Menitipkan Ego di Pintu Pesantren

Pada akhirnya, keputusan memondokkan anak adalah keputusan menata ulang prioritas: dari “kami tahu yang terbaik” menjadi “kami percaya pada ahlinya”; dari “anak harus nyaman” menjadi “anak harus tumbuh”; dari “hasil cepat” menjadi “proses yang sabar”. 

[Jombang Pak Guru NINE] - Bagi kami, memondokkan anak bukan sekadar memindahkan bangku sekolah ke asrama. Itu adalah keputusan menaruh hati—dan ego—di bawah bimbingan kyai dan bu nyai. Di sekolah umum, orang tua umumnya menilai kualitas dari kurikulum, fasilitas, dan prestasi akademik. Di pesantren, pertimbangan utamanya adalah kepercayaan: husnudhan kepada sosok pengasuh yang ilmunya mumpuni, khidmatnya teruji, akhlaqnya terpancar, dan—ini yang sulit diterjemahkan—resonansi ruhaniyah yang menenangkan. Itulah mengapa saya dan istri memilih Pondok Pesantren Hidayatul Quran Sentul Tembelang untuk Caraka Shankara, anak pertama, dan ribath Hidayatul Quran Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, untuk Taliya Kayana, anak kedua kami. Bukan semata “tempat belajar”, melainkan “tempat menitipkan jiwa”.

Sejak awal, kami bersepakat: selama anak-anak kami menjadi santri, kami menggeser ego orang tua dan menggantinya dengan keikhlasan. Kebijakan pesantren tidak kami ukur dari selera pribadi, melainkan dari hikmah yang dikehendaki tradisi. Di pondok, ada Ro’an—kerja bakti bersih-bersih kamar, kamar mandi, halaman, atau membantu pengecoran saat pembangunan. Saat sambang anak laki-laki, saya melihatnya memindah batu bata, menyodok adonan, atau mengalirkan ember semen. Saya tidak melihat eksploitasi; saya melihat pendidikan sebagai khidmat. “Jangan mengeluh,” saya bilang, “jadikan Ro’an ini tawasulmu untuk barokah ilmu.” Pada kerja tangan yang sederhana, saya menyaksikan lahirnya disiplin, rendah hati, dan kebersamaan—tiga hal yang kadang mahal di ruang kelas biasa.

Pada putri kami di ribath Hidayatul Quran, bentuk Ro’an berbeda. Tidak ada pekerjaan konstruksi, tetapi rutinitas kebersihan, membantu acara, menyapu halaman, menata kamar, memastikan kamar mandi layak dipakai. Suatu kali Taliya mengeluh mendapat ta’zir: membersihkan kamar mandi, menyapu halaman dan membuang sampah ke tempat khusus pembuangan sampah. Saya menghela napas, bukan karena kasihan, melainkan haru. Hukuman di pesantren seringkali bukan menjatuhkan, tetapi mengangkat: mengubah kesalahan menjadi latihan karakter. Alih-alih protes, kami meneguhkan: jalani dengan ikhlas, harap barokah dari Allah. Di situ, pelajaran paling halus bekerja—bahwa hidup bukan hanya “hak”, tapi juga “khidmat”.

Perbedaan mencolok lain terasa pada cara anak kami membaca Al-Qur’an. Setelah menjadi santri, bacaannya terasa lebih ringan, tartilnya mengalir—detil-detil yang dulu, saat kami membimbing sendiri dengan mengikuti model pembacaan di sekolah sebelumnya, sering terantuk. Kami belajar merelakan: ada tradisi, ada metode, ada sanad keilmuan yang lurus. Kyai dan bu nyai yang Hamilul Qur’an mengajar bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan keteladanan dan cahaya hati. Sehebat apapun kasih sayang orang tua, ada batas pada kompetensi; dan di titik itulah kami menunduk, memberi ruang kepada ahlinya.

Ada yang bertanya: mengapa harus selembut itu kepada kyai dan bu nyai—cium tangan, menundukkan kepala saat berkomunikasi, berhenti ketika mereka lewat? Bukankah itu berlebihan? Bagi kami, tidak. Adab adalah gerbang ilmu. Penghormatan bukan kultus, tetapi pengakuan atas amanah keilmuan dan budi pekerti. Tradisi yang tampak “lahiriah” itu justru melatih batin: menurunkan ego, mengangkat hormat, menata hati agar ilmu bersemi. Ketika orang luar menyorotinya hanya dari tampilan, saya memaklumi: mereka belum merasakan resonansi yang kami rasakan—keteduhan yang membuat anak betah belajar, dan orang tua ridha menunggu.

Apakah kyai dan bu nyai maksum? Tentu tidak. Mereka manusia biasa, bisa salah dan khilaf. Tetapi “biasa” di sini bukan “serba sama”. Mereka “biasa yang istimewa”: yang kami pilih melalui pertimbangan panjang—keilmuan, akhlaq, khidmat, dan reputasi pesantren. Karena itu, kami berhusnudhan. Berhusnudhan bukan buta; ia adalah sikap dewasa: menyadari bahwa pendidikan adalah proses, tidak selalu manis, tetapi diarahkan pada kebaikan yang lebih besar.

Di titik ini, memondokkan anak menjadi latihan ganda: anak belajar berkhidmat, orang tua belajar melepaskan. Keduanya bertemu pada satu kata: keikhlasan. Ro’an melatih otot dan sikap; ta’zir meluruskan yang bengkok; adab menghaluskan hati; sanad menjaga kemurnian ilmu. Semua bergerak menuju satu tujuan: membentuk insan yang tak hanya cerdas, tapi juga tertata batinnya.

Kalau pendidikan umum sering menekankan “mendapatkan”—nilai, ranking, sertifikat—pesantren mengajak “memberi”—waktu, tenaga, hormat. Paradoksnya, ketika seseorang memberi, ia justru menerima lebih banyak: ketenangan, barokah, dan kemandirian. Saya yakin bahwa apa yang telah mereka alami adalah pengalaman berharga. Mereka mungkin lelah selepas Ro’an, tetapi letih itu berbuah tangguh.

Pada akhirnya, keputusan memondokkan anak adalah keputusan menata ulang prioritas: dari “kami tahu yang terbaik” menjadi “kami percaya pada ahlinya”; dari “anak harus nyaman” menjadi “anak harus tumbuh”; dari “hasil cepat” menjadi “proses yang sabar”. Saya dan istri tidak sedang mencari kesempurnaan, kami mencari keberkahan. Dan keberkahan—kata orang-orang tua—sering muncul di tempat-tempat yang tampak sederhana: pada tangan yang kotor oleh sapu, pada ember semen yang berat, pada salam takzim kepada guru, pada ayat-ayat yang dibaca berulang sampai hati menjadi lapang.

Pesantren, bagi kami, adalah rumah kedua bagi anak-anak dan cermin bagi kami sebagai orang tua. Di ambang pintunya, kami menitipkan ego. Di dalamnya, anak-anak kami memungut akhlaq, adab, dan ilmu. Bila suatu hari seseorang bertanya apa yang paling berharga dari keputusan ini, saya akan menjawab sederhana: kami belajar percaya, mereka belajar berkhidmat—dan di antara keduanya, Allah menumbuhkan barokah.[pgn]

Nine Adien Maulana, Wali Santri PPHQ Sentul (2021-2022) dan Wali Santri Ribath HQ PPDU Rejoso (2023-2025) 

Posting Komentar

0 Komentar