[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Ketika
kita membicarakan mutu pendidikan, sering kali yang terbayang adalah guru,
kurikulum, dan fasilitas belajar. Namun ada satu elemen yang justru sering
luput dari perhatian: Komite Sekolah dan Komite Madrasah. Kedua
lembaga ini sejatinya adalah jembatan antara satuan pendidikan dan masyarakat.
Mereka menjadi wadah partisipasi orang tua, tokoh masyarakat, serta pihak-pihak
lain yang peduli terhadap pendidikan.
Sayangnya, posisi kedua komite ini
ternyata tidak setara dalam kerangka hukum yang berlaku. Permendikbud Nomor
75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dan PMA Nomor 16 Tahun 2020 tentang
Komite Madrasah memperlihatkan perbedaan yang cukup tajam, khususnya dalam
hal penggalangan dana partisipasi masyarakat. Perbedaan inilah yang
menjadi salah satu sumber keresahan di lapangan.
Mari kita lihat lebih dekat. Dalam Permendikbud
75/2016, Komite Sekolah diberi tugas melakukan penggalangan dana. Namun,
regulasi ini membatasi dana yang diperoleh hanya berbentuk “bantuan dan/atau
sumbangan”, bukan pungutan. Lebih jauh, Pasal 12 huruf b menyatakan tegas: Komite
Sekolah dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.
Sekilas, aturan ini dibuat untuk
melindungi masyarakat dari pungutan liar. Namun di balik itu, terdapat ruang
tafsir yang amat sempit. Sumbangan dari orang tua murid yang sifatnya sukarela
pun sering kali disalahartikan sebagai pungutan. Kepala sekolah dan komite pun
berada dalam posisi dilematis: kebutuhan nyata sekolah terus berjalan, tetapi
setiap langkah penggalangan dana rawan dicurigai.
Sebaliknya, PMA 16/2020 tentang
Komite Madrasah lebih tegas dan realistis. Pasal 11 ayat (3) menyebutkan: Komite
Madrasah dapat menerima sumbangan rutin yang besarannya disepakati oleh orang
tua/wali peserta didik, kepala madrasah, dan/atau yayasan. Artinya,
masyarakat justru difasilitasi untuk ikut terlibat secara resmi dan legal dalam
mendukung pembiayaan pendidikan. Tidak ada ruang tafsir abu-abu. Selama ada
kesepakatan, sumbangan tersebut sah dan dilindungi hukum.
Perbedaan ini memperlihatkan dua wajah
regulasi: di sekolah, partisipasi masyarakat terasa “dicekik” aturan; sementara
di madrasah, partisipasi justru didorong sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
Berdampak Nyata
Ketimpangan regulasi ini melahirkan
konsekuensi yang cukup serius. Banyak sekolah negeri yang akhirnya terjebak
dalam praktik “jalan tengah”. Istilah “sumbangan sukarela” digunakan,
padahal mekanisme pengumpulan dana biasanya tetap disepakati bersama. Namun,
karena tidak ada payung hukum yang kuat, praktik ini rentan dipersoalkan.
Kepala sekolah dan pengurus komite
sering menjadi target kritik bahkan ancaman dari pihak luar, mulai dari LSM
hingga media yang sensasional. Tuduhan “pungutan liar” mudah sekali diarahkan,
padahal kebutuhan dana itu nyata adanya: perbaikan toilet, tambahan alat
laboratorium, hingga penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler.
Ironisnya, di sisi lain madrasah bisa
bergerak dengan lebih leluasa. Mereka bisa menerima sumbangan rutin dari
orang tua tanpa rasa takut dicurigai. Regulasi memberi perlindungan jelas bahwa
itu adalah bagian sah dari partisipasi masyarakat. Akibatnya, sekolah negeri
sering merasa diperlakukan tidak adil, seolah-olah dilarang untuk maju dengan
dukungan masyarakat.
Padahal kita sama-sama tahu, dana BOS
dari pemerintah tidak cukup menutupi seluruh kebutuhan pendidikan. Pendidikan
berkualitas tidak hanya soal gaji guru atau buku teks, tetapi juga tentang
ruang belajar yang nyaman, sarana prasarana yang lengkap, serta kegiatan
pembelajaran yang inovatif. Semua itu membutuhkan dana tambahan yang tidak
sedikit.
Saatnya Menata Ulang
Dari perbandingan regulasi yang ada, kita
bisa menarik satu benang merah: Komite Sekolah memerlukan regulasi baru yang
lebih jelas, adil, dan realistis. Tidak cukup hanya dengan menempelkan
istilah “sumbangan” atau “bantuan”. Harus ada keberanian untuk memberi ruang
partisipasi masyarakat secara legal, transparan, dan terlindungi hukum.
Langkah pertama yang logis adalah merevisi
atau mencabut Permendikbud 75/2016. Regulasi ini bisa diganti dengan aturan
baru yang mengadopsi prinsip-prinsip dari PMA 16/2020. Beberapa hal penting
yang patut dimasukkan antara lain:
- Pengakuan resmi
atas sumbangan rutin wali murid
sepanjang disepakati bersama secara tertulis dan tidak bersifat memaksa.
- Mekanisme
transparansi dan akuntabilitas,
misalnya melalui laporan keuangan berkala yang dapat diakses semua pihak.
- Rekening khusus
komite dan sekolah
agar tidak ada tumpang tindih penggunaan dana.
- Klausul
perlindungan hukum
bagi kepala sekolah dan pengurus komite yang menjalankan penggalangan dana
sesuai prosedur.
- Penguatan fungsi
pengawasan masyarakat
sehingga partisipasi tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Dengan begitu, Komite Sekolah tidak
lagi berjalan di wilayah abu-abu, tetapi memiliki pijakan hukum yang kokoh
sekaligus ruang gerak yang sehat.
Pendidikan Butuh Gotong Royong
Pendidikan yang maju tidak bisa
ditopang hanya oleh pemerintah. Ada semangat gotong royong yang harus terus
dirawat. Di desa-desa dulu, orang tua murid dengan sukarela menyumbang genteng,
kayu, atau tenaga untuk membangun sekolah. Kini, di era modern, semangat itu
tetap ada, hanya bentuknya berbeda: berupa sumbangan dana, fasilitas, atau
program pendukung.
Menghambat partisipasi masyarakat sama
saja dengan mematikan denyut gotong royong itu sendiri. Padahal, justru dengan
keterlibatan masyarakat, sekolah akan lebih berdaya. Guru tidak sendirian,
kepala sekolah tidak merasa tertekan, dan orang tua pun merasa menjadi bagian
dari proses pendidikan anak-anaknya.
Akhirnya, kita
harus menyadari bahwa sekolah
dan madrasah adalah dua anak kandung dari Sistem Pendidikan Nasional. Tidak
adil jika salah satunya diberikan keleluasaan, sementara yang lain dipasung
dengan regulasi kaku. Permendikbud 75/2016 perlu direvisi agar
setidaknya sejalan dengan PMA 16/2020, sehingga Komite Sekolah dan
Komite Madrasah berdiri di atas pijakan hukum yang setara.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan
hanya urusan birokrasi, melainkan tanggung jawab bersama. Jika kita ingin
sekolah-sekolah negeri tetap hidup, maju, dan berdaya, maka mari kita dukung
lahirnya regulasi baru yang membuka jalan terang bagi Komite Sekolah. Sebab
tanpa itu, pendidikan kita akan terus tersandung oleh aturan yang tidak
berpihak pada kenyataan.[pgn]
Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute Yayasan Bakti Syukur
Khodijah – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Baca pula!
0 Komentar