![]() |
Ini ibarat mengubah puisi indah menjadi coretan cabul di tembok umum. Hasilnya, musik yang seharusnya menghidupkan rasa justru mematikan rasa malu. |
[Pacarpeluk, Pak Guru
NINE] - Ruang publik adalah
milik kita bersama. Ia bukan sekadar tempat berkumpulnya orang banyak, tapi
juga arena di mana nilai-nilai, budaya, dan identitas suatu masyarakat saling
bertemu, berinteraksi, dan membentuk warna kehidupan sosial. Di sanalah norma
dibangun, solidaritas dipupuk, dan peradaban dijaga. Karena itu, kebersihan
ruang publik — baik fisik maupun digital — bukan hanya soal kebersihan fisik,
tapi juga kebersihan moral.
Namun, belakangan ini, ruang publik
kita sedang “diuji” oleh fenomena musik viral yang liriknya tidak sekadar
nyeleneh, tetapi secara terang-terangan vulgar, jorok, bahkan bernuansa
pornografi. Salah satu yang mencuat adalah lagu berbahasa Jawa berjudul “Bojomu
Sesok Tak Silihe” yang belakangan menjadi trending di YouTube dan digunakan
secara masif di TikTok. Di balik iramanya yang catchy, terselip lirik yang
secara gamblang berbicara tentang “meminjam pasangan orang lain” untuk
aktivitas seksual.
Kalimat-kalimat seperti “Tak rasakne
teka mburi, teka ngarep, karo mlumah, karo murep” jelas bukan sekadar
metafora ringan, melainkan ungkapan seksual eksplisit. Inilah yang menjadikan
lagu tersebut bukan hanya sekadar hiburan, tetapi ancaman terhadap kebersihan
moral ruang publik.
Ironisnya, lagu ini sejatinya bukan
karya orisinal. Musiknya diadaptasi dari lagu India legendaris “Tujhe Dekha
Toh” dari film Dilwale Dulhania Le Jayenge (1995) yang dibintangi
Shah Rukh Khan dan Kajol. Lagu aslinya sarat makna romantis, penuh nuansa cinta
yang suci dan lembut. Namun, ketika diubah menjadi versi “Bojomu Sesok Tak
Silihe” oleh Ngabeyi Sugeng Abadi pada 2023, nuansa itu hilang total,
diganti dengan lirik yang terang-terangan mesum.
Ini ibarat mengubah puisi indah menjadi
coretan cabul di tembok umum. Hasilnya, musik yang seharusnya menghidupkan rasa
justru mematikan rasa malu.
Ini Sangat Berbahaya!
Sebagian orang mungkin berkata, “Ah,
ini hanya hiburan.” Tapi mari kita jujur: hiburan bukan alasan untuk membiarkan
konten vulgar bebas mengisi ruang publik. Lirik seperti ini, ketika viral, akan
diakses oleh semua lapisan masyarakat — termasuk anak-anak dan remaja yang
belum matang secara mental maupun moral.
Penelitian di berbagai negara
menunjukkan bahwa paparan konten seksual yang vulgar di usia muda dapat memicu
normalisasi perilaku menyimpang, mendorong perilaku seksual berisiko, bahkan
mempengaruhi kesehatan mental. Dalam konteks budaya kita, yang menjunjung
tinggi kesopanan dan nilai agama, hal ini jelas bertentangan dengan norma yang
kita sepakati bersama.
Lirik mesum yang dinyanyikan di ruang
publik, apalagi dibalut musik yang mudah diingat, bekerja seperti racun yang
meresap perlahan. Mula-mula dianggap lucu, lama-lama menjadi wajar, lalu
akhirnya diterima tanpa rasa bersalah. Inilah yang disebut erosi moral.
Seruan MUI dan Tanggung Jawab Bersama
Menyadari bahaya ini, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan Taushiyah Nomor
02/DP-P/VII/2025 tentang Etika Beraktivitas Sosial Budaya di Ruang Publik.
Isinya jelas: mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjaga kejernihan dan
kondusivitas ruang publik, menghindarkan dari aktivitas yang menodai nilai
luhur, dan meminta pemerintah untuk tegas terhadap konten yang meresahkan.
Seruan ini bukan bentuk intoleransi,
tetapi wujud tanggung jawab sosial. Kebebasan berekspresi memang hak semua
orang, tetapi kebebasan yang mengabaikan etika bukan lagi kebebasan — ia
berubah menjadi kebablasan.
Ruang publik tidak boleh menjadi tempat
promosi perilaku yang bertentangan dengan agama dan moral, baik itu LGBT,
pornografi, maupun bentuk penyimpangan lainnya. Karena sekali nilai itu goyah
di ruang publik, kerusakannya akan menjalar ke ruang pribadi.
Mengapa Kita Harus Bersikap?
Mari kita lihat dari perspektif logika
sosial:
- Ruang publik
adalah cermin masyarakat.
Jika yang terpampang di cermin adalah lirik vulgar, maka kesan yang
tercipta adalah masyarakat yang permisif terhadap vulgaritas.
- Kebebasan tanpa
batas mengarah pada kekacauan nilai. Tidak semua yang bisa diucapkan
pantas untuk diucapkan di ruang bersama.
- Dampaknya lintas
generasi.
Anak-anak yang terbiasa mendengar konten mesum akan tumbuh dengan standar
moral yang bergeser.
- Tidak ada nilai
edukatif.
Lagu ini tidak membawa pesan kebaikan, justru merendahkan martabat
hubungan suami-istri dengan menjadikannya bahan lelucon cabul.
Membiarkan lagu seperti ini beredar
bebas sama saja membiarkan racun kecil masuk ke tubuh kita setiap hari. Mungkin
tidak langsung membuat sakit, tetapi perlahan akan melemahkan imun moral
bangsa.
Sebagai masyarakat, kita punya hak
sekaligus kewajiban untuk menyuarakan keberatan. Bukan untuk mematikan
kreativitas, tapi untuk memastikan kreativitas berjalan dalam koridor etika.
Kita bisa kreatif tanpa harus vulgar. Kita bisa menghibur tanpa harus cabul.
Ini juga bukan soal menolak seni atau
musik dangdut. Dangdut adalah bagian dari budaya kita yang kaya warna. Tapi
seperti halnya makanan, bahan dan bumbunya harus dijaga. Jangan sampai yang
seharusnya menyehatkan malah menjadi racun karena bumbu yang salah.
Ketika nada telah menjadi racun, maka kita tidak boleh membiarkannya mengalir
bebas di udara yang kita hirup bersama. Bojomu Sesok Tak Silihe bukan
sekadar lagu; ia adalah contoh nyata bagaimana ruang publik bisa tercemar oleh
konten yang tidak pantas. Menolaknya bukan berarti anti-hiburan, tapi berarti
pro-kebaikan.
Mari kita jaga ruang publik agar tetap
bersih, sehat, dan memuliakan martabat manusia. Sebab dari ruang publik yang
terjaga, akan lahir masyarakat yang bermartabat, dan dari masyarakat yang
bermartabat, lahirlah bangsa yang kuat.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang - Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang.
Ini adalah pendapat pribadi
penulis dan belum menjadi sikap resmi DP MUI Kabupaten Jombang.
Baca juga!
0 Komentar