Tiga Bekal Nabi Yusuf, Jalan Santri Zaman Kini

 

Wisuda Akhirussanah jenjang SMA Santri Putra Ribath Hidayatul Quran Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Pagi itu, langit Rejoso belum sepenuhnya cerah. Namun, halaman Ribath Hidayatul Quran, Pondok Pesantren Darul Ulum, justru memancarkan cahaya lain—cahaya haru dan harapan. Senin, 12 Mei 2025, menjadi momen istimewa: Wisuda Tahfidh 30 Juz dan Akhirussanah. Para santri duduk berjejer, mengenakan baju koko putih dan bersarung hitam. Di hadapan mereka, sosok yang sudah akrab dalam hati para pencinta Al-Qur’an berdiri—KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Awis.

Dalam tausiyahnya yang khas—tenang, mengalir, namun penuh daya gedor ke hati—Gus Awis tidak sekadar memberi ucapan selamat. Ia memberi bekal perjalanan hidup, yakni nasihat agar para santri menjadi pribadi yang shalih. Shalih bukan sekadar tampilan religius, tapi karakter utuh yang menyatu antara hubungan vertikal dan horizontal; antara dzikir dan pikir, antara sujud di sepertiga malam dan empati terhadap orang tua.

1. Pulanglah, meski hanya lewat suara

Nasihat pertama Gus Awis terasa begitu menyentuh: perbaiki hubungan dengan orang tua. Tidak cukup hanya menelpon sebulan sekali atau sekadar kirim kabar saat butuh. Santri yang shalih, kata beliau, adalah mereka yang selalu mengobati rindu orang tua dengan kabar, perhatian, dan doa.

Gus Awis lalu mengutip Surat Yusuf ayat 13. Dalam ayat itu, Nabi Ya’qub AS berkata:

"Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya." (QS. Yusuf: 13)

Ayat ini menunjukkan betapa cinta orang tua tidak pernah usai, meski anak telah dewasa dan pergi merantau. Bahkan Nabi Ya’qub pun merasa kehilangan meski anaknya berada dalam “tugas keluarga.” Maka, santri yang sudah diwisuda jangan sampai membuat hati orang tua sunyi. Sebab, kangen yang tidak disapa itu bisa menjadi luka.

Lalu, dalam ayat 93 surat yang sama, ketika Yusuf telah menjadi pejabat dan mampu membalik keadaan, ia tidak lupa pada ayahnya:

"Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali." (QS. Yusuf: 93)

Isyarat ini menegaskan bahwa hal kecil yang ditinggalkan oleh anak, bisa menjadi obat rindu dan sumber harapan bagi orang tua. Maka, tinggalkan sesuatu yang berarti. Tidak harus uang, bisa berupa perhatian yang tulus, doa yang diam-diam, atau kenangan manis dari akhlak baik anaknya.

2. Santri itu harus punya bekal, bukan hanya ijazah

Nasihat kedua, Gus Awis mengajak para santri agar tidak hanya pulang dengan ijazah atau sertifikat wisuda, tetapi pulang dengan bekal hidup. Bekal itu, kata beliau, telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf. Ada tiga bekal utama yang menjadi kunci kesuksesan Nabi Yusuf di manapun ia berada.

a. Ihsan: Berbuat baik tanpa pamrih

Nabi Yusuf adalah orang yang berbuat baik dalam segala kondisi, bahkan saat dipenjara. Maka tidak heran, ketika ia telah dewasa, Allah memberinya hukman wa ‘ilma (kebijaksanaan dan ilmu), sebagaimana dalam QS Yusuf ayat 22:

"Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."

Teman-temannya di penjara bahkan menyebutnya muhsinin—orang yang selalu berbuat baik (QS Yusuf: 36). Gus Awis menegaskan, jika kamu ingin Allah memuliakanmu, berbuat baiklah meski tak ada yang melihat. Santri yang shalih adalah mereka yang tetap menolong meski tidak dipuji, tetap mendoakan meski dilupakan.

b. Shidiq: Kejujuran yang menyelamatkan

Bekal kedua adalah jujur. Yusuf disebut sebagai Shiddiq, orang yang amat dipercaya, dalam QS Yusuf ayat 46. Kejujuran inilah yang menyelamatkannya dari fitnah Zulaikhah, dari jebakan penjara, dan dari godaan kekuasaan. Gus Awis menyampaikan dengan tegas, “Berbuat baik menambah kemuliaan. Tapi jujur itu yang menyelamatkan.” Dalam zaman yang penuh kepalsuan, santri shalih harus menjadi mercusuar kejujuran.

c. Fasih: Pandai bicara, tapi tidak asal bicara

Bekal terakhir adalah kemampuan komunikasi. Nabi Yusuf bisa bicara di hadapan raja. Bahkan raja pun mengakuinya sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan dipercaya (QS Yusuf: 54). Kemampuan ini bukan untuk pamer, tapi untuk menyampaikan kebenaran dan memperjuangkan maslahat. Nabi Yusuf bahkan tidak sungkan meminta jabatan agar bisa berbuat lebih luas:

"Jadikanlah aku bendaharawan negara; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (QS Yusuf: 55)

Gus Awis menegaskan, santri boleh dan bahkan harus mengambil peran strategis, selama itu diniatkan untuk dakwah dan kemaslahatan. Tapi tentu, syaratnya harus hafizh dan ‘alim—punya integritas dan kompetensi.

Beliau pun menutup dengan satu kalimat penegas: "Santri harus menguasai minimal tiga bahasa. Karena dengan bahasa, engkau bisa masuk ke banyak pintu."

Menjadi shalih adalah proses, bukan status

Nasihat-nasihat Gus Awis itu seperti kompas. Ia menunjukkan arah, tapi tidak memaksa langkah. Menjadi pribadi shalih bukan status yang ditetapkan lewat ijazah atau jubah wisuda. Ia adalah proses seumur hidup. Dimulai dengan memuliakan orang tua, lalu menanamkan ihsan dalam setiap tindakan, menjaga kejujuran, dan belajar berbicara dengan hati serta ilmu.

Para santri mungkin hari itu pulang dari pondok, tapi sejatinya mereka sedang menuju perjalanan yang lebih besar: menjadi cahaya bagi keluarga, masyarakat, dan dunia. Karena pulang paling hakiki bukan ke rumah, tapi kepada Allah dengan membawa amal yang paling shalih.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar