Antara Pantun dan Cerita Segunung

 

Para fasilitator P5 bersama murid-murid kelas XI SMAN 2 Jombang beraksi.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Saya melangkah ke Aula Ki Hajar Dewantara SMAN 2 Jombang dengan semangat yang tak biasa. Hari itu Senin, 5 Mei 2025 saya mendapat kehormatan menjadi MC dalam Gelar Karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) kelas XI. Sebuah panggung kebudayaan yang mengangkat tema “Menjadi Penelusur Warisan Budaya Masa Lampau”. Bukan sekadar acara biasa—hari itu adalah tentang kebanggaan, tentang identitas, dan tentang warisan yang tak boleh hilang ditelan zaman.

Suasana aula penuh antusiasme. Ruang itu sudah terisi oleh para siswa, guru, dan fasilitator yang tampak tak sabar menyimak 10 video reportase hasil karya siswa kelas XI. Video-video itu bukan hasil tempelan instan. Mereka adalah buah dari proses eksplorasi budaya yang dilakukan langsung oleh siswa di Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam—sebuah dusun yang mengemas kearifan lokal sebagai destinasi wisata berbasis masyarakat. 

Tugas saya sebagai MC bukan hanya mengarahkan jalannya acara, tapi juga mencairkan suasana. Maka, sejak awal saya menyiapkan beberapa pantun sebagai senjata icebreaking. Begitu mic saya genggam dan wajah para siswa menatap penuh harap, saya mulai dengan senyum dan suara renyah:

Pergi ke dusun cari durian,

Tak lupa membawa termos kopi.

Mari simak budaya Segunung nan menawan,

Agar bangga kita jadi anak negeri.

Tepuk tangan pun bergemuruh, dan saya tahu, acara ini akan berjalan hangat.

Satu per satu video ditayangkan. Setiap video membawa kisah khas yang menyejukkan sekaligus menggetarkan. Ada dokumentasi tentang Wiwit Kopi, sebuah upacara syukur atas panen kopi yang dilakukan masyarakat Segunung sebagai bentuk penghormatan pada alam dan Sang Pencipta. Siswa yang membuat reportase itu tak hanya merekam, tetapi juga menyelami filosofi kopi sebagai lambang ketekunan dan rasa syukur.

Lalu muncul video tentang Grebeg Suro, tradisi tahunan yang digelar setiap awal Muharram. Saya sendiri sempat bergumam dalam hati: “Luar biasa, anak-anak ini bisa mengemas tradisi spiritual dalam bentuk visual yang menggugah.” Grebeg Suro di Segunung tak hanya menjadi momen doa bersama, tetapi juga ajang memperkuat ikatan sosial, antarwarga dan lintas generasi.

Video lainnya tentang Permata—pelestarian mata air—adalah yang paling menyentuh. Di tengah krisis lingkungan yang menghantui banyak daerah, masyarakat Segunung justru merawat sumber mata air sebagai simbol keharmonisan antara manusia dan alam. Saya sempat menambahkan narasi ringan saat jeda pemutaran:

"Teman-teman, air bukan sekadar sumber hidup. Ia adalah titipan. Dan warga Segunung telah lebih dulu mengajarkan kita cara mencintainya."

Saya pun kembali menyelipkan pantun:

Di balik gunung mata air mengalir,

Dijaga rapi oleh warga penuh sabar.

Budaya lokal tak sekadar menghibur,

Tapi pelita agar bangsa tak bubar.

 

Para guru dan fasilitator yang hadir tampak haru dan bangga. Saya ikut merasa beruntung bisa menjadi bagian dari momen ini. Bukan hanya karena saya berdiri di depan sebagai MC, tapi karena saya menyaksikan sendiri bagaimana siswa belajar dengan cara yang mendalam, kritis, dan penuh empati. Ini bukan pembelajaran di atas kertas. Ini nyata. Mereka turun langsung, mewawancarai warga, menyimak kisah, dan merekam sejarah yang hidup.

Koordinator fasilitator dalam sambutannya menyampaikan apresiasi, “Melalui karya ini, para siswa tidak hanya belajar tentang sejarah dan budaya, tetapi juga turut serta dalam upaya pelestariannya.” Sebuah pengakuan bahwa kegiatan P5 bukanlah formalitas, melainkan ruang aktualisasi yang kaya makna.

Sebagai penutup acara, saya mengajak semua yang hadir untuk menoleh ke masa depan tanpa melupakan masa lalu. Saya bacakan pantun terakhir saya hari itu:

Jangan lelah merawat warisan,

Meski zaman terus berlari.

Dari Segunung untuk kebangsaan,

Mari terus jaga jati diri.

Hari itu saya tak hanya memandu acara, tetapi ikut mengalir dalam arus kebudayaan yang dijaga oleh anak-anak muda. Sebuah kehormatan. Sebuah harapan. Dan saya yakin, dari aula sederhana itu, lahir semangat besar untuk menjaga Indonesia—dari Segunung hingga ke hati kita semua.[pgn]


Posting Komentar

0 Komentar