![]() |
Gapura ini menjadi pintu masuk dari jalan besar menuju ke dapur redaksi www.pakgurunine.com. |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Desa Pacarpeluk di
Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, memiliki nama yang unik dan sering kali
memunculkan kesalahpahaman bagi mereka yang belum mengetahui asal-usulnya.
Sepintas, banyak orang yang baru pertama kali mendengar nama ini akan
mengasosiasikannya dengan makna yang negatif dalam bahasa Indonesia, seperti
"peluk pacar." Namun, sebagai warga asli desa ini, saya percaya bahwa
nama "Pacarpeluk" tidak berasal dari kosakata bahasa Indonesia,
melainkan memiliki akar dalam sejarah dan budaya Jawa.
Secara geografis, Pacarpeluk terletak di wilayah
agraris yang agak pelosok, di mana bahasa komunikasi sehari-harinya adalah
bahasa Jawa. Oleh karena itu, mengidentikkan nama desa ini dengan kosakata
bahasa Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat. Meski demikian, tidak ada data
yang sangat valid yang mengidentikkan nama desa ini dengan bahasa Jawa secara
pasti, karena informasi yang ada hanya berdasarkan cerita turun-temurun dari
para tetua desa. Informasi ini disampaikan dalam bahasa Jawa, yang membuat saya
lebih cenderung mempercayainya daripada mengasosiasikannya dengan kosakata
bahasa Indonesia.
Sebagaimana banyak legenda daerah lainnya, sejarah
Desa Pacarpeluk diawali dengan kisah babat alas, yaitu pembukaan hutan untuk
pemukiman manusia. Sosok yang dianggap sebagai pembuka daerah ini adalah Mbah
Wonoyudo, seorang pengembara yang konon berasal dari Jipang, Panolan, Blora,
Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti kapan kedatangan pengembara ini di
hutan yang kemudian dibukanya untuk tempat tinggal.
Saat melakukan pembabatan hutan, Mbah Wonoyudo
menemukan banyak tumbuhan bunga pacar air (Impatiens balsamina). Bunga ini
biasanya berwarna merah, merah muda, ungu, dan putih. Daunnya sering
dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai pewarna kuku (kutek). Dengan banyaknya
tumbuhan pacar air di daerah tersebut, pedukuhan (dusun) yang dibuka oleh Mbah
Wonoyudo kemudian disebut dengan nama Pacar.
Sosok lain yang dikenal dalam sejarah desa ini
adalah Mbah Kalam. Seperti halnya Mbah Wonoyudo, sebutan "Mbah" lebih
merupakan bentuk penghormatan daripada penunjuk usia. Mbah Kalam datang ke
daerah ini untuk membantu Mbah Wonoyudo yang lebih dahulu membuka hutan.
Menurut cerita turun-temurun, Mbah Kalam kemudian dijodohkan dengan putri Mbah
Wonoyudo yang bernama Kik Liyah. Mbah Wonoyudo memiliki beberapa anak, termasuk
Kik Wiroyudo, Kik Joyosudo, Kik Reksoyudo, dan Kik Ranuyudo. Mereka semua
bahu-membahu melanjutkan usaha membuka hutan untuk memperluas wilayah pemukiman
dan bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dari daerah yang disebut Pacar, mereka melanjutkan
pembukaan areal baru ke arah utara, yang sekarang dikenal sebagai Dusun Peluk.
Di tempat ini, Mbah Wonoyudo bersama putra-putrinya bertemu dengan seorang
laki-laki yang konon berasal dari daerah Proko, Perak. Laki-laki ini sedang
bertapa di bawah pohon mangga, mengenakan kupluk kuncir dan membawa bekal nasi
yang dikepeli (dibentuk bulatan kepalan tangan). Nasi tersebut dimakan langsung
dengan tangan (dipuluk), sehingga kejadian ini dianggap istimewa oleh para
pembuka hutan. Atas dasar itulah, daerah sebelah utara Pacar kemudian disebut
dengan Pedukuhan Peluk, akronim dari "sego sak kepel sing dipuluk"
(nasi segenggaman tangan yang dimakan langsung dengan tangan).
Setelah Mbah Wonoyudo wafat, usaha perluasan
wilayah pemukiman dan persawahan dilanjutkan oleh anak-anaknya, termasuk
Wiroyudo. Mereka membabat hutan di sebelah timur agak ke selatan dari pedukuhan
Pacar. Karena di tempat itu banyak dijumpai pohon soko, daerah tersebut
kemudian disebut sebagai Pedukuhan Soko.
Penamaan desa Pacarpeluk tidak bisa dipisahkan
dari sosok Lurah (Kepala Desa) pertama daerah ini, yaitu Mbah Konde, yang
menjabat sekitar tahun 1870. Nama asli Mbah Konde adalah Prawiroyudo, putra
Wiroyudo dan cucu Mbah Wonoyudo. Dialah yang memberi nama desa ini dengan
menggabungkan nama dua pedukuhan, Pacar dan Peluk, sehingga menjadi Pacarpeluk.
Mbah Konde dikenal sebagai lurah yang sakti mandraguna, kaya raya, dan
disegani. Sebutan "Mbah Konde" diberikan karena ia berambut panjang
yang selalu digelung dengan tusuk konde, serta memiliki kebiasaan mengunyah
tembakau (nyusur).
Salah satu bangunan monumental yang didirikan oleh
Lurah Mbah Konde hingga kini masih berdiri, yaitu Balai Desa Pacarpeluk dengan
ornamen khas Keraton Belanda. Balai desa ini memiliki nilai sejarah yang sangat
dalam dan layak dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya. Meski
demikian, keterangan yang memadai mengenai sejarah balai desa ini masih
terbatas, sehingga tidak banyak yang bisa saya sampaikan lebih lanjut.
Kisah tentang Desa Pacarpeluk ini memberikan
gambaran bagaimana sebuah nama desa dapat mengandung sejarah panjang yang kaya
dengan nilai budaya dan kearifan lokal. Dari pembukaan hutan oleh para leluhur
hingga penamaan desa oleh Lurah Mbah Konde, setiap langkah yang diambil oleh
pendahulu kita membentuk identitas dan karakter desa ini. Meskipun informasi
yang ada lebih banyak berasal dari cerita turun-temurun, hal ini justru
menambah nilai unik dan magis dari nama desa Pacarpeluk. [pgn]
0 Komentar