![]() |
Pembelajaran dengan model tatap muka terbatas di SMA Negeri 2 Jombang pada awal pandemi Covid-19. |
[Jombang, Pak Guru Nine]
Salah satu ciri khas Kurikulum 2013 adalah
penekanan yang kuat pada penerapan pendekatan ilmiah (scientific approach)
dalam pembelajaran semua mata pelajaran, termasuk Pendidikan Agama Islam (PAI).
Langkah-langkah metode ilmiah yang selama ini lebih dikembangkan dalam studi
Sains diadopsi dalam kegiatan pembelajaran. Dengan adopsi ini, pembelajaran
diupayakan mengikuti lima langkah pokok yaitu: 1. mengamati (observing),
2. menanya (questioning), 3. mengekprolasi (exploring), 4.
mengasosiasi (associating), dan 5. mengomunikasikan (communicating).
Langkah-langkah ini diyakini oleh para konseptor Kurikulum 2013 sebagai media
untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik secara
terpadu sehingga hasil belajar menjadi lebih produktif, inovatif, kreatif dan
afektif.
Pembelajaran seperti ini merangsang dan melatih
peserta didik mengembangkan pola pikir induktif. Mereka dibiasakan untuk
mengonstruksi suatu pengetahuan berdasar pada cerapan panca indera mereka.
Dengan pola pikir seperti itu, mereka diharapkan mampu menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah.
Penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran adalah
sesuatu yang sangat wajar, karena pembelajaran sebenarnya adalah salah satu
proses ilmiah. Meskipun demikian, penerapannya dalam matapelajaran PAI tentu
berbeda dengan matapelajaran yang lain.Umumnya, langkah-langkah pendekatan
ilmiah dalam setiap pembelajaran langsung mengarah kepada obyek kajiannya, hal
ini sangat wajar karena obyek kajiannya bersifat kasat mata. Beda dengan
matapelajaran PAI, tidak semua objek kajiannya kasat mata. Ada objek kajian
yang bersifat tidak kasat mata atau ghaib, khususnya dalam aspek aqidah atau
keimananan.
Jika objek kajian yang tidak kasat mata itu
didekati dengan langkah-langkah pendekatan ilmiah sebagaimana diterapkan pada
obyek yang kasat mata, tentu hal ini menjadi bermasalah. Alih-alih mengokohkan
keimanan peserta didik, pembelajaran ini menjadi salah sasaran; obyek gaib yang
seharusnya diterima sebagai doktrin yang mengacu kepada berita wahyu, namun
dipahami sebagaimana obyek yang kasat mata.
Guru PAI harus sadar bahwa mengajarkan aspek
aqidah memiliki karakteristik yang berbeda dengan aspek yang lain, misal aspek
al-Quran, Akhlak, Fiqh/Syariah dan Tarikh/Sejarah. Pembelajaran dalam empat
aspek tersebut dapat langsung mengarah kepada obyek kajiannya masing-masing,
sehingga langkah-langkah pendekatan ilmiah dapat diterapkan secara langsung.
Hal ini berbeda dengan aspek aqidah yang berisi enam rukun iman itu tidak bisa
diajarkan dengan langkah-langkah pendekatan ilmiah yang secara langsung
mengarah kepada enam rukun iman, karena tidak semuanya kasat mata.
Mengajarkan enam rukun iman sebenarnya
mengajarkan berita tentang obyek keimanan yang disampaikan oleh Allah SWT dan
RasulNya. Berita-berita wahyu (sam’iyyat) itulah yang menjadi dasar
utama dalam mengimani. Sebaliknya, apa yang tidak diberitakan oleh wahyu tidak
dapat dijadikan pijakan iman.
Pendekatan deduktif dalam pembelajaran ini
menjadi hal yang mutlak diperlukan. Dengan demikian obyek kajian utamanya
adalah ayat-ayat al-Quran dan teks-teks al-Hadits yang memberitakan tentang
Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir dan Takdir. Di sinilah pendekatan
ilmiah bisa diterapkan secara tepat. Teks wahyu itulah yang diamati, ditanya,
diekprolasi diasosiasi dan dikomunikasikan. Hasil kajiannya berupa doktrin yang
harus diterima sebagai bagian dari keimanan. Jika hal ini diperkaya dengan
kajian empiris, maka hal itu bisa saja, namun semata-mata untuk mengokohkan
berita wahyu, bukan untuk membangun dasar awal iman.
Para ulama ushuluddin terdahulu
sebenarnya telah memberikan rambu-rambudalam mempelajari aspek keimanan dalam Islam.
Penerapan dalil naqly dan dalil aqly secara tepat sasaran adalah
rambu-rambunya. Dalil naqly adalah dalil yang semata-mata berdasar berita dari
al-Quran dan al-Hadits, sedangkan dalil aqly adalah dalil yang dibangun atas
dasar kebenaran logika dan akal sehat manusia. Obyek keimanan diantara enam
rukun iman itu yang bersifat ghaib harus dipahami semata-mata berdasar dalil
naqly, sedangkan yang bersifat kasat mata dapat dipahami dengan menggunakan
dalil naqly dan dalil aqly sekaligus.
Seringkali orang-orang merujuk pada pengalaman
nabi Ibrahim as dalam proses menemukan Tuhannya dengan pengamatan terhadapat
fenomena yang terjadi di alam semesta (ayat kauniyah). Sayangnya mereka
melupakan bahwa akal nabi Ibrahim as hanya mengantarakan kepada suatu kesadaran
bahwa semua fenomena tersebut pasti ada yang menciptakannya, yaitu Tuhan.
Namun, akal beliau tidak bisa mengantarkan kepada eksistensi Tuhan Allah dengan
sifat dan perbuataNya, jika tanpa petunjuk wahyu yang disampaikan Allah secara
langsung kepada beliau. Hal ini menegaskan bahwa akal dan wahyu saling
melengkapi dalam masalah keimanan selama tepat dalam penggunaannya.
Guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh terjebak
pada alur berfikir materialis empiris dalam mengajarkan materi keimananan,
sebagaimana yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 melalui pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran, sehingga salah penerapan pada obyek apa pendekatan ilmiah
digunakan. Oleh karena itulah mereka harus benar-benar memahami penggunaan
dalil naqly dan aqly dalam masalah keimanan. Bacalah referensi primer ilmu
kalam, agar pemahaman yang disampaikan kepada peserta didik tidak parsial.
Jangan hanya membaca buku paket, karena hanya berisi ringkasan yang seringkali
tidak bisa menghadirkan pemahaman yang lengkap.
Mengajarkan sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz
bagi Allah SWT, jika hanya bersumber dari buku-buku paket, maka guru tidak akan
mendapatkan pemahaman utuh. Jika pemahaman guru tidak utuh maka dapat
dipastikan peserta didik akan semakin sulit memahami. Dengan kondisi seperti
itu, kemudian guru serta merta menerima pendekatan ilmiah dalam
pembelajarannya, namun tidak pas dalam penerapan, maka hal itu akan menjadi
kotraproduktif. Belajar iman tapi hasilnya semakin tidak mantap iman. Belajar
tauhid, tapi hasilnya malah memposisikan Allah SWT sebagaimana makhluk. Tentu
ini adalah ironi.
Semoga guru-guru Pendidikan Agama Islam kita tidak seperti yang penulis khawatirkan. Amiin. {abc}
0 Komentar