Suara yang Menggetarkan Menjadi Regulasi yang Menentramkan

 

Dari sudut pandang kebijakan publik, ini adalah contoh sinergi ideal antara fatwa ulama dan regulasi pemerintah. Fatwa menjadi rujukan moral dan normatif, sementara regulasi memberikan kekuatan eksekusi di lapangan. 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Perkembangan teknologi audio digital dalam beberapa tahun terakhir membawa perubahan besar dalam dunia hiburan dan kegiatan sosial. Salah satu fenomena yang kian marak di Jawa Timur adalah penggunaan sound horeg—pengeras suara berkapasitas besar, berfokus pada frekuensi rendah (bass), yang suaranya bisa membuat tanah bergetar dan dada berguncang. Di balik sensasinya, terselip potensi masalah: kebisingan ekstrem, gangguan kesehatan, bahkan benturan sosial.

Melihat fenomena ini, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Provinsi Jawa Timur bergerak cepat. Awal 2025, mereka menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini bukan sekadar panduan keagamaan, tapi langkah strategis untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan hak masyarakat atas ketenangan serta kesehatan.

Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa memanfaatkan teknologi audio untuk kegiatan sosial, budaya, atau keagamaan adalah sesuatu yang positif—selama tidak melanggar hukum, norma agama, atau merugikan orang lain. Namun, ketika sound horeg digunakan secara berlebihan hingga melebihi batas wajar, memicu gangguan kesehatan, merusak fasilitas umum, atau disertai kemungkaran seperti joget campur-baur pria-wanita dengan aurat terbuka, maka hukumnya haram. Bahkan praktik battle sound—adu kekuatan suara antar kelompok—yang cenderung mubazir dan menimbulkan kebisingan ekstrem, dihukumi haram mutlak.

Yang menarik, fatwa ini tidak berhenti pada penegasan hukum. MUI memberikan empat rekomendasi strategis:

  1. Mengajak penyedia jasa, EO, dan pengguna sound horeg untuk menghormati hak orang lain dan norma agama.
  2. Meminta Pemprov Jatim menginstruksikan seluruh kabupaten/kota membuat aturan tegas terkait perizinan, standar penggunaan, dan sanksi.
  3. Meminta Kemenkumham tidak memberi legalitas atau HKI sound horeg sebelum ada penyesuaian dengan aturan.
  4. Mengimbau masyarakat memilih hiburan yang positif dan aman.

Rekomendasi ini ternyata tidak sekadar catatan moral. Beberapa waktu kemudian, fatwa ini dijadikan dasar hukum dalam penyusunan regulasi oleh pemerintah daerah. Tepatnya, Surat Edaran Bersama Gubernur Jatim, Kapolda Jatim, dan Pangdam V/Brawijaya diterbitkan pada 6 Agustus 2025. Isinya mengatur secara rinci batas kebisingan, ukuran kendaraan pengangkut sound system, waktu dan tempat penggunaan, hingga kewajiban mematikan suara ketika melewati rumah ibadah, rumah sakit, atau sekolah.

Mendahului terbitnya regulasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Jombang bersama DPRD, Polres, dan Kodim 0814 juga menetapkan Keputusan Bersama tentang Penggunaan Sound System Berkapasitas Besar. Aturan ini lebih spesifik: volume maksimal 100 dB untuk kegiatan di lapangan terbuka, batas waktu hingga pukul 22.00 untuk kegiatan keliling, larangan total pada aksi yang mengandung pornografi, miras, atau ujaran kebencian, serta kewajiban mematikan sound saat waktu ibadah.

Dari sudut pandang kebijakan publik, ini adalah contoh sinergi ideal antara fatwa ulama dan regulasi pemerintah. Fatwa menjadi rujukan moral dan normatif, sementara regulasi memberikan kekuatan eksekusi di lapangan. Pemerintah punya pijakan kuat untuk menertibkan, dan masyarakat mendapat kepastian hukum sekaligus panduan etika.

Keberhasilan ini mengirim pesan penting: fatwa bukan hanya dokumen keagamaan yang berhenti di meja majelis, melainkan bisa menjadi trigger perubahan sosial dan hukum positif. Kuncinya adalah relevansi materi fatwa dengan kebutuhan riil masyarakat serta kesediaan pemerintah untuk mengadopsinya.

Dari sisi sosial, regulasi ini diharapkan meminimalisir gesekan antarwarga. Kita tahu, kebisingan adalah salah satu sumber konflik horizontal yang sering diabaikan. Gangguan tidur, konsentrasi belajar, atau ketenangan ibadah dapat memicu ketegangan. Dengan adanya batas desibel, larangan jam malam, dan sanksi tegas, potensi masalah ini bisa ditekan.

Dari sisi kesehatan, World Health Organization (WHO) menetapkan bahwa paparan suara di atas 85 dB dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Artinya, pengaturan teknis dalam regulasi ini bukan sekadar soal ketertiban, tapi juga investasi kesehatan masyarakat.

Dari sisi agama, penerapan fatwa MUI ini sejalan dengan prinsip maqashid syariah: menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga akal (hifzh al-‘aql), dan menjaga harta (hifzh al-mal). Kebisingan ekstrem yang mengganggu kesehatan, memicu perilaku negatif, atau merusak fasilitas umum jelas bertentangan dengan prinsip ini.

Namun, implementasi aturan ini tetap membutuhkan kesadaran kolektif. Fatwa dan regulasi hanyalah kerangka; yang membuatnya hidup adalah kepatuhan dan partisipasi warga. Di sinilah peran tokoh masyarakat, ulama lokal, paguyuban sound system, dan aparat desa menjadi kunci. Sosialisasi, mediasi, dan teladan akan jauh lebih efektif dibanding hanya mengandalkan razia atau sanksi.

Sebagian orang mungkin menganggap aturan ini “mematikan kreativitas” atau “membatasi kebebasan berekspresi”. Tapi mari kita ingat: kebebasan selalu datang dengan tanggung jawab. Hak untuk memutar musik keras tidak boleh mengorbankan hak orang lain untuk tidur nyenyak, belajar tenang, atau beribadah khusyuk. Seperti pepatah Jawa, ngono yo ngono, ning ojo ngono—boleh saja, tapi jangan keterlaluan.

Ke depan, langkah preventif juga perlu dikembangkan. Misalnya, memberikan pelatihan kepada operator sound system tentang standar keamanan audio, mengembangkan teknologi peredam, atau membuat zona khusus hiburan berkapasitas besar yang jauh dari permukiman. Dengan begitu, hiburan tetap hidup, ekonomi kreatif tetap berjalan, dan ketertiban umum tetap terjaga.

Fatwa MUI Jawa Timur No. 1 Tahun 2025 telah membuktikan bahwa suara ulama bisa menggetarkan, bukan karena bass yang mengguncang, tapi karena argumentasi yang kuat, relevansi yang tinggi, dan dampak nyata dalam membentuk kebijakan. Dari meja majelis, isi fatwa mengalir menjadi pasal-pasal hukum yang menjaga harmoni masyarakat.

Kini, tugas kita bersama adalah memastikan harmoni itu benar-benar terwujud di lapangan—agar suara yang terdengar di bumi Jawa Timur bukan lagi kebisingan yang memekakkan telinga, melainkan lantunan kehidupan yang damai, tertib, dan penuh saling menghormati.

Nine Adien Maulana, Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!

Menelusuri Nalar Fatwa Sound Horeg

Sound Horeg, Fatwa MUI, dan Batas Desibel


Posting Komentar

0 Komentar