Menjaga Martabat dalam Talak: Perlindungan HAM di Balik Masa Iddah

 

Seringkali, talak dipersepsi sebagai akhir dari ikatan suci rumah tangga. Namun, sesungguhnya talak adalah pintu ujian: mampukah mantan suami menjaga hak-hak mantan istri dan anak-anaknya? 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Sabtu pagi, 20 September 2025, pendopo Kecamatan Diwek, Jombang, menjadi saksi sebuah forum penting. Komisi Hukum dan HAM Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang menggelar Kajian Intensif Penguatan Perlindungan HAM dalam Proses Talak dan Masa Iddah. Acara ini dihadiri oleh 70 peserta dari organisasi massa Islam perempuan, Muslimat NU dan Aisyiyah se-Jombang, serta sejumlah tokoh penting seperti Camat Diwek, Agus Sholihuddin, dan para pengurus DP MUI, di antaranya KH. M. Afifuddin Dimyathi, KH. Ilham Rohim, KH. Herly Yusuf Wibisono, serta ustadz Nine Adien Maulana.

Dipandu oleh Muhammad Saifuddin—Ketua Komisi Hukum dan HAM DP MUI sekaligus seorang pengacara—kajian ini membuka perspektif baru: talak dan iddah tidak boleh hanya dipandang sebagai urusan hukum agama semata, tetapi juga sebagai ruang perlindungan martabat manusia, khususnya perempuan dan anak.

Seringkali, talak dipersepsi sebagai akhir dari ikatan suci rumah tangga. Namun, sesungguhnya talak adalah pintu ujian: mampukah mantan suami menjaga hak-hak mantan istri dan anak-anaknya? Masa iddah, yang sering dianggap hanya “masa tunggu,” sejatinya mengandung makna sosial dan psikologis. Ia adalah masa transisi yang memberi ruang untuk pemulihan, perlindungan, bahkan peluang rujuk dengan cara yang lebih bijak.

Kajian ini menekankan bahwa setiap perceraian harus dipandu oleh nilai kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana termaktub dalam berbagai dasar hukum: UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), hingga ketentuan klasik dalam kitab fiqih. Perceraian memang diperbolehkan, tetapi Islam memberi pagar-pagar etis agar tidak ada pihak yang terzalimi.

Hak-Hak yang Tak Boleh Terabaikan

Kajian yang disampaikan Saifuddin dengan penuh argumentasi hukum menegaskan satu hal: perempuan dan anak adalah pihak paling rentan dalam proses perceraian. Oleh karena itu, Islam dan negara telah menetapkan hak-hak yang wajib dipenuhi suami meski ikatan pernikahan telah berakhir.

Beberapa poin penting di antaranya:

  1. Nafkah Iddah

Mantan istri berhak mendapatkan tempat tinggal, nafkah, dan pakaian selama masa iddah, kecuali jika ia nusyuz. Hal ini bukan sekadar kewajiban materi, tetapi bentuk penghormatan atas martabat perempuan yang pernah menjadi pendamping hidup.

  1. Nafkah Madliyah

Segala nafkah atau kebutuhan yang belum terpenuhi selama perkawinan harus dilunasi. Hukum Islam menyebut ini sebagai “hutang suami terhadap istri.” Artinya, tidak ada alasan untuk mengabaikan hak tersebut.

  1. Nafkah Mut’ah

Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 241 menegaskan agar suami memberikan mut’ah—pemberian yang layak—kepada istri yang diceraikan. Bukan sekadar materi, mut’ah adalah simbol penghormatan terakhir kepada pasangan yang pernah berbagi kehidupan.

  1. Nafkah Anak

Anak tetap memiliki hak penuh atas biaya hidup, pendidikan, dan pemeliharaan hingga dewasa. Islam bahkan menekankan bahwa seorang ayah wajib memberi nafkah anaknya tanpa syarat, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan spiritual.

Dari paparan ini jelaslah bahwa perceraian bukan jalan pintas untuk lepas dari tanggung jawab. Justru, di titik ini kualitas kemanusiaan seseorang diuji: apakah ia rela menunaikan kewajiban dengan ikhlas, ataukah memilih meninggalkan luka yang mendalam?

Talak yang Bermartabat

Kajian di Jombang ini memberi pesan kuat bahwa perlindungan hak asasi manusia tidak berhenti di ranah politik atau hukum internasional, tetapi juga menyentuh persoalan rumah tangga sehari-hari. Talak bukan sekadar keputusan pribadi, melainkan juga memiliki dampak sosial.

Ketika hak perempuan dan anak dijamin, perceraian dapat dilalui tanpa menambah luka. Sebaliknya, jika hak-hak ini diabaikan, maka perceraian menjadi ladang ketidakadilan baru.

Karena itu, solusi logis yang ditawarkan kajian ini adalah:

  • Edukasi hukum keluarga bagi pasangan Muslim agar memahami kewajiban masing-masing.
  • Pendampingan hukum dan psikologis untuk pihak yang rentan, terutama perempuan dan anak.
  • Peran aktif tokoh agama dan lembaga masyarakat dalam mengawal setiap proses talak agar sesuai syariat sekaligus menjunjung HAM.

Perceraian memang bukan harapan, tetapi jika ia harus terjadi, maka biarlah ia menjadi perceraian yang bermartabat—yang tetap menjunjung kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan. Sebab, dari rumah tangga yang mungkin tidak lagi utuh, masyarakat tetap bisa belajar arti kemanusiaan yang sejati.[pgn]

 

Baca juga!

Al-Quran Menjaga Martabat Perempuan

Posting Komentar

0 Komentar