Duta Demokrasi dari Candaan Teman hingga Harapan

Puisi ini disusun sebagai ungkapan cinta seorang ayah kepada anak pertamanya.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Pemilihan Duta Demokrasi di kelas XI-10 SMAN 2 Jombang menjadi momen tak terduga yang mengundang banyak perhatian, terutama ketika Caraka Shankara, siswa yang dianggap biasa-biasa saja dan bahkan tergolong tidak ideal, terpilih mewakili kelas. Di sisi lain, Aisyah Wahyu Al-Amin, siswa yang memiliki rekam jejak akademik yang gemilang dan dikenal disiplin, gagal mendapatkan dukungan mayoritas teman-temannya. Fenomena ini menggambarkan dinamika demokrasi dalam konteks kelas, yang tampak lebih sebagai permainan daripada proses seleksi yang serius.

Seperti yang sudah dijadwalkan dalam pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), setiap kelas diwajibkan memilih Duta Demokrasi yang akan bersaing di tingkat sekolah. Pada awalnya, semua kelas, termasuk kelas XI-10, diinstruksikan untuk membuat beberapa kelompok kecil, dengan setiap kelompok memilih satu perwakilan. Dari perwakilan kelompok inilah nanti akan dipilih Duta Demokrasi melalui proses pemungutan suara seluruh kelas. Namun, prosedur ini tidak sepenuhnya dijalankan di kelas tersebut. Alih-alih mengikuti aturan, para siswa berkreasi sendiri dengan menunjuk dua kandidat, satu laki-laki dan satu perempuan. Caraka Shankara dan Aisyah Wahyu Al-Amin pun ditunjuk sebagai kandidat Duta Demokrasi tanpa melalui seleksi kelompok kecil yang formal.

Sebelum pemungutan suara, baik Caraka maupun Aisyah diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato di hadapan teman-teman sekelasnya. Dalam penampilan ini, perbedaan antara keduanya tampak jelas. Aisyah, dengan kemampuan akademik dan kedisiplinannya yang sudah teruji, tampil jauh lebih meyakinkan dibandingkan Caraka. Pidatonya terstruktur, gagasannya cerdas, dan caranya berbicara menunjukkan kematangan sebagai seorang calon pemimpin. Sebaliknya, Caraka terlihat kurang siap dan tidak memberikan kesan yang sebanding dengan Aisyah. Jika penilaian didasarkan pada kemampuan dan kinerja, hampir semua orang akan setuju bahwa Aisyah lebih layak menjadi Duta Demokrasi.




Namun, demokrasi sering kali penuh kejutan, dan hasil pemungutan suara justru berkata lain. Caraka memperoleh lebih banyak dukungan dibandingkan Aisyah, dan dengan demikian ia terpilih menjadi Duta Demokrasi kelas XI-10. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, termasuk saya yang kemudian penasaran dengan latar belakang pemilihan tersebut.

Dalam usaha mencari jawabannya, saya mewawancarai beberapa perwakilan kelas XI-10. Salah satu siswa, Farel, dengan jujur mengakui bahwa proses pemilihan Duta Demokrasi tidak sepenuhnya dilakukan dengan serius. "Ada yang usul Aisyah dan Caraka, tapi pas polling, banyak yang memilih Caraka. Teman-teman banyak yang main-main, kayak guyonan gitu, Pak," ujar Farel. Pemilihan Caraka sebagai Duta Demokrasi, rupanya, lebih didorong oleh suasana kelas yang tidak terlalu serius, bahkan cenderung menjadikan momen tersebut sebagai bahan bercandaan. Farel juga menyebutkan adanya "provokator" yang memengaruhi teman-teman lain untuk memilih Caraka tanpa pertimbangan matang.

Saya juga bertanya kepada Vita, ketua kelas XI-10, untuk mendapatkan perspektif lain. Vita mengonfirmasi bahwa proses pemilihan memang tidak berjalan sesuai aturan yang seharusnya. "Sebenarnya, kami langsung menentukan dua kandidat sebagai Duta Demokrasi tanpa melalui proses pembentukan kelompok kecil. Harusnya ada perwakilan dari kelompok kecil, tapi kami langsung pilih dua kandidat, yaitu Aisyah dan Caraka. Pemilihan ini juga semacam diusulkan oleh teman-teman. Saat itu, banyak yang memilih Caraka sebagai bahan bercandaan. Akhirnya, saat penentuan suara, pendukung Caraka lebih banyak, sehingga dia yang terpilih," jelasnya.

Mengetahui latar belakang pemilihan yang berlangsung dengan cara yang tidak serius ini, sebagai orang tua, saya sempat merasa cemas. Namun, saya berusaha untuk berprasangka baik kepada Allah SWT. Saya percaya bahwa segala sesuatu terjadi dengan alasan, dan mungkin ini adalah cara Allah membimbing Caraka menuju perbaikan. Tugas sebagai Duta Demokrasi mau tidak mau akan memaksa Caraka untuk memperbaiki dirinya. Dia pasti tidak ingin tampil apa adanya di hadapan kelas-kelas lain. Ini adalah tantangan besar yang dapat memicu perubahan positif pada diri Caraka. Sebagai perwakilan kelasnya, ia harus menyiapkan diri untuk debat Duta Demokrasi antarwakil kelas.

Pada Senin, 14 Oktober 2024, Caraka dan sembilan wakil kelas lainnya akan berdebat untuk memperebutkan tiga posisi terbaik. Jika ia mampu mempersiapkan diri dengan baik, bukan tidak mungkin Caraka akan mengejutkan banyak orang lagi. Saya berdoa agar Allah SWT senantiasa membimbingnya dalam proses ini, memberi kemudahan, serta membuka jalan baginya untuk belajar dari pengalaman berharga ini.

Keputusan kelas XI-10 untuk memilih Caraka mungkin dimulai dari candaan, tetapi dampak dari pemilihan ini bisa menjadi hal yang jauh lebih besar. Caraka kini menghadapi tantangan nyata untuk menunjukkan kemampuannya.Ini adalah kesempatan besar baginya untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya. Demokrasi, meskipun terkadang tidak ideal dalam praktiknya, tetaplah mekanisme yang memberikan pelajaran tentang tanggung jawab dan kesempatan bagi semua orang.[pgn]


Baca juga! 

Caraka Shankara : Nama Anak Pertama

Caraka Shankara

Posting Komentar

0 Komentar