![]() |
Ketika kita tahu luka apa yang mereka bawa, kita bisa merancang penyembuhannya. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Sekolah Rakyat hadir sebagai
jawaban atas keresahan panjang bangsa ini terhadap lingkaran kemiskinan yang
tak kunjung putus. Dirancang sebagai program pendidikan gratis dan berasrama
dari jenjang SD hingga SMA, Sekolah Rakyat merupakan terobosan mulia dari
Presiden Prabowo yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Sasarannya jelas:
anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini sulit
mengakses pendidikan layak. Dengan menyediakan fasilitas secara penuh—dari
tempat tinggal, makan, seragam, hingga perlengkapan belajar—program ini bukan
hanya membuka pintu, tapi juga menggandeng anak-anak untuk masuk dan tinggal di
dalamnya. Namun, membuka pintu saja tidak cukup. Kita juga perlu melihat ke
dalam jiwa-jiwa yang akan mengisinya.
Realitas
di lapangan menunjukkan bahwa tantangan utama Sekolah Rakyat bukan hanya pada
pemenuhan sarana, melainkan pada kesiapan sosial dan psikologis anak-anak itu
sendiri. Ini bukan soal kurangnya semangat belajar, melainkan kompleksitas luka
dan keterbatasan yang dibawa anak-anak dari latar belakang kemiskinan yang
panjang. Maka, sebelum kita bicara solusi, kita perlu jujur dan teliti dalam
mengidentifikasi masalah-masalah potensial yang mungkin muncul di dalam
prosesnya. Saya pun mengandaikan masalah-masalah potensial itu
sebagai berikut:
Pertama, banyak anak
yang masuk Sekolah Rakyat membawa rasa
percaya diri dan harga diri yang sangat rendah. Ini bukan
kesalahan mereka. Bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan, disertai cibiran
lingkungan, membentuk pola pikir bahwa mereka tak sepintar, tak sepantas, dan
tak seberuntung anak-anak lain. Kalimat-kalimat seperti “aku cuma anak orang
miskin” atau “aku nggak bisa seperti mereka” bukan sekadar perasaan, tapi keyakinan
yang menghantui. Ini yang membuat mereka sering ragu, takut mencoba, bahkan
diam meski tahu jawaban.
Kedua, kita perlu
memahami bahwa sebagian dari mereka datang membawa trauma dan luka psikologis.
Tidak sedikit yang tumbuh dalam rumah dengan kekerasan, penelantaran, atau
lingkungan yang penuh konflik. Anak-anak ini mungkin tampak tenang, namun dalam
dirinya menyimpan kemarahan, ketakutan, bahkan luka yang belum sempat sembuh.
Dalam situasi seperti ini, mata pelajaran yang bersifat akademis-intelektual bukan lagi
prioritas utama—yang mereka butuhkan adalah pemulihan, pelukan aman dari dunia
yang selama ini kasar terhadap mereka.
Ketiga, hidup di
lingkungan asrama dengan kedisiplinan
tinggi bisa menjadi tantangan tersendiri. Mereka yang terbiasa
hidup tanpa jadwal, tidur sekenanya, makan kalau ada, dan beraktivitas tanpa
aturan, akan merasa asing dengan rutinitas terstruktur. Bangun pagi, apel pagi,
jadwal belajar, ibadah berjamaah—semua itu mungkin tampak ringan bagi sebagian
orang, tapi bisa sangat memberatkan bagi mereka yang baru pertama kali
mengenalnya. Tak jarang muncul perlawanan, bukan karena mereka bandel, tapi
karena mereka belum siap.
Keempat, minimnya dukungan orang tua
menjadi kendala yang kerap tak terlihat namun sangat menentukan. Di banyak
kasus, keluarga dari anak-anak ini tidak memahami arti penting pendidikan
jangka panjang. Sebagian masih menganggap sekolah adalah beban, atau bahkan
kehilangan tenaga kerja keluarga karena anaknya diasramakan. Tak sedikit yang
mencoba menarik anaknya pulang, hanya demi menambah penghasilan harian. Ketika
anak tidak mendapat dorongan moral dari rumah, semangat belajar mereka pun
mudah padam.
Kelima, banyak anak
mengalami ketimpangan
kesiapan akademik. Mereka datang dari latar belakang pendidikan
yang sangat bervariasi—bahkan mungkin ada yang
nyaris tak bisa membaca atau berhitung dengan lancar. Tidak semua mendapat
layanan PAUD atau SD yang layak sebelumnya. Ketika disatukan dalam sistem yang
seragam, mereka yang tertinggal akan merasa terasing, tidak mampu mengikuti,
dan akhirnya memilih menyerah. Ini bukan soal kecerdasan, tapi soal titik awal
yang berbeda.
Keenam, masalah kesehatan dan gizi
juga tidak bisa dikesampingkan. Sebagian anak mengalami stunting, anemia, atau
kekurangan gizi yang serius. Ini mempengaruhi konsentrasi belajar, daya tahan
tubuh, hingga mood harian mereka. Dalam kondisi seperti ini, tak cukup hanya
memberi materi pelajaran—dibutuhkan perhatian pada asupan makanan, kesehatan
dasar, dan kebugaran tubuh yang mendukung proses belajar.
Ketujuh, ada risiko besar anak-anak ini
kembali ke lingkungan lama yang toksik. Meski Sekolah Rakyat
menawarkan tempat yang lebih baik, namun tekanan batin, ketidaknyamanan awal,
atau rasa tidak mampu bisa membuat mereka memilih keluar. Ketika kembali ke
rumah, mereka akan disambut bukan oleh pelukan, melainkan oleh lingkungan yang
sama: ajakan teman untuk putus sekolah, kerja serabutan, bahkan masuk ke
lingkaran kenakalan remaja. Maka kita tidak hanya harus membawa mereka masuk, tapi
juga memastikan mereka bertahan.
Mengapa
saya memilih untuk menyampaikan semua potensi masalah ini lebih dulu, tanpa
tergesa menawarkan solusi? Karena saya percaya, pengakuan terhadap masalah
adalah langkah awal yang jujur menuju perubahan. Ketika kita tahu luka apa yang
mereka bawa, kita bisa merancang penyembuhannya. Ketika kita memahami
ketimpangan yang mereka alami, kita bisa menyiapkan jembatannya. Dan ketika
kita menyadari bahwa ini bukan sekadar proyek pembangunan fisik, tapi
pembangunan manusia—barulah kita sungguh-sungguh bisa terlibat.
Sekolah
Rakyat bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah harapan baru bagi anak-anak yang
nyaris kehilangan harapan. Tapi harapan itu tidak akan bertahan jika tidak
dipelihara dengan pemahaman, kesabaran, dan kepekaan. Maka mari kita tidak
hanya mendukung secara material, tapi juga menyumbang pemikiran dan empati.
Karena anak-anak ini bukan sekadar murid—mereka adalah masa depan kita semua.
Pada
waktunya nanti, saya akan menuliskan pula gagasan dan tawaran solusi yang dapat
menjadi pijakan bagi kita bersama. Tapi hari ini, izinkan saya mengetuk hati
Anda semua untuk ikut menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan
kurikulum—ia adalah upaya kolektif untuk menyembuhkan dan menumbuhkan.
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
Baca juga!
Ikhtiar Keadilan Sosial melalui Sekolah Rakyat
Menuju Indonesia Kuat melalui Sekolah Rakyat
0 Komentar