![]() |
Mari jaga ruang kita bersama. Demi anak-anak kita. Demi masa depan kita. Demi Indonesia yang tetap beriman dan bermartabat |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Di era digital yang tanpa
batas ini, ruang publik telah menjelma bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi
juga sebagai ruang maya tempat ide dan ekspresi berseliweran tanpa henti. Konser,
pertunjukan seni, dan kampanye sosial kini tak hanya berlangsung di lapangan
terbuka, tetapi juga di layar ponsel kita. Di tengah arus deras globalisasi
budaya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur sebagai salah satu penjaga
benteng moral bangsa, dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menyikapi
berbagai bentuk aktivitas yang secara langsung atau tidak langsung
mempromosikan perilaku menyimpang dari nilai-nilai agama dan moral masyarakat?
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur melalui Taushiyah Nomor
02/DP-P/VII/2025 telah menyuarakan keprihatinan sekaligus seruan moral yang
patut kita renungkan secara serius. Salah satu poin utama dari taushiyah
tersebut menekankan agar semua elemen masyarakat menghindari aktivitas di ruang
publik – baik konvensional maupun digital – yang mendukung atau mempromosikan
perilaku menyimpang seperti lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), maupun
perilaku serupa lainnya. Seruan ini bukan tanpa alasan. Ia lahir dari
kepedulian mendalam terhadap masa depan moral masyarakat, utamanya generasi
muda yang kini menjadi target utama kampanye gaya hidup liberal.
Ruang
publik sejatinya adalah tempat bertemunya beragam individu dari berbagai latar
belakang untuk membangun nilai bersama. Nilai inilah yang menjadi tali pengikat
solidaritas sosial. Namun, jika ruang publik justru digunakan untuk
menyebarluaskan gagasan dan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama
serta norma sosial, maka yang terjadi adalah keretakan sosial dan kegaduhan
kultural. Apalagi, jika kegiatan tersebut dibungkus dengan label ‘toleransi’,
‘ekspresi diri’, atau ‘hak asasi manusia’ tanpa mempertimbangkan nilai lokal
yang hidup di tengah masyarakat.
Fenomena
ini bukan sekadar asumsi. Kasus yang terjadi di Kabupaten Jombang—Kota
Santri—menjadi bukti konkret. Viral di media sosial, terbentuknya grup-grup
Facebook bernuansa LGBT dengan ribuan anggota jelas menggambarkan betapa
seriusnya penyusupan nilai menyimpang di ruang publik digital. Grup seperti
“Gay Jombang” dengan lebih dari 13.000 anggota serta komunitas waria lainnya
bukan hanya tempat berkumpul, tetapi juga menjadi ajang transaksi hasrat
seksual yang menyimpang. Ini sungguh memprihatinkan. Apalagi jika kita
mengingat kembali kasus kriminal yang pernah terjadi, seperti Ryan Jagal pada
2007 atau kasus pelecehan seksual oleh oknum pendidik, yang semuanya berkaitan
dengan orientasi seksual menyimpang.
Sebagian
pihak mungkin akan bersikukuh bahwa kelompok semacam ini hanya mencari ruang
aman untuk berekspresi. Namun, apakah ruang aman yang dimaksud adalah tempat
menyemai penyimpangan dan menggerus nilai-nilai agama serta norma masyarakat?
Ketika suatu komunitas menggunakan ruang publik—yang seharusnya netral dan
mempersatukan—untuk menyebarluaskan gaya hidup yang tidak sesuai dengan
moralitas mayoritas, maka itu bukan lagi kebebasan, melainkan provokasi sosial.
Di
sinilah urgensinya semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah, lembaga
keagamaan, hingga pemerintah, untuk mengambil peran aktif. Keluarga sebagai
benteng pertama harus menanamkan nilai agama dan etika sejak dini. Pendidikan
harus menjadi ruang pembentukan karakter, bukan sekadar transfer ilmu.
Pemerintah dan aparat penegak hukum wajib menjaga ruang publik dari konten dan
aktivitas yang dapat menodai kesucian masyarakat. Dan para pemuka agama, seperti
MUI, perlu terus menggaungkan narasi moralitas demi menjaga jati diri bangsa.
Banyak
pihak yang juga khawatir, jika ruang publik dibiarkan tanpa pagar nilai, maka
akan menjadi ladang subur bagi penyebaran HIV/AIDS, kekerasan seksual, dan
degradasi moral lainnya. Ini bukan lagi isu agama semata, melainkan juga
persoalan sosial dan kesehatan masyarakat. Ketika kebebasan ekspresi didewakan
tanpa batas, maka yang lahir adalah kebingungan identitas, krisis kepribadian,
dan kegamangan arah hidup. Kita tidak anti terhadap perbedaan, namun kita juga
punya tanggung jawab untuk menjaga harmoni sosial dalam bingkai nilai yang
disepakati bersama.
Maka,
saat MUI Jawa Timur mengeluarkan taushiyah yang menolak aktivitas publik yang
mempromosikan LGBT dan perilaku menyimpang lainnya, itu bukan bentuk
intoleransi. Justru itu adalah wujud kasih sayang, kepedulian, dan tanggung
jawab sosial terhadap masa depan bangsa. Taushiyah ini bukan hanya seruan
moral, melainkan seruan untuk kembali kepada fitrah manusia, kepada nilai agama,
dan kepada kesadaran kolektif akan pentingnya ruang publik yang sehat dan
bermartabat.
Ruang
publik, baik nyata maupun digital, adalah milik bersama. Maka, kebersihannya
dari konten destruktif adalah tanggung jawab bersama. Menjaga ruang publik
bukan hanya tugas polisi atau tokoh agama. Kita semua adalah penjaga nilai.
Kita semua adalah benteng moral yang harus berdiri tegak saat nilai-nilai luhur
terancam.
Kita
tentu tidak ingin generasi muda kita tumbuh dalam kebingungan, kehilangan arah,
dan kehilangan jati diri. Kita ingin mereka tumbuh dalam pelukan nilai-nilai
luhur bangsa, dalam cahaya petunjuk agama, dan dalam naungan ruang publik yang
sejuk dan bersih. Karena itulah, mari bersama-sama menolak segala bentuk
aktivitas publik yang mengarah pada promosi perilaku menyimpang, bukan dengan
kebencian, tetapi dengan cinta terhadap kemuliaan hidup, dengan harapan akan
perbaikan, dan dengan tekad menjaga kehormatan bangsa.
Jika
ruang publik adalah cermin masyarakat, maka mari kita pastikan cermin itu memantulkan
nilai-nilai mulia, bukan bayangan gelap penyimpangan moral. Mari jaga ruang
kita bersama. Demi anak-anak kita. Demi masa depan kita. Demi Indonesia yang
tetap beriman dan bermartabat.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Esai ini juga diparafrasekan menjadi naskah khutbah Jumat
berikut:
Khutbah Jumat: Menjaga Kesucian Ruang Publik dari Perilaku Menyimpang
0 Komentar