![]() |
| Islamikasi lebih menekankan pada proses internalisasi nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar penyebaran formal, melainkan penghayatan dan penjiwaan. |
[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Rabu
malam, 17 September 2025, pukul 19.00–20.30 WIB, saya berkesempatan mengikuti sesi pertama
Online Upgrading
Course – Kompetensi Pribadi Islam
dengan tema Bedah Buku Islamikasi Indonesia bersama Prof. Amin Abdullah.
Sebagai salah satu alumni program Literasi Keagamaan Lintas Budaya nomor
22146, saya merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam acara ini. Bukan hanya
karena pemaparan Prof. Amin yang kaya wawasan, melainkan juga karena istilah
yang beliau gunakan: Islamikasi, bukan Islamisasi.
Sekilas, perbedaan ini tampak
sederhana, hanya soal pilihan kata. Namun, semakin diselami, saya menemukan
kedalaman makna yang bisa mengubah cara pandang kita terhadap hubungan agama,
budaya, dan kehidupan berbangsa di Indonesia.
Islamisasi vs Islamikasi
Dalam kajian umum, istilah Islamisasi
lebih sering dipakai untuk menggambarkan proses masuk dan menyebarnya Islam
dalam suatu masyarakat. Misalnya, kita sering mendengar istilah Islamisasi
Nusantara yang merujuk pada proses dakwah para ulama, pedagang, dan wali
songo sejak abad ke-13. Islamisasi ini lebih bersifat eksternal, datang
dari luar untuk mengubah wajah sosial, politik, ekonomi, hingga budaya.
Sebaliknya, Prof. Amin Abdullah
menekankan istilah Islamikasi. Kata ini lebih menekankan pada proses
internalisasi nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar
penyebaran formal, melainkan penghayatan dan penjiwaan. Islamikasi adalah
ketika ajaran Islam tidak berhenti pada simbol, tetapi meresap ke dalam
pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan budaya. Jika Islamisasi
bersifat historis, maka Islamikasi lebih substantif dan etis-spiritual.
Islamikasi sebagai Peragian
Untuk memudahkan pemahaman, Prof. Amin
menggunakan analogi yang sangat menarik: hubungan agama dengan budaya itu seperti
ragi dengan ketela yang kemudian menjadi tape, bukan seperti minyak
dan air yang tidak bisa menyatu.
Bayangkan ketela sebagai budaya
lokal—adat, tradisi, kesenian, bahasa, dan norma sosial yang sudah hidup
lama di masyarakat. Ketela bisa direbus, digoreng, atau dimakan mentah. Tapi
ketika dimasukkan ragi, ketela mengalami proses fermentasi. Dari bahan
sederhana, ia berubah menjadi tape: lebih manis, lembut, dan memiliki
daya hidup baru.
Ragi di sini adalah agama, yang
walaupun tampak kecil, mampu memberikan daya transformasi luar biasa. Agama
tidak menghapus budaya, melainkan mengolah dan memperkaya. Budaya yang
sebelumnya hanya “ketela biasa”, setelah dipengaruhi agama, menjadi “tape” yang
lebih bermakna.
Contoh konkret dapat kita lihat dalam
tradisi slametan di Jawa. Sebelum Islam datang, slametan sudah ada sebagai
tradisi lokal. Setelah Islam masuk, slametan tidak dihapus, tetapi diberi ruh
baru: doa-doa Islami, ungkapan syukur kepada Allah, dan penguatan nilai
kebersamaan. Hasilnya, budaya tetap hidup, tetapi bernuansa religius.
Dalam dunia keilmuan, istilah
Islamikasi sering muncul dalam diskusi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.
Tokoh seperti Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menekankan
pentingnya “mengislamkan” ilmu modern yang dianggap terlalu sekuler. Namun,
Prof. Amin menawarkan pendekatan berbeda: bukan mengganti label ilmu menjadi
“ilmu Islam”, melainkan mengintegrasikan ilmu agama, sains, dan humaniora.
Dengan pendekatan ini, Islamikasi bukan
berarti menolak modernitas, tetapi membaca ulang modernitas dalam cahaya
Islam. Agama tidak berdiri sendiri, tetapi berdialog dengan ilmu
pengetahuan dan budaya untuk melahirkan cara pandang yang lebih humanis,
inklusif, dan solutif.
Pancasila sebagai Buah
Islamikasi
Dalam konteks Indonesia, hasil dari
interaksi harmonis antara agama dan budaya termanifestasi pada rumusan
Pancasila. Para pendiri bangsa tidak menegakkan satu agama secara formal
sebagai dasar negara, tetapi juga tidak meninggalkan nilai-nilai spiritual. Pancasila
adalah “tape” Indonesia, hasil fermentasi dari keberagaman budaya yang
diberi ragi nilai-nilai agama.
Dengan begitu, Pancasila bukan sekadar
kompromi politik, melainkan wujud nyata Islamikasi: nilai-nilai keadilan,
kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang berakar pada ajaran
agama, tetapi juga menghargai pluralitas budaya bangsa.
Sebagai alumni Literasi Keagamaan
Lintas Budaya, saya merasa konsep Islamikasi ini menawarkan jalan tengah
yang solutif di tengah arus polarisasi masyarakat kita hari ini. Islamikasi
mengajak kita tidak terjebak pada formalitas simbol agama, tapi juga tidak
kehilangan ruh spiritualnya.
- Dalam pendidikan,
Islamikasi berarti membangun kurikulum yang tidak hanya mengajarkan dogma,
tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis, empati, dan toleransi.
- Dalam politik,
Islamikasi berarti menghadirkan etika keadilan dan kejujuran, bukan
sekadar jargon identitas.
- Dalam budaya,
Islamikasi berarti memperkaya seni, bahasa, dan adat dengan nilai-nilai
keagamaan, tanpa mematikan kearifan lokal.
Akhirnya, analogi ketela dan tape bukan hanya
puitis, tetapi juga memberi pelajaran mendalam: agama dan budaya tidak harus
saling meniadakan, melainkan bisa berfermentasi menjadi sesuatu yang baru,
lebih baik, dan lebih bernilai.
Prof. Amin Abdullah dengan gagasan
Islamikasi-nya mengajak kita untuk tidak terjebak pada pertentangan “minyak dan
air”, melainkan merayakan pertemuan “ragi dan ketela”. Dari sanalah lahir
tape—manis, lembut, dan memberi energi baru.
Jika kita mampu menghidupi semangat
Islamikasi ini, maka kehidupan beragama dan berbangsa kita akan semakin kokoh,
bermartabat, dan relevan dengan zaman. Islam akan hadir bukan hanya sebagai
identitas, tetapi sebagai ruh kehidupan yang menuntun kita menuju
keadilan, persaudaraan, dan kedamaian.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Alumnus LKLB angkatan 22
.jpg)
0 Komentar