![]() |
Malam itu bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah titik awal untuk meneguhkan kebersamaan di tengah kemajemukan. |
[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Sabtu malam, 16 Agustus 2025, menjadi malam yang istimewa bagi
warga RT 03 RW 04 Dusun Peluk, Desa Pacarpeluk, Megaluh, Jombang. Untuk pertama kalinya, mereka menggelar
acara Malam Tasyakuran 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia di ruang terbuka,
tepatnya di jalan
Simpang 3 depan rumah H. Tarmin. Malam itu bukan sekadar seremoni, melainkan
sebuah titik awal untuk meneguhkan kebersamaan di tengah kemajemukan.
Antara Harapan dan Kenyataan
Sejatinya, rencana awal yang disepakati
oleh para ketua RT di wilayah RW 04 adalah menyelenggarakan acara bersama.
Alasan mereka sederhana sekaligus masuk akal. Pertama, Simpang 3 itu adalah
lokasi strategis untuk dijadikan pusat kegiatan bersama. Kedua, komposisi
jumlah warga dan kapasitas sumber daya di tiap RT tidak sama; ada yang besar,
ada yang sedang, dan ada yang kecil. Maka dengan bekerjasama, kekuatan bisa
dilipatgandakan dan kekurangan bisa ditutupi. Ketiga, karena ini acara perdana,
akan lebih baik bila dilaksanakan dengan rapi sebagai model kegiatan di
tahun-tahun mendatang.
Namun, kebijakan pamong desa berbicara
lain. Instruksi dari pamong
desa menegaskan bahwa tiap RT harus menggelar acara tasyakuran secara mandiri
di wilayah masing-masing. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan, sebab harapan
warga untuk menikmati suasana kebersamaan lintas-RT harus ditunda. Walau
begitu, RT 03 tidak patah semangat. Mereka tetap kukuh menggelar acara di jalan Simpang
3 itu,
dengan segala daya dan upaya, penuh kekompakan dan kebanggaan.
Persiapan pun dilakukan dengan serius.
Setidaknya 25 ambeng atau tumpeng besar disiapkan oleh warga, sesuai kemampuan
masing-masing keluarga. Ada yang membawa buah, ada yang menyumbang roti, ada
pula yang membawa kopi dan air minum kemasan. Backdrop acara dipasang di pagar
rumah H. Tarmin dengan hiasan bendera merah putih yang berkibar gagah. Tikar
dan terpal digelar di tiga penjuru jalan, menjadi alas duduk warga yang datang
berbondong-bondong bersama keluarga. Semua detail persiapan ini menunjukkan
satu hal: betapa kuatnya rasa memiliki warga terhadap acara ini.
Rangkaian acaranya pun tersusun rapi.
Mulai dari pembukaan oleh MC, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, lagu Indonesia
Raya, pembacaan Teks Proklamasi dan Pancasila, hingga sambutan Ketua RT. Puncak
acara diisi dzikir tahlil dan renungan kemerdekaan, lalu ditutup doa bersama.
Barulah kemudian warga menikmati makan-makan keakraban, saling bercengkerama,
dan merayakan kebersamaan dengan penuh sukacita.
Harmoni dalam Kemajemukan
Yang paling berharga dari malam itu
bukanlah tumpeng besar yang terhidang, bukan pula dekorasi sederhana yang
mempercantik jalan, melainkan kebersamaan yang tumbuh begitu nyata. Warga RT 03
datang dari berbagai latar belakang. Ada yang aktif atau
mengidentifikasi diri sebagai
jamaah NU, ada pula yang bagian dari jamaah LDII. Dalam keseharian, perbedaan
ini kerap membuat warga berjalan dalam lingkarannya masing-masing. Tetapi malam
itu, sekat-sekat sosial cair begitu saja. Mereka duduk bersama, menyanyikan
lagu kebangsaan dengan suara lantang, mengikrarkan Pancasila secara serempak,
dan menikmati sajian dalam suasana penuh keakraban.
Momen semacam ini membuktikan satu hal
penting: kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk bersatu. Jika di tingkat RT
yang sederhana saja, orang-orang mampu melampaui perbedaan organisasi dan
pilihan, maka seharusnya di tingkat bangsa, persatuan itu juga mungkin
diwujudkan. Inilah makna terdalam dari tasyakuran kemerdekaan: bukan hanya
mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga menghidupkan kembali semangat
persatuan yang mereka wariskan.
Malam tasyakuran itu juga memberi
pelajaran sosial yang mendalam. Pertama, gotong royong adalah kunci. Tidak ada
satu keluarga pun yang bisa menanggung acara sebesar itu sendirian, tetapi
ketika semua menyumbang sesuai kemampuan, hasilnya sangat luar biasa. Kedua,
ruang terbuka adalah simbol keterbukaan. Dengan menggelar acara di jalan, bukan
di ruang tertutup, warga menunjukkan bahwa kebersamaan tidak boleh terbatas,
melainkan harus dirasakan semua orang. Ketiga, kebijakan yang kaku kadang
memang membatasi, tetapi kreativitas warga selalu menemukan jalan untuk
meneguhkan semangat persatuan.
Ke depan, tasyakuran semacam ini layak
dijadikan agenda rutin, bahkan bisa ditingkatkan dalam bentuk kolaborasi
antar-RT jika ada kesempatan. Desa perlu memberi ruang dialog agar aspirasi
warga bisa lebih didengar. Yang terpenting, semangat persaudaraan lintas jamaah
dan lintas latar belakang harus terus dijaga. Sebab, jika warga bisa rukun
dalam skala kecil seperti RT, itu adalah modal sosial yang sangat besar untuk
menjaga persatuan Indonesia dalam skala yang lebih luas.
Malam itu akhirnya ditutup dengan
suasana penuh kehangatan. Anak-anak tertawa gembira sambil menikmati makanan,
orang tua saling berbincang, dan para sesepuh tampak puas menyaksikan generasi
muda terlibat aktif. Tidak ada sekat, tidak ada jarak. Yang ada hanyalah rasa
syukur: syukur karena Indonesia sudah 80 tahun merdeka, dan syukur karena di
kampung kecil ini, semangat persatuan masih terus menyala.
Maka, Malam Tasyakuran RT 03 RW 04
tidak hanya layak dikenang sebagai acara perdana, tetapi juga sebagai simbol
harmoni dalam keberagaman. Ia menjadi bukti bahwa persatuan bukanlah teori,
melainkan kenyataan yang bisa diwujudkan—asal ada niat tulus, kemauan untuk
berbagi, dan hati yang terbuka untuk saling menerima.[pgn]
Nine Adien Maulana, Warga RT. 03 RW. 04 Dusun peluk – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar