![]() |
Ketua MUI Kabupaten Jombang bersama kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jombang dalam suatu acara. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW di salah satu desa di wilayah Kabupaten Jombang yang semestinya
menjadi ajang penuh khidmat dan spiritual justru menuai kritik dari berbagai
pihak. Salah satu sorotan datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Jombang, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, terkait munculnya fenomena
pawai dengan arakan salon horeg dan para penari yang dianggap tidak sesuai
dengan makna peringatan Maulid Nabi.
Fenomena tersebut tampak dalam pawai budaya yang
diselenggarakan oleh beberapa kelompok masyarakat di wilayah Kabupaten Jombang.
Pawai tersebut menampilkan iringan salon horeg—truk yang dilengkapi dengan
perangkat musik yang memutar lagu-lagu populer dengan volume tinggi—serta
melibatkan sejumlah penari yang berlenggak-lenggok mengikuti irama. Pertunjukan
ini dinilai mengundang keramaian yang terkesan lebih sebagai hiburan daripada
refleksi keagamaan yang seharusnya menjadi inti dari peringatan Maulid Nabi.
Menanggapi fenomena tersebut, KH. Muhammad
Afifuddin Dimyathi memberikan pandangan tegas. Beliau mengingatkan bahwa
perayaan Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai keislaman, baik dari segi ilmu, akhlak maupun dakwah kenabian,
Dalam pernyataannya, beliau menyampaikan, “Kami menghimbau umat Islam yang
merayakan Maulid Nabi tetap memperhatikan norma-norma dan etika Islam dalam
merayakannya. Janganlah perayaan Maulid Nabi yang seharusnya menjadi sarana
menghidupkan ilmu, akhlak dan dakwah nabi, malah menjadi sarana menjauhkan ilmu
dan akhlak kenabian dari umat.”
Gus Awis, demikian panggilan akrab ketua MUI
Jombang, juga menyoroti adanya beberapa tindakan yang dianggap melanggar etika
Islam, seperti ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa batas),
israf (berlebih-lebihan), serta tabdzir (pemborosan). Menurut beliau, hal-hal
tersebut sebaiknya dihindari dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan
peringatan hari-hari besar Islam. “Perayaan Maulid Nabi harus bisa menjadi
sarana mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani sifat-sifat mulia
Rasulullah, bukan sekadar acara hiburan yang melupakan esensi dari peringatan
itu sendiri,” tambahnya.
Di sisi lain, masyarakat yang mengadakan pawai
tersebut mungkin akan menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari
bentuk ekspresi budaya lokal yang dikombinasikan dengan perayaan keagamaan.
Namun, Gus Awis menekankan pentingnya membedakan antara budaya dan agama. Ia
mengingatkan bahwa tidak semua bentuk ekspresi budaya dapat disatukan dengan
agama, terutama jika hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam.
“Kita harus berhati-hati dalam memadukan budaya
dengan agama. Islam tidak menolak budaya, tetapi budaya yang kita tampilkan
harus tetap berada dalam koridor syariat. Jangan sampai justru nilai-nilai
agama menjadi kabur karena budaya yang kita tonjolkan tidak sesuai,” tegas
beliau.
Dengan adanya tanggapan dari Ketua MUI ini, diharapkan masyarakat Jombang dapat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan lebih khidmat, mendalam, dan sesuai dengan ajaran Islam. [pgn]
2 Komentar
Boleh horeg..asal jangan lupa sholat dhuhur dan ashar jangan di tinggalkan bolo...
BalasHapusBetuul betuul kawan
Hapus