
Dalam konteks Jombang, Gerak Jalan Rojo bukan hanya kegiatan olahraga atau hiburan tahunan, tetapi momen untuk menghidupkan kembali cerita perjuangan. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Bagi sebagian orang, gerak
jalan mungkin hanyalah perlombaan tahunan untuk memeriahkan peringatan Hari
Kemerdekaan. Suara peluit, barisan seragam, dan langkah yang serempak terlihat
seperti sebuah parade hiburan. Namun jika kita mau melihat lebih dalam, setiap
langkah kaki dalam gerak jalan sesungguhnya mengandung cerita panjang
perjuangan bangsa. Ia adalah napak tilas sejarah, menghidupkan kembali jejak
para pejuang yang dulu berjalan demi kemerdekaan, dan menjadi pengingat bahwa
kemerdekaan ini diraih dengan darah, keringat, dan pengorbanan.
Tradisi gerak jalan berakar
dari semangat pergerakan para pejuang menuju medan perang. Bayangkan suasana
1945, ketika Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari dikumandangkan. Dari berbagai
daerah, para pemuda berbondong-bondong menuju Surabaya untuk menghadang tentara
NICA. Mereka berjalan bukan di jalan beraspal mulus, melainkan di medan berat,
menembus panas terik, hujan deras, dan ancaman peluru. Setiap langkah yang
mereka ambil bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi pernyataan tekad: lebih
baik mati terhormat daripada hidup terjajah.
Kisah serupa juga terlihat pada
strategi perang gerilya yang dipimpin Jenderal Besar Soedirman. Dalam kondisi
sakit, beliau tetap memimpin pasukannya berjalan dari desa ke desa, menghindari
kepungan musuh sambil terus memelihara semangat rakyat. Inilah makna terdalam
gerak jalan: keteguhan untuk terus melangkah, apapun rintangannya, demi menjaga
kemerdekaan.
Tidak mengherankan jika rute
awal gerak jalan di Indonesia mengambil jalur-jalur bersejarah perjuangan. Ada
rute Pandaan–Surabaya yang mengenang pertempuran di sektor selatan Sungai
Brantas, dan rute Mojokerto–Surabaya untuk menghormati sektor barat yang
dipertahankan oleh Batalyon Laskar Hisbullah, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa,
dan pasukan rakyat lainnya. Bahkan di Jombang, tradisi ini dilestarikan melalui
Gerak Jalan Rojo—dari Ngoro menuju Kebon Rojo—yang sekaligus menjadi bagian
dari peringatan HUT Kemerdekaan.
Di awal kemunculannya, gerak
jalan lebih menonjolkan semangat heroik daripada kerapian barisan. Peserta
berjalan bersama dalam kelompok besar, tak peduli apakah langkahnya seragam
atau barisannya lurus. Yang penting adalah semangat untuk menapaki kembali
jalur sejarah. Namun seiring perkembangan zaman, gerak jalan mulai dipadukan
dengan Peraturan Baris-Berbaris (PBB). Barisan menjadi lebih kompak, tertib,
dan rapi. Langkah tegap, sikap sempurna, hingga gerakan hormat menjadi bagian
dari atraksi. PBB bukan sekadar mempercantik gerak jalan, tetapi mengajarkan
disiplin, kerja sama, dan koordinasi—nilai-nilai yang juga dibutuhkan dalam
kehidupan berbangsa.
Sejarah mencatat, gerak jalan
telah menjadi bagian dari tradisi peringatan kemerdekaan sejak 1955–1958. Kala
itu, kegiatan ini melibatkan berbagai kalangan: pelajar, pemuda, pegawai
negeri, pegawai swasta, hingga para veteran. Namun perjalanan tradisi ini tidak
selalu mulus. Gerak jalan sempat terhenti pada masa gejolak politik 1965–1967,
lalu dihidupkan kembali oleh KONI pada 1968. Pada periode 1998–2005, kegiatan
ini kembali terhenti akibat krisis ekonomi dan politik, sebelum akhirnya
bangkit lagi sejak 2006 hingga sekarang, dengan dukungan Dinas Pemuda dan
Olahraga di berbagai daerah.
Jika dilihat dari sisi fisik,
gerak jalan jelas memberikan manfaat kesehatan. Berjalan dalam jarak yang cukup
jauh melatih stamina, ketahanan, dan kekuatan otot. Namun yang membuatnya
istimewa adalah nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Gerak jalan
mengajarkan bahwa keberhasilan tidak pernah diraih dalam satu lompatan besar,
melainkan melalui langkah-langkah kecil yang konsisten. Setiap langkah adalah
kontribusi, setiap barisan adalah simbol persatuan, dan setiap garis akhir
adalah gambaran tujuan besar yang ingin dicapai bersama.
Pesan ini sangat relevan bagi
generasi sekarang. Tantangan yang kita hadapi memang berbeda dengan masa
perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi esensinya sama: kita harus melangkah
bersama untuk mempertahankan kemerdekaan. Dulu musuhnya adalah kolonialisme
bersenjata, kini musuhnya bisa berupa kemiskinan, ketimpangan, hoaks,
perpecahan sosial, dan kerusakan lingkungan. Semuanya membutuhkan kesadaran
kolektif, kerja sama, dan langkah serempak untuk dihadapi.
Gerak jalan juga menjadi ruang
kebersamaan lintas generasi dan latar belakang. Di situ, siswa SMA berbaris di
samping komunitas warga, guru berjalan bersama pegawai, bahkan keluarga bisa
ikut melangkah bersama. Ada yang serius menampilkan PBB dengan presisi, ada
pula yang memadukan kostum kreatif untuk menghibur penonton. Namun semua terikat
dalam satu rasa: kebanggaan sebagai bagian dari bangsa yang merdeka.
Dalam konteks Jombang, Gerak
Jalan Rojo bukan hanya kegiatan olahraga atau hiburan tahunan, tetapi momen
untuk menghidupkan kembali cerita perjuangan. Start dari Pusdiklatcab Ngoro dan
finish di Kebon Rojo Jombang bukanlah sekadar lintasan fisik, melainkan simbol
perjalanan dari titik awal perjuangan menuju pusat kehidupan masyarakat. Rute
ini mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah perjalanan panjang yang memerlukan
kekompakan dan keteguhan hati.
Maka, ketika kita melangkah
dalam gerak jalan, sesungguhnya kita sedang mengulang kisah para pejuang dengan
cara yang lebih riang. Setiap tetes keringat menjadi persembahan kecil untuk
negeri. Setiap langkah adalah pengakuan bahwa kita mewarisi perjuangan dan
bertanggung jawab untuk melanjutkannya. Dan ketika garis akhir terlihat di
depan mata, itu menjadi pengingat bahwa tujuan besar bangsa ini hanya akan
tercapai jika kita tetap bergerak bersama.
Gerak jalan, pada akhirnya,
bukan sekadar tradisi atau perlombaan. Ia adalah perayaan rasa syukur,
penghormatan kepada pahlawan, dan latihan kebersamaan. Ia mengajarkan bahwa
kemerdekaan bukanlah garis akhir yang membuat kita berhenti, tetapi sebuah
perjalanan panjang yang harus terus kita tapaki—setapak demi setapak,
bersama-sama, menuju Indonesia yang lebih bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar