![]() |
Jika sekolah telah menjadi UPZ yang benar-benar menjalankan fungsi dalam pemberdayaan zakat, infak dan sedekah, maka pengelolaan zakat fitri menjadi hal yang ringan-ringan saja. |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]
Tiap Ramadhan
sekolah-sekolah mengisi kegiatan efektif fakultatif dengan menyelenggarakan
Pesantren Ramadhan. Ada berbagai pilihan model baik yang diselenggarakan, baik
di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Tiap Ramadhan, Kementerian Agama Republik
Indonesia juga menerbitkan petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan Pesantren
Ramadhan yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi sekolah yang menyelenggarakan
kegiatan tersebut.
Salah satu rangkaian
kegiatan Pesantren Ramadhan yang paling sering dilakukan dalam sekolah adalah
pengelolaan zakat fitri. Sebenarnya juknis
itu tidak secara khusus menyebut zakat fitri, namun menyebut pengelolaan zakat,
infak dan sedekah secara umum. Sayangnya dalam praktiknya, mayoritas sekolah
kemudian menerjemahkan juknis tersebut dengan pengelolaan zakat fitri.
Murid-murid pun diminta untuk menyerahkan zakat fitri mereka kepada sekolah untuk
dikelola dan disalurkan. Tujuannya pasti mulia, yakni edukasi pelaksanaan
ibadah zakat fitri dan pengorganisasiannya dalam pengelolaan dan pendistribusian.
Meskipun tujuannya
mulia, namun saya terusik untuk mengemukakan perasaan dan pendapat. Tentu
pembaca tidak harus sependapat dengan pemikiran saya. Jika pembaca sependapat
dengan saya, maka tidak ada salahnya jika kita bisa saling mengadopsi gagasan
untuk menyempurnakan berbagai program edukasi di sekolah.
Zakat fitri adalah
zakat jiwa yang melekat pada tiap individu muslim. Murid-murid sekolah adalah
anak-anak yang masih berada dalam tanggungan nafkah ayahnya, apalagi jika
mereka belum baligh. Oleh karena itu ayahnya lah yang paling berhak membayar
atau mengelurkan zakat fitri untuk anak-anaknya. Hal ini juga berlaku untuk
isteri dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkah bagi keluarga dan
kerabatnya.
Ketika zakat fitri
ini telah dikeluarkan langsung kepada mustahiq (pihak yang berhak mengelola dan
atau menerima) maka tuntaslah kewajiban tersebut. Namun jika ia disalurkan
bukan kepada mustahiqnya, tentu kita tidak bisa serta merta menyimpulkan bahwa
kewajiban itu telah tuntas.
Memang tidak salah
jika sekolah mengelola zakat fitri, namun sekolah harus siap dengan segala
konsekwensinya. Jika tidak siap, maka kita baru bisa mengatakan bahwa sekolah
salah. Apa kesiapan yang harus dimiliki oleh sekolah? Mari kita lanjutkan
penjelasannya.
Jika sekolah memang
serius dalam hal ini, maka sekolah harus memiliki legalitas menjadi Unit
Pengumpul Zakat (UPZ) dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil
Zakat, Infak dan Sedekah (LAZIS). Dengan status itu, maka sekolah memiliki
kewenangan dalam mengelola Zakat, Infak dan Sedekah yang ada di sekolah
tersebut secara sistematis dan berkelanjutan. Jadi kewenangannya tidak bersifat
sementara (ad hoc) tahunan untuk sekadar mengumpulkan, mengemas dan
mendistribusikan zakat fitri.
Saya tidak yakin, ada banyak sekolah yang telah memiliki legalitas ini. Kalaupun memiliki, saya juga
tidak yakin jika legalitas itu digunakan secara serius berkelanjutan untuk
mengelola Zakat, Infak dan Sedekah. Paling-paling, legalitas itu hanya
digunakan untuk pengelolaan zakat fitri yang bersifat tahunan saja.
Meskipun sekolah
tidak memiliki legalitas sebagai UPZ, sekolah tetap boleh saja mengelola zakat
fitri apalagi memang tujuannya adalah mulia. Namun, pihak sekolah harus serius
dan hati-hati dalam mengelolanya. Dalam hal ini status panitia zakat fitri yang
dibentuk oleh sekolah adalah wakil dari pihak yang berzakat (muzakki), yaitu
murid atau orang tua murid. Dengan status itu, maka panitia harus memastikan
bahwa beras zakat fitri itu benar-benar tersalur kepada mustahiq. Jika beras
zakat fitri itu belum tersalurkan, maka kewajiban muzakki itu belum gugur
meskipun ia telah mengeluarkannya kepada panitia tersebut.
Padahal, biasanya
panitia zakat fitri adalah murid-murid yang tergabung dalam OSIS atau Remaja
Masjid atau Seksi Kerohian Islam. Pengelolaannya pun juga biasanya dilakukan di
akhir-akhir waktu menjelang liburan sekolah awal Idul Fitri. Jika beras zakat
fitri yang terkumpul itu secara keseluruan telah tersalurkan kepada mustahiq
sebelum masa liburan, maka tuntaslah kewajiban panitia dan muzakki.
Masalah yang beberapa
kali saya temukan adalah masih adanya beras zakat fitri yang belum tersalurkan
dan menumpuk di sekolah padahal waktu liburan telah berlangsung. Panitia pun
juga libur, sehingga beras ini terlupakan belum tersalurkan. Jika akhirnya
beras ini tidak tersalurkan hingga Idul Fitri 1 Syawal, maka tentu berakibat
pada tidak tuntasnya kewajiban muzakki dalam mengeluarkan zakat fitri. Jika ini
dinilai sebagai dosa, maka siapakah yang menanggungnya?
Karena panitia
zakat fitri yang dibentuk sekolah tidak termasuk amil zakat, maka pihak sekolah
harus mengalokasikan dana khusus untuk mengelola zakat fitri tersebut. Dana
tersebut juga tidak boleh diambilkan dari bagian beras zakat fitri itu. Semua
beras zakat fitri itu sepenuhnya, tanpa dikurangi, harus disalurkan kepada
mustahiqnya.
Jika pihak sekolah
telah siap dengan konsekwensi ini, maka silakan saja mengelola zakat fitri.
Tapi jika tidak siap, maka jangan coba-coba mengelolanya daripada menggantung gugurnya
kewajiban banyak orang.
Pendistribusian
zakat fitri yang dikelola sekolah sebenarnya juga menyisakan ganjalan dalam
hati muzakki. Mengapa? Kita harus memahami bahwa zakat fitri adalah cara Islam
memastikan bahwa semua umat Islam bisa bergembira pada saat Idul Fitri. Jangan
sampai ada umat Islam yang tidak bergembira di hari raya itu, karena kelaparan,
tidak ada yang bisa dimakan atau dikonsumsi. Oleh karena itu, zakat fitri harus
lebih dulu disalurkan kepada mustahiq yang paling dekat dari muzakki. Jika
zakat fitri seseorang di satu daerah dikeluarkan melalui sekolah yang berada di
daerah lain, tentu ini berpotensi menjadi masalah jika ternyata masih ada
tetangga muzakki yang juga lebih membutuhkan beras zakat fitri itu.
Pendistribusian
beras zakat fitri yang dikelola oleh sekolah juga masih menyisakan ganjalan dalam
hati. Jika ia disalurkan kepada murid-murid sekolah itu yang tercatat sebagai
kelompok miskin, apakah mereka bersedia menerimanya? Jika mereka diberi kartu
penukaran bagian beras zakat fitri, apakah mereka bersedia datang dan
menukarkannya? Mereka adalah kaum muda yang mungkin malu jika pulang sekolah
dengan membawa beras zakat fitri dengan bobot yang tidak ringan.
Jika
pendistribusiannya dilakukan dengan cara dititipkan kepada guru dan karyawan
sekolah tersebut atau disalurkan secara langsung ke daerah-daerah yang
tertinggal, lalu bagaimana dengan tujuan utama zakat fitri sebagai bentuk
kepedulian nyata kepada orang-orang terdekat muzakki? Jika pendistribusiannya
diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang biasanya mengajukan surat permohonan
penerimaan zakat fitri kepada sekolah, apakah sekolah mengetahui bahwa mereka
benar-benar berhak menerimanya?
Dalam kondisi
seperti ini, pendistribusian yang paling sederhana dan mudah adalah dengan
menyalurkan semuanya kepada BAZNAS atau LAZIS sebagai Amil Zakat yang resmi dan
memang memiliki tugas utama untuk mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan serta
memberdayakan zakat, infak dan sedekah dengan segala perangkat pendukungnya. Tapi
jika model pendistribusian ini yang dipilih, maka kita patut mempertanyakan
kembali tujuan edukasi yang sejak awal ingin dicapai dengan mengelola zakat
fitri. Apakah tujuan tersebut telah bisa dicapai dengan model semacam ini?
Sebagai guru
Pendidikan Agama Islam saya sebenarnya bisa mengupayakan tujuan edukasi dalam
menjalankan ibadah zakat fitri tersebut tanpa harus menanggung risiko yang
besar. Caranya adalah dengan penugasan kepada murid untuk menyalurkan sendiri
zakat fitri kepada mustahiq terdekatnya. Sebelum penugasan itu, guru hendaknya
membimbing murid terkait kententuan syariat dalam melaksanakan ibadah zakat
fitri ini. Agar guru semakin bisa mengontrol bahwa penugasan itu telah tepat
sasaran, maka murid bisa diminta untuk mengirimkan foto dan video pelaksanaan
tugas itu.
Sungguh, ini sangat ringan dan sederhana serta tetap sasaran. Tapi mengapa banyak sekolah masih mau mengelola zakat fitri, tapi tidak sungguh-sungguh menyiapkan segala konsekwensinya? Tapi jika sekolah serius mengelolahnya, maka segeralah menjadi UPZ yang bisa legal mengelola infak dan dana sosial seperti yang sudah berjalan selama ini. Tidak hanya itu UPZ ini pun bisa menerima dan mengelola zakat dari guru, karyawan dan murid yang ada di sekolah itu. [pgn]
3 Komentar
Sekolah sekolah sebaiknya tidak usah dibentuk Upzis, karena menyalahi Fungsinya sbg Lembaga Pendidikan,
BalasHapusKarena sudah ad yg ngurus di masjid setiap dusun.agar tidak tumpang tindih,,Niatnya,? Pembagiannya tdk koordinasi dgn panitia masjid,
Jika kita mengacu pada Undang Undang Zakat, sebenarnya tidak masalah jika di sekolah, masjid, musholla, desa atau dusun dibentuk UPZ. Ini adalah konsekwensi dari undang-undang tersebut.
BalasHapusSecara legal Masjid dan Musholla pun seharusnya menjadi UPZ agar memiliki legalitas dalam mengelola zakat, infak dan sedekah.
BalasHapus