Makna Upacara Bendera Lebih dari Sekadar Busana

 

Semangat kebhinekaan yang diharapkan justru berubah menjadi pemandangan yang kurang tertib. Kekhidmatan upacara pun sedikit terganggu, seolah pesan yang ingin disampaikan tidak sampai secara utuh.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap bangsa memiliki cara unik untuk menanamkan semangat persatuan pada generasi mudanya. Di Indonesia, salah satu momen yang sarat makna adalah upacara bendera. Dari awal berdirinya, upacara ini bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan ruang pembelajaran nilai kebangsaan, disiplin, dan penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan. Belakangan, dalam beberapa momen peringatan Hari Besar Nasional, sekolah-sekolah mulai menambahkan warna baru: instruksi mengenakan pakaian adat nasional. Saya pun bersama murid-murid di sekolah pernah mengalaminya, dan pengalaman itu menyisakan catatan refleksi yang cukup panjang.

Pada dasarnya, gagasan memakai pakaian adat nasional ketika upacara bendera adalah ide yang luhur. Ia ingin menyampaikan pesan penting: kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua, sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan peserta upacara dengan pakaian adat yang beragam tentu menampilkan panorama indah, sebuah simbol nyata kemajemukan bangsa Indonesia. Para guru dan karyawan yang ikut mengenakan pakaian adat tampak menawan. Bahkan, beberapa ibu guru dengan penuh antusias rela mengeluarkan biaya lebih untuk berdandan di salon, sementara bapak-bapak memilih praktis dengan membeli pakaian khas dari daerah tertentu. Ketika mereka berdiri dalam satu regu, penampilan itu sungguh menggambarkan harmoni yang membanggakan.

Namun, pengalaman indah tersebut tidak sepenuhnya tercermin pada barisan murid-murid. Di sinilah letak persoalan. Murid-murid cenderung menafsirkan pakaian adat nasional secara bebas. Mayoritas siswi memilih memakai kebaya dengan rok khasnya, sehingga relatif seragam. Tetapi tidak demikian dengan siswa laki-laki. Ada yang memakai sorjan ala Jawa, ada yang mengenakan beskap Jawa Timuran, ada pula yang memilih kaos ala Madura. Bahkan, sebagian lainnya hanya menggunakan batik karena alasan kepraktisan atau keterbatasan biaya. Akibatnya, barisan murid terlihat acak-acakan. Semangat kebhinekaan yang diharapkan justru berubah menjadi pemandangan yang kurang tertib. Kekhidmatan upacara pun sedikit terganggu, seolah pesan yang ingin disampaikan tidak sampai secara utuh.

Masalah utamanya terletak pada dua hal: interpretasi bebas dan faktor ekonomi. Pertama, tanpa ada pedoman yang jelas, murid menerjemahkan pakaian adat sesuai selera masing-masing. Kedua, tidak semua murid mampu secara finansial untuk membeli pakaian adat yang layak. Sehingga, mereka memilih alternatif seadanya. Dari sinilah lahir ketidaksinkronan dalam penampilan barisan upacara.

Menyikapi persoalan ini, saya mencoba menawarkan beberapa solusi. Pertama, bisa saja setiap kelas atau regu peserta upacara menyepakati satu jenis pakaian adat yang sama. Dengan begitu, setiap barisan terlihat rapi dan harmonis. Namun, konsekuensinya jelas: ada beban biaya tambahan bagi murid yang keluarganya kurang mampu. Ini tentu rawan menimbulkan kesenjangan dan rasa ketidakadilan.

Alternatif kedua, pihak sekolah sejak awal tahun pelajaran menetapkan satu jenis pakaian adat nasional tertentu sebagai standar resmi, layaknya seragam sekolah. Misalnya, sekolah memilih pakaian adat Jawa Timuran atau yang lain untuk dikenakan setiap peringatan Hari Besar Nasional. Dengan cara ini, tidak ada lagi keragaman interpretasi, dan siswa pun bisa mempersiapkannya jauh-jauh hari. Tetapi lagi-lagi, ini berpotensi menambah beban finansial, terutama bagi wali murid.

Karena itu, ada opsi ketiga yang menurut saya lebih realistis: siswa tetap mengenakan seragam nasional sekolah ketika mengikuti upacara, sedangkan pakaian adat cukup diwakili oleh para guru dan karyawan. Dengan begitu, barisan murid tetap rapi, khidmat, dan tidak memberatkan secara biaya. Sementara semangat kebhinekaan tetap hadir melalui representasi para guru yang mengenakan pakaian adat. Solusi ini, meskipun sederhana, mampu menjaga keseimbangan antara nilai yang ingin ditanamkan dan kondisi nyata di lapangan.

Pilihan ketiga ini memang terkesan moderat, tetapi justru paling solutif. Seragam sekolah adalah simbol nasionalisme yang melekat pada setiap pelajar. Ia sudah cukup merepresentasikan identitas pelajar Indonesia yang berdisiplin dan menghargai kebersamaan. Kehadiran guru dengan pakaian adat akan melengkapi suasana, menghadirkan sentuhan keindahan dan makna simbolis tanpa mengorbankan keteraturan barisan murid.

Dalam konteks pendidikan, kita harus peka terhadap keseimbangan antara idealisme dan realitas. Memakai pakaian adat memang penuh nilai edukatif, tetapi jangan sampai semangat itu justru menimbulkan masalah baru: ketidakrapian, ketidakseragaman, dan beban ekonomi. Pendidikan semestinya tidak membebani, melainkan meringankan langkah siswa untuk tumbuh bersama.

Lebih jauh, evaluasi semacam ini penting agar setiap kebijakan sekolah benar-benar memberikan dampak positif. Upacara bendera adalah momen membangun karakter, bukan sekadar pamer pakaian adat. Kekhidmatan dan keteraturan seharusnya menjadi prioritas utama, karena dari situlah nilai disiplin, persatuan, dan penghormatan terhadap simbol negara bisa ditanamkan dengan baik.

Jika tidak ada evaluasi, maka setiap kali kita menyelenggarakan upacara dengan pakaian adat, pemandangan yang sama akan terulang: barisan murid yang tampak kurang rapi, khidmat upacara yang berkurang, dan pesan kebhinekaan yang kehilangan kekuatannya. Alih-alih menambah makna, pakaian adat justru menjadi sumber persoalan.

Karena itu, penting bagi sekolah untuk menimbang dengan bijak. Apakah akan memilih idealisme penuh—semua murid memakai pakaian adat dengan segala konsekuensinya—atau jalan moderat yang lebih rasional, yakni seragam nasional untuk siswa dan pakaian adat bagi guru. Keduanya sah-sah saja, tetapi pilihan terakhir lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan keteraturan.

Pada akhirnya, tujuan utama dari setiap upacara bendera adalah menanamkan rasa cinta tanah air, disiplin, dan penghormatan terhadap bangsa. Pakaian hanyalah simbol, sementara esensi yang lebih dalam ada pada sikap peserta: berdiri tegak, menghormat bendera, dan meresapi lagu kebangsaan. Maka, mari kita jaga makna itu agar tetap hidup, tanpa harus terjebak dalam simbol yang justru bisa mereduksi nilai utamanya.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar