KH. Abdul Nashir Fattah yang Saya Kenang

 

Sugeng thindak Kyai.

Saya tidak memiliki banyak kenangan tentang KH. Abdul Nashir Fattah, karena saya mondok di PPBU Tambakberas hanya sebentar, yakni 3 tahun selama menjadi murid MTsN Tambakberas (sekarang, MTsN 3 Jombang)

Karena saya mondok di ribath Al-Muhibbin (dulu belum beridentitas Bumi Damai Al-Muhibbin), tiap hari saya berlalu lalang di depan ndalem KH. Abdul Nashir Fattah, biasa dipanggil KH Nashir, (Pondok Pesantren Putri Al-Fathimiyah), karena kedua asrama pondok itu bersebelahan.

Sesekali saya berpapasan dengan beliau, kemudian saya minta bersalaman sambil mencium tangan beliau. Hal ini memang menjadi tradisi santri saat bertemu dengan kyainya.

Sebagai santri junior yang masih belajar di jenjang MTs, saya lebih banyak mengikat pengajian kitab yang diselenggarakan di dalam pondok Al-Muhibbin. Meskipun para santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) Tambakberas boleh mengikuti pengajian di semua kyai yang dalam lingkungan PPBU, namun sejauh yang saya lihat, mayoritas mereka yang ikut ngaji di Ndalem KH. Nashir adalah para santri senior.

Hal itu wajar, karena kitab yang dikaji oleh KH. Nashir adalah kitab-kitab besar dan tebal. Kalau tidak salah beliau secara rutin mengkaji kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim (maaf saya kurang tahu persis, karena saat itu saya tidak ikut ngaji kitab tersebut.

Baru setelah saya entah telah menjalani tahun kedua atau ketiga di pondok, saya memberikan diri ikut ngaji kepada beliau. Ngajinya tidak di Ndalem beliau, tapi di serambi masjid induk PPBU. Saya masih sangat ingat kitab yang dikaji berjudul Anwarul Masalik.

Paparan kitab ini mirip Fathul Qarib al-Mujib, namun jumlah halamannya lebih banyak, sehingga tampak lebih tebal. Kitab Anwarul Masalik ini adalah kitab Fiqih, yang ketebalan sekitar setebal kitab Fathul Mu'in, namun redaksi bahasa paparannya lebih sederhana.

Menurut para santri senior yang saya dengar, memang KH. Nashir lebih mendalami ilmu-ilmu fiqih, sehingga beliau menjadi referensi ngaji fiqih para santri baik yang masih tinggal di dalam pondok maupun yang sudah boyong.

'Perjumpaan' kembali saya dengan KH. Nashir berlangsung saat kami berkhidmat di Nahdlatul Ulama. Beliau menjadi Rais Syuriah PCNU Jombang, sedangkan saya menjadi ketua PRNU Pacarpeluk. Oleh karena itu, ini adalah perjumpaan jauh antara pimpinan dan bawahan. Saya sering 'berjumpa' beliau saat menghadiri acara-acara PCNU Jombang, namun sekadar berjumpa biasa dari kejauhan.

Dengan kapasitas keilmuan kekiaian beliau, sejak awal saya berkhidmat di PRNU Pacarpeluk, kami tetap mengamanahkan beliau sebagai Rais Syuriah PCNU Jombang. Kami belum memiliki referensi figur lain yang paling pas, selama beliau masih ada dan bersedia berkhidmat.

Khidmat beliau kepada Nahdlatul Ulama memang luar biasa. Khidmat keilmuan, pikiran, tenaga dan dana telah beliau berikan kepada Jam'iyyah ini. Segala kemajuan pergerakan dan karya nyata yang ada di PCNU Jombang tidak bisa dilepaskan dari totalitas khidmat beliau.

Kini, beliau telah wafat dengan membawa khidmat itu menghadap Allah SWT. Sungguh ini adalah bekal yang amat mulia, sehingga saya berani bersaksi bahwa beliau wafat dalam kemuliaan. Kemuliaan bekak ini tentu akan menempatkan beliau di kedudukan mulia di sisi Allah SWT.

Kami para santri beliau, pasti kehilangan dan berduka. Namun, khidmat kemaslahatan yang beliau telah lakukan harus dilanjutkan.

Semoga Allah SWT memudahkan kami melanjutkan khidmat ini dalam jenjang masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. [abc]


Posting Komentar

0 Komentar