![]() |
Esai ini adalah catatan rekaman khutbah Idul Adha yang saya sampaikan di Masjid Baitul Muslimin. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Pagi itu, mentari 10 Dzulhijjah
1446 H baru saja menampakkan sinarnya ketika langkah-langkah ringan jamaah
mulai memenuhi pelataran Masjid Baitul Muslimin, dusun Peluk, desa Pacarpeluk.
Di antara mereka, ada yang membawa sajadah, ada pula yang menenteng anak-anak
kecil yang tampak ceria mengenakan pakaian terbaiknya. Suasana Idul Adha memang
selalu khas—damai, khidmat, dan sarat makna pengorbanan.
Saya
berdiri di hadapan mereka, diminta oleh pengurus takmir untuk menjadi imam dan
sekaligus khatib shalat Idul Adha tahun ini, yang kebetulan jatuh pada hari
Jumat, 6 Juni 2025. Sebuah amanah yang berat namun juga penuh berkah. Di
sela-sela persiapan, batin saya tak henti mengulang kalimat thayyibah takbir, tahlil, dan tahmid.
Khotbah
singkat yang saya sampaikan pagi itu mungkin tidak seberapa panjang, tapi saya
berharap mampu menggugah. Saya ajak para jamaah merenungi kembali esensi
kurban, bukan sekadar rutinitas penyembelihan tahunan, bukan pula ajang
kompetisi sosial yang menyisakan gengsi siapa menyumbang sapi atau kambing.
Saya tekankan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 37, bahwa yang
sampai kepada Allah bukan daging atau darah hewan kurban, melainkan ketakwaan
kita. Niat yang tulus dan hati yang bersihlah yang menjadikan ibadah ini
bernilai di sisi-Nya.
﴿ لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا
وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا
اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ٣٧ ﴾
Artinya :”Daging (hewan
kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi
yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya
untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu.
Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”
Ayat
ini menjadi titik tolak perenungan kita semua: sejauh mana ibadah yang kita
lakukan benar-benar murni karena Allah, atau hanya berhenti di kulit luar dan
simbol?
Ketika
Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan Ismail, yang Allah inginkan bukan
darah seorang anak, melainkan ketaatan total dari seorang ayah. Perintah itu
adalah ujian yang menjungkirbalikkan logika manusia biasa, namun diterima tanpa
ragu oleh kekasih Allah. Maka tidak heran, keteladanan ini menjadi akar sejarah
ibadah kurban, yang hingga kini terus diwariskan kepada umat Islam di seluruh
dunia.
Kurban:
Bukan Tentang Apa yang Diberi, Tapi Mengapa Diberi
Dalam
kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kita sering lupa bahwa
ibadah bukanlah sekadar aktivitas fisik. Kita bisa saja menyembelih hewan
paling gemuk, menyumbang dengan nominal tertinggi, atau mendistribusikan daging
ke seluruh pelosok. Tapi jika semua itu tidak disertai dengan niat yang benar,
maka bisa jadi hanya akan menjadi ritual kosong. Karena itu, penting bagi kita
untuk selalu menata ulang orientasi beribadah—yakni sebagai bentuk penghambaan
dan pengakuan bahwa segala yang kita miliki berasal dari-Nya dan akan kembali
kepada-Nya.
Ucapan
“hadza minka wa laka”
dalam setiap penyembelihan kurban bukanlah sekadar lafadz.
Ia adalah pengakuan spiritual terdalam bahwa semua ini hanya titipan. Bahwa
ketika kita memberikan sebagian dari rezeki untuk dikorbankan, sejatinya kita
sedang melatih hati untuk rela. Rela melepas. Rela mengikhlaskan. Dan itulah inti
dari takwa—sebuah kondisi spiritual di mana kita sadar posisi kita sebagai
hamba yang tak memiliki apa-apa selain ketaatan.
Menghidupkan
Semangat Muhsin di Era Individualisme
Surat
Al-Hajj ayat 37 tidak hanya mengajarkan tentang takwa, tetapi juga mengapresiasi
mereka yang muhsin,
yakni orang-orang yang berbuat ihsan. Di era seperti sekarang, ketika
individualisme semakin merasuk dan empati perlahan menipis, kita diajak untuk
menjadi muhsin—bukan
hanya sekadar baik, tapi berbuat kebaikan dengan kesadaran tinggi bahwa Allah
melihat segalanya.
Kurban
bukan hanya tentang hubungan vertikal antara hamba dan Tuhan. Ia juga
mengandung misi horizontal: bagaimana daging kurban bisa menjangkau
tangan-tangan dhuafa yang mungkin hanya merasakan olahan daging setahun sekali.
Maka, ketika kita berkurban, kita juga sedang membagi rasa: rasa syukur, rasa
empati, dan rasa kebersamaan.
Idul
Adha adalah momentum langka untuk memperkuat simpul-simpul kemanusiaan yang
mulai longgar. Ia adalah alarm spiritual yang mengingatkan bahwa hidup bukan
sekadar menumpuk kepemilikan, tapi juga tentang berbagi dan berkorban. Karena
itu, saya ajak jamaah untuk tidak berhenti pada ritual kurban saja, tapi terus
memperluas cakupan pengorbanan dalam bentuk yang lain: tenaga, waktu, ilmu, bahkan
rasa sabar menghadapi ujian.
Dari
Masjid ke Kehidupan: Menjaga Nilai-nilai Kurban
Selepas
khutbah selesai dan shalat ditunaikan, gema takbir masih bersahutan. Di halaman
masjid, panitia mulai bersiap dengan prosesi penyembelihan. Saya melangkah
perlahan, menyaksikan satu per satu hewan kurban ditundukkan. Setiap takbir
yang dikumandangkan menggetarkan hati. Setiap pisau yang meneteskan darah,
menjadi pengingat akan nyawa-nyawa yang direlakan atas nama ibadah.
Namun
kurban tidak boleh berhenti di sini. Ia harus kita bawa ke luar masjid, ke
tengah keluarga, ke ruang kerja, ke lingkungan masyarakat. Ketakwaan yang kita
tanam saat menyembelih hewan, harus tetap tumbuh dalam setiap keputusan hidup
kita. Keikhlasan yang kita ucapkan saat bertakbir, harus kita praktikkan saat
menghadapi konflik dan perbedaan. Karena sejatinya, hidup ini adalah kurban
yang terus berlangsung—setiap hari, setiap waktu.
Menghidupkan
Makna, Menumbuhkan Takwa
Khotbah
singkat saya di Masjid Baitul Muslimin mungkin hanya berlangsung beberapa
menit, namun saya berharap maknanya bisa tinggal lebih lama dalam hati para
jamaah. Bahwa setiap Idul Adha adalah panggilan untuk memperbaharui niat,
menguatkan takwa, dan memperdalam penghambaan. Bukan soal siapa yang
menyembelih terbanyak, tapi siapa yang paling ikhlas. Bukan soal seberapa besar
daging yang dibagi, tapi seberapa dalam makna yang ditanam.
Semoga
kurban kita tahun ini benar-benar menjadi jembatan menuju takwa, bukan hanya
ritual tahunan yang berakhir di piring-piring makan siang. Semoga setiap
"hadza minka wa laka" yang kita ucapkan, benar-benar mencerminkan
bahwa hidup ini memang berasal dari Allah dan hanya untuk-Nya semata.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kab. Jombang
0 Komentar