[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Sabtu
malam, 6 September 2025, Kedai Rebung di Mojokrapak, Tembelang, Jombang,
menjadi saksi pertemuan yang berbeda dari biasanya. Di bawah temaram lampu dan
suasana akrab, Komisi Seni Budaya Islam Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kabupaten Jombang menyelenggarakan Talkshow bertajuk “Merawat Seni
Budaya Islam: Harmoni antara Iman, Moralitas, dan Keindahan.” Puluhan
peserta hadir: para ulama, budayawan, akademisi, dan generasi muda yang peduli
pada kelestarian seni budaya Islam.
Acara ini dihadiri tokoh-tokoh penting,
di antaranya Ketua Umum MUI Jombang Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi, Sekretaris
Umum H. Ilham Rohim, Ketua Komisi Seni Budaya Islam Suwasis, serta para
budayawan seperti Sadad Al Mahiri, Gus Adib, Dian Sukarno, Abah Suudi, dan KH. Ahmad Faqih.
Mereka berkumpul bukan hanya untuk berdiskusi, tetapi juga mencari solusi
bagaimana seni budaya Islam tetap hidup, relevan, dan selaras dengan
nilai-nilai keimanan, moralitas, serta keindahan.
Seni, Iman, dan Moralitas: Bukan
Sekadar Hiburan
Dalam paparannya, Kyai Faqih menggarisbawahi
bahwa seni budaya Islam tidak boleh hanya berhenti pada fungsi hiburan. Lebih
dari itu, seni seharusnya menjadi media dzikrullah, pendidikan moral, dan
penguatan spiritualitas umat.
Iman, menurut beliau, adalah fondasi
utama. Segala ekspresi seni dalam Islam haruslah berangkat dari kesadaran akan
keesaan Allah. Keindahan yang terpancar dalam seni seharusnya mengarahkan
manusia pada tauhid, bukan pada kesenangan sesaat semata.
Namun, iman saja tidak cukup. Ada
moralitas—nilai akhlak—yang menjadi pagar agar seni tidak kebablasan. Di
sinilah seni dipandu oleh prinsip halal-haram, oleh etika yang menjaga agar
keindahan tidak mengarah pada kemudaratan. Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan,
“Allah itu indah dan mencintai keindahan.” Maka, estetika dalam seni
Islam adalah manifestasi dari sifat ilahi, sekaligus sarana untuk mendekatkan
manusia pada-Nya.
Baca juga!
Harmoni
Iman, Moralitas, dan Keindahan dalam Bingkai Islami
Gesekan yang Tak Terhindarkan
Meski demikian, Kyai Faqih juga mengakui bahwa
hubungan antara iman, moralitas, dan keindahan tidak selalu berjalan mulus. Ada
kalanya gesekan terjadi.
Seni yang terlalu menonjolkan keindahan
kadang dianggap melalaikan nilai tauhid—seperti perdebatan panjang soal seni
figuratif dalam sejarah Islam. Sebaliknya, seni yang terlalu ketat dibatasi
oleh tafsir moralitas kadang kehilangan daya kreatifnya. Bahkan, penafsiran
syariat yang kaku bisa membuat seni hanya dipandang sah jika berfungsi ritual,
sehingga potensi edukasi dan sosialnya terabaikan.
Di sinilah pentingnya pendekatan maqasid
syariah: seni dinilai bukan hanya dari bentuk luarnya, tapi juga dari
tujuannya—apakah ia membawa kemaslahatan bagi agama, akal, jiwa, harta, dan
keturunan. Dengan cara pandang ini, seni tidak harus selalu seragam. Ada ruang
untuk perbedaan tafsir estetika selama tidak menabrak prinsip tauhid dan
syariat.
Warisan Tradisi dan Tantangan
Modernitas
Seni budaya Islam di Nusantara
sesungguhnya menyimpan khazanah luar biasa: kaligrafi yang indah, arsitektur
masjid yang megah, musik sufistik yang menentramkan jiwa, wayang santri yang
sarat pesan moral, hingga qasidah dan hadrah yang mengajak pada dzikir
kolektif.
Namun, sebagaimana diingatkan Sadad Al
Mahiri dari LESBUMI PCNU Jombang,
banyak tradisi mulai pudar tergerus modernitas. Ada adat istiadat yang hilang,
padahal dulu menjadi bagian dari identitas umat Islam Nusantara.
Gus Adib, seorang budayawan muda,
menekankan bahwa generasi Gen Z tidak boleh diposisikan sebagai pihak yang
selalu salah atau dianggap jauh dari nilai agama. Mereka justru butuh “payung”
yang meneduhi—bukan sekadar kritik, tapi juga bimbingan yang sejuk dan relevan
dengan zaman.
Sementara itu, Dian Sukarno
mengingatkan bahwa Jombang punya sejarah panjang sebagai pusat lahirnya
tokoh-tokoh Islam Nusantara. Banyak artefak seni budaya Islam tersimpan di bumi
Jombang, dan itu semua adalah bukti peradaban yang harus dilestarikan.
Mencari Jalan Tengah: Dialog, Inovasi,
dan Etika
Solusi pun mulai dirumuskan. Ki Wasis
mengusulkan modernisasi cara penyampaian agar generasi muda merasa dekat dengan
nilai-nilai seni Islam tanpa harus merasa dihakimi. Abah Suudi menambahkan
pentingnya mengkaji filosofi Jawa—bukan sekadar percaya pada mitos kuwalat,
tetapi melalui pendekatan ilmiah dan spiritual yang sehat.
Kyai Faqih menutup dengan beberapa strategi
kunci:
- Dialog kreatif antara ulama,
budayawan, dan seniman untuk menemukan titik temu antara iman, moralitas,
dan estetika.
- Inovasi
kontekstual:
memadukan seni tradisional Islam dengan sentuhan modern tanpa meninggalkan
nilai-nilai akhlak.
- Etika seni
Islami:
membangun kesadaran moral di kalangan seniman agar mereka memiliki
pengendalian diri berbasis iman, bukan sekadar karena tekanan eksternal.
- Reorientasi
estetik:
mengarahkan seni sebagai media dakwah, pendidikan, dan penguatan identitas
umat.
Dengan pendekatan ini, gesekan antara
iman, moralitas, dan keindahan tidak lagi dilihat sebagai masalah, tetapi
sebagai dinamika yang wajar dalam proses kreatif.
Menjaga Jati Diri, Menjawab Tantangan
Zaman
Talkshow malam itu menyadarkan semua
pihak bahwa merawat seni budaya Islam berarti merawat jati diri umat. Di tengah
gempuran komersialisasi seni dan derasnya arus globalisasi, seni Islam harus
tetap berpijak pada nilai transendental, tanpa kehilangan daya tarik bagi
generasi modern.
Harmoni antara iman, moralitas, dan
keindahan bukanlah utopia. Ia bisa diwujudkan melalui dialog yang sehat,
kreativitas yang bertanggung jawab, dan kesadaran bahwa seni adalah bagian dari
dakwah yang indah. Seperti pesan Nabi, “Allah itu indah dan mencintai
keindahan.” Maka, sudah seharusnya seni budaya Islam memantulkan keindahan
itu—bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di hadapan Sang Pencipta.[pgn]
0 Komentar