![]() |
Survei ini menunjukkan betapa besar tekad siswa XII-5 untuk menatap masa depan. Mereka bukan sekadar ingin lulus, tetapi ingin menapaki jalan menuju cita-cita yang telah lama diimpikan. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Masa kelas XII adalah momen paling menentukan dalam
perjalanan seorang siswa SMA. Mereka berdiri di persimpangan jalan, antara
meninggalkan masa putih abu-abu dengan penuh kenangan, dan melangkah menuju
dunia baru dengan segala harapan, tantangan, serta perjuangan. Hasil survei
yang dilakukan oleh Pak Guru NINE terhadap
siswanya di
kelas XII-5 SMAN 2 Jombang menggambarkan betapa berwarnanya mimpi, strategi,
dan pandangan mereka terhadap persiapan menghadapi tes akhir hingga
merencanakan masa depan.
Esai ini mencoba menganalisis data
survei dari tiga aspek utama: pilihan perguruan tinggi, partisipasi
dalam bimbingan belajar (bimbel), serta pendapat tentang penyelenggaraan
bimbel di sekolah. Analisis dilakukan secara kuantitatif (angka dan
kecenderungan) sekaligus kualitatif (alasan, makna, dan aspirasi).
1. Cita-Cita Pendidikan Tinggi: Antara
Negeri, Kedinasan, dan Militer
Dari 29 jawaban yang masuk, terlihat
bahwa sebagian besar siswa mengincar perguruan tinggi ternama di Jawa Timur,
khususnya ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan UNAIR
(Universitas Airlangga). ITS disebutkan oleh lebih dari 8 responden dengan
berbagai jurusan, mulai dari teknik perkapalan hingga teknologi kedokteran.
UNAIR pun tak kalah populer, dengan setidaknya 6 siswa menyebutnya sebagai
tujuan utama.
Selain itu, UGM (Universitas Gadjah
Mada) dan UB (Universitas Brawijaya) juga menjadi destinasi favorit
cadangan. Namun yang menarik, cukup banyak siswa yang bercita-cita masuk sekolah
kedinasan seperti Poltekim, atau memilih jalur militer dan kepolisian
seperti Akmil, Akpol, AAL, hingga Bintara Polri/TNI. Hal ini menegaskan bahwa
orientasi siswa XII-5 tidak semata akademik, tetapi juga beragam, mencerminkan
minat yang luas: ada yang ingin menjadi dokter gigi, ahli teknologi, hingga
pelayan negara di bidang pertahanan dan keamanan.
Jika dilihat secara kuantitatif, dapat
dibagi menjadi tiga kelompok besar:
- Perguruan Tinggi
Negeri (PTN):
±60% siswa menyebut ITS, UNAIR, UGM, UB, atau UNESA.
- Sekolah
Kedinasan & TNI/Polri:
±30% siswa menaruh minat serius ke jalur ini.
- Masih ragu /
belum menentukan:
±10%.
Artinya, mayoritas siswa sudah memiliki
arah jelas, namun sebagian kecil masih memerlukan pendampingan dalam menentukan
pilihan hidupnya.
2. Bimbingan Belajar: Antara Investasi
dan Keterjangkauan
Hampir semua responden sudah atau
sedang mengikuti bimbel, baik offline maupun online. Lembaga yang paling
dominan adalah Pak Bagus Education (PB), disebutkan lebih dari 10 kali
dengan biaya sekitar Rp2,9–4,4 juta. Ada juga yang memilih Privat First,
Masterprima, Himalaya, hingga Ruangguru. Biaya bimbel
sangat variatif: mulai Rp150 ribu/bulan (online) hingga Rp9,7 juta (khusus
persiapan sekolah kedinasan).
Analisis kuantitatif menunjukkan:
- ±70% siswa
mengikuti bimbel berlembaga (PB, Privat First, dll.).
- ±15% memilih les
privat atau guru pribadi.
- ±15% tidak
mengikuti bimbel sama sekali, dengan alasan biaya atau sudah belajar
mandiri.
Data ini memperlihatkan adanya ketimpangan
akses. Sebagian siswa mampu membayar jutaan rupiah untuk bimbel, sementara
sebagian lain harus puas dengan belajar mandiri atau hanya mengandalkan
pembelajaran di sekolah. Dari sisi kualitas, tentu siswa yang ikut bimbel
merasa lebih percaya diri menghadapi ujian, sedangkan yang tidak mengikuti
sering merasa kurang persiapan.
3. Perlukah Sekolah Menyelenggarakan
Bimbel Tambahan?
Pertanyaan ini memunculkan jawaban yang
sangat beragam. Ada yang mendukung, ada yang menolak, ada pula yang memilih
jalan tengah.
- Yang mendukung
(±50%)
berargumen bahwa tidak semua siswa mampu ikut bimbel luar. Jika sekolah
menghadirkan tentor dari lembaga lain dengan biaya lebih murah, maka siswa
yang kurang beruntung secara ekonomi tetap bisa merasakan pengalaman
bimbel. Mereka menekankan bahwa tambahan bimbel di sekolah penting untuk
persiapan TKA/UTBK, apalagi beberapa siswa belum punya akses ke pembelajaran
intensif.
- Yang menolak
(±40%)
menilai bahwa bimbel tambahan dari sekolah justru membebani. Alasannya
beragam: sudah ikut bimbel luar, biaya tambahan terlalu besar, jadwal
siswa kelas XII sudah sangat padat, bahkan ada yang menganggap guru
internal sebenarnya cukup kompeten untuk membimbing siswa.
- Yang netral
(±10%)
menekankan sifat opsional: boleh ada bimbel tambahan, tapi jangan
diwajibkan. Bahkan ada yang menyarankan agar sekolah menyediakan tambahan
belajar gratis, supaya semua bisa ikut tanpa terkendala biaya.
Secara kualitatif, perbedaan pendapat
ini menunjukkan bahwa siswa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bagi yang
sudah ikut bimbel, tambahan dari sekolah terasa sia-sia. Bagi yang belum,
program itu bisa jadi penyelamat.
4. Analisis dan Rekomendasi
Dari data yang diperoleh, ada beberapa
poin penting yang dapat dijadikan dasar pertimbangan:
- Keragaman Tujuan
Karier
Siswa tidak hanya berorientasi ke PTN,
tetapi juga kedinasan dan TNI/Polri. Artinya, sekolah perlu memberi ruang
pembinaan yang lebih variatif: bukan hanya akademik, tapi juga fisik, psikotes,
hingga wawasan kedinasan.
- Kesenjangan
Akses Bimbel
Perbedaan ekonomi keluarga membuat
sebagian siswa mampu membeli layanan bimbel mahal, sementara sebagian lain
tidak. Jika sekolah ingin menyelenggarakan bimbel, sebaiknya dengan skema
subsidi silang atau gratis bagi yang kurang mampu.
- Kelelahan dan
Beban Biaya
Siswa kelas XII-5 sudah terbebani banyak kebutuhan: SPP,
yearbook, studycamp,
hingga biaya pendaftaran kuliah. Menambah bimbel sekolah yang berbayar justru
bisa memicu stres baru.
- Solusi Tengah
Sekolah bisa menyediakan program
pendampingan non-komersial, misalnya:
- Kelas tambahan
oleh guru internal.
- Kelas intensif
opsional dengan biaya ringan atau subsidi.
- Pemanfaatan
platform daring gratis/berbiaya rendah.
- Pendampingan
motivasi dan manajemen waktu agar siswa bisa menyeimbangkan antara
belajar akademis dan persiapan fisik/mental.
5. Penutup: Merangkai Asa, Menyulam
Cita
Survei ini menunjukkan betapa besar
tekad siswa XII-5 untuk menatap masa depan. Mereka bukan sekadar ingin lulus,
tetapi ingin menapaki jalan menuju cita-cita yang telah lama diimpikan. Ada
yang bercita-cita menjadi dokter, insinyur, perwira, atau abdi negara.
Namun di balik itu, masih ada
tantangan: keterbatasan biaya, pilihan jalur yang beragam, hingga beban
persiapan yang menumpuk. Di sinilah peran sekolah menjadi penting, bukan
sekadar sebagai penyedia ilmu, tetapi juga sebagai penjaga semangat dan
pemberi solusi.
Maka, sudah saatnya SMAN 2 Jombang
mengedepankan pendekatan inklusif: menghadirkan bimbingan belajar yang adil,
memberikan motivasi tanpa membebani, serta menuntun siswa agar percaya diri
menghadapi setiap ujian. Dengan begitu, para siswa tidak hanya siap menghadapi
tes akhir, tetapi juga siap menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.[pgn]
Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute-Wali Kelas XII-5 SMAN 2 Jombang
0 Komentar