![]() |
Dengan menjadi UPZ, sekolah memiliki kewenangan dalam mengelola zakat, infak dan sedekah yang bersumber warganya untuk diberdayakan secara maksimal. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Setiap Ramadhan, ada
satu tradisi yang hampir selalu dilakukan di sekolah-sekolah: pengumpulan zakat
fitri dari siswa. Biasanya, sekolah menugaskan murid-muridnya untuk menyetorkan
zakat melalui lembaga pendidikan mereka, dengan alasan lebih praktis, lebih
mudah, dan lebih terkoordinasi. Namun, ada satu pertanyaan besar yang sering
terlewat: apakah sekolah benar-benar memiliki kewenangan untuk mengelola zakat?
Jawabannya, tidak; sebelum sekolah memiliki status legal
sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang berhak mengelola zakat adalah Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah terdaftar
secara resmi. Sekolah, masjid, musholla, atau lembaga sosial lainnya tidak bisa
begitu saja mengumpulkan dan menyalurkan zakat tanpa dasar hukum yang jelas.
Masalah ini bukan sekadar soal
administrasi, tetapi juga soal kepercayaan dan tanggung jawab. Jika sekolah
mengelola zakat tanpa status resmi, ada risiko besar dalam akuntabilitasnya.
Bagaimana jika ada pertanyaan tentang transparansi dana? Bagaimana jika ada
ketidaksesuaian dalam penyaluran zakat? Apakah muzakki (orang yang membayar
zakat) bisa benar-benar yakin bahwa zakatnya sampai kepada yang berhak?
Di sinilah peran UPZ menjadi sangat
penting. Dengan menjadi UPZ yang resmi di bawah koordinasi BAZNAS, sekolah
mendapatkan legitimasi dalam pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah. Legalitas
ini bukan hanya soal mengikuti aturan pemerintah, tetapi juga memastikan bahwa
zakat yang dikelola benar-benar sampai kepada yang berhak dengan cara yang
sesuai dengan syariat Islam.
Banyak yang mungkin bertanya, “Apa
manfaatnya kalau sekolah menjadi UPZ?” Jawabannya cukup banyak. Pertama,
sekolah bisa mengelola dana zakat dengan lebih profesional dan transparan.
Selama ini, pengelolaan zakat di sekolah sering kali hanya mengandalkan
kepercayaan tanpa sistem yang jelas. Dengan adanya UPZ, setiap rupiah yang
dikumpulkan bisa dipertanggungjawabkan, baik kepada pihak sekolah, orang tua
murid, maupun kepada pemerintah.
Kedua, potensi zakat, infaq, dan
sedekah di sekolah sebenarnya cukup besar. Bayangkan, setiap Jumat ada infaq
dari murid dan guru, ada zakat penghasilan dari para karyawan dan tenaga
pengajar, ada zakat fitri yang rutin dikumpulkan saat Ramadhan, dan ada sedekah
sukarela yang bisa masuk kapan saja. Jika dikelola dengan baik, dana ini bisa
menjadi kekuatan luar biasa untuk berbagai program sosial dan pendidikan.
Ketiga, dengan adanya UPZ, sekolah bisa
lebih kreatif dalam menyalurkan dana zakat. Misalnya, dana bisa digunakan untuk
memberikan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, membantu keluarga murid yang
sedang mengalami kesulitan ekonomi, atau bahkan mendukung program sosial di
luar lingkungan sekolah. Dengan cara ini, zakat tidak hanya menjadi kewajiban
tahunan, tetapi benar-benar menjadi alat pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, pembentukan UPZ juga bisa
menjadi sarana edukasi bagi siswa. Mereka tidak hanya belajar tentang zakat
dari buku pelajaran, tetapi juga bisa melihat langsung bagaimana zakat dikelola
secara profesional. Bahkan, sekolah bisa melibatkan murid dalam berbagai
kegiatan terkait pengelolaan zakat, sehingga mereka tumbuh dengan pemahaman
yang lebih dalam tentang pentingnya zakat dan bagaimana ia bisa menjadi solusi
sosial bagi masyarakat.
Lalu, bagaimana caranya agar sekolah
bisa menjadi UPZ? Prosesnya sebenarnya cukup sederhana. Langkah pertama adalah
pihak sekolah melakukan audiensi dengan BAZNAS untuk mendiskusikan pembentukan
UPZ. Setelah itu, sekolah mengajukan surat permohonan resmi, disertai dengan
daftar pengurus UPZ, yang biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, dan
bendahara. Jika permohonan disetujui, maka SK UPZ akan diterbitkan, dan sekolah
resmi menjadi bagian dari jaringan pengelolaan zakat nasional.
Setelah status UPZ diberikan, tugas
berikutnya adalah menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) yang
mencakup rencana pengumpulan serta penyaluran dana zakat selama satu tahun.
Tentu saja, BAZNAS tidak akan membiarkan UPZ berjalan sendiri. Ada monitoring
dan evaluasi rutin untuk memastikan bahwa pengelolaan zakat berjalan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Secara organisasi, UPZ di sekolah akan
tetap berada di bawah koordinasi BAZNAS, dan namanya akan menggabungkan nama
sekolah dengan BAZNAS. Masa jabatan pengurus UPZ biasanya lima tahun, dengan
kemungkinan diperpanjang jika masih memenuhi kriteria. Dengan sistem ini,
diharapkan pengelolaan zakat bisa berjalan lebih tertata, bukan hanya
berdasarkan kepercayaan semata, tetapi juga dengan sistem yang transparan dan
akuntabel.
Jadi, jika sekolah sudah terbiasa
mengelola zakat, kenapa tidak sekalian mengurus legalitasnya? Dengan menjadi
UPZ, sekolah tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga
membangun kepercayaan yang lebih kuat di antara para muzakki.
Sebab, sebaik apa pun niatnya, jika
pengelolaannya tidak sah, maka bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Lebih
baik mengikuti jalur yang benar sejak awal, agar kebaikan yang dilakukan
benar-benar membawa manfaat yang luas, bukan hanya bagi sekolah, tetapi juga
bagi umat.
Zakat, infaq, dan sedekah adalah
instrumen penting dalam Islam untuk membantu mereka yang membutuhkan. Jika
dikelola dengan baik, ia bisa menjadi solusi bagi berbagai permasalahan sosial,
dari pendidikan hingga kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu, sekolah yang
sudah terbiasa mengelola zakat harus segera mengambil langkah untuk menjadi UPZ
resmi.
Menyetorkan zakat melalui sekolah
memang praktis bagi warganya.
Namun, lebih penting lagi memastikan bahwa prosesnya benar, legal, dan membawa
berkah bagi semua pihak. Jadi, apakah sekolah tempat anak-anak kita belajar
sudah memiliki status sebagai UPZ? Jika belum, mungkin ini saatnya untuk mulai
mempertimbangkannya.[pgn]
Nine Adien Maulana, Mantan Ketua NU CARE-LAZISNU PCNU Jombang
0 Komentar