![]() |
Gelar Karya ini menjadi puncak kegiatan pembelajaran P5 kelas XI di semester genap tahun pelajaran 2024/2025 |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Senin siang, 5 Mei 2025, aula
Ki Hajar Dewantara SMAN 2 Jombang mendadak menjadi panggung semarak yang
menyuguhkan potret kebudayaan lokal dengan cara yang berbeda dari biasanya. Bukan lewat
seminar atau ceramah budaya, melainkan melalui sepuluh karya video dokumenter
hasil eksplorasi siswa-siswi kelas XI dalam kegiatan Gelar Karya Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) bertema “Menjadi Penelusur Warisan
Budaya Masa Lampau”. Sebuah tema yang mengajak siswa untuk menengok masa lalu,
namun dengan semangat masa kini.
Proyek ini bukan sekadar
pemenuhan tuntutan Kurikulum Merdeka, tetapi lebih dari itu, ia menjadi ruang
aktualisasi pelajar untuk mengenal, memahami, dan mencintai budaya lokal secara
lebih bermakna. Dusun Segunung, Kecamatan Wonosalam, dipilih sebagai fokus
eksplorasi karena kaya akan tradisi yang masih lestari dan menyimpan
nilai-nilai luhur. Melalui kamera sederhana, suara rekaman yang kadang bergema
samar, dan narasi yang dikemas dengan semangat muda, para siswa menghadirkan
kisah-kisah luar biasa dari jantung kebudayaan desa.
Ada kelompok yang merekam
tradisi Wiwit Kopi, sebuah ritual ungkapan syukur atas panen kopi yang
dijalankan dengan penuh ketulusan oleh warga. Ada pula yang mendokumentasikan
upacara Grebeg Suro, tradisi spiritual tahunan yang menghadirkan suasana
khidmat dan harmoni. Tidak ketinggalan pula tradisi Permata—pelestarian mata
air yang dilaksanakan dengan kearifan ekologis yang nyaris tak diajarkan di
bangku sekolah. Menonton tayangan-tayangan ini terasa seperti dibawa
berpetualang, bukan hanya secara visual, tetapi juga secara batin.
Di balik hasil yang
ditampilkan, ada proses belajar yang sungguh luar biasa. Para siswa bukan hanya
diajak menggali informasi, tetapi juga menempa kemampuan berpikir kritis,
kreatif, dan kolaboratif. Berdasarkan data refleksi pasca acara yang diisi oleh
para peserta, sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka baru pertama kali
mengetahui secara langsung tentang tradisi budaya di Dusun Segunung. Ini
menjadi indikasi bahwa kegiatan ini tidak hanya memberikan wawasan baru, tetapi
juga membuka ruang kesadaran bahwa kearifan lokal bukan sesuatu yang jauh dan
asing, melainkan dekat dan layak dirawat bersama.
Sebagian besar responden juga
menilai pengalaman ini sebagai pengalaman belajar yang bermakna dan
menyenangkan. Meskipun dihadapkan dengan tantangan seperti kesulitan teknis
dalam merekam dan mengedit video, keterbatasan alat, hingga ketegangan saat
wawancara dengan tokoh adat, mereka justru merasa pengalaman tersebut
memberikan pelajaran yang tak ternilai. Beberapa siswa bahkan mengaku
mendapatkan pelajaran tentang pentingnya kerja sama, kesabaran, dan tanggung
jawab dalam menjalankan tugas kelompok. Mereka belajar bahwa keberhasilan tidak
selalu bergantung pada fasilitas yang canggih, tetapi pada semangat,
kreativitas, dan kolaborasi.
Yang menarik, banyak siswa
menemukan bahwa pelajaran dari kegiatan ini bisa diintegrasikan ke berbagai
mata pelajaran lainnya. Dalam Bahasa Indonesia, mereka belajar membuat naskah
narasi dan reportase. Dalam IPS dan Sosiologi, mereka memahami dinamika sosial
masyarakat adat. Dalam Agama, mereka menyerap nilai spiritual dari tradisi yang
dijalani dengan penuh keikhlasan. Bahkan dalam pelajaran Informatika, mereka belajar
mengedit video dan mengelola file digital. Dengan kata lain, Gelar Karya P5 ini
menjadi titik temu antara ilmu, seni, dan nilai kehidupan.
Salah satu dampak paling
signifikan dari kegiatan ini adalah tumbuhnya rasa bangga terhadap budaya
sendiri. Beberapa siswa dalam refleksinya menuliskan bahwa mereka kini lebih
menghargai dan merasa memiliki budaya lokal. Ada pula yang mengungkapkan
keinginannya untuk mengenalkan budaya tersebut kepada orang luar lewat media
sosial. Hal ini menunjukkan bahwa proyek ini tidak hanya menumbuhkan kesadaran
budaya, tetapi juga menyalakan semangat pelestarian dan publikasi nilai-nilai
luhur yang selama ini hanya hidup di tengah masyarakat lokal secara
turun-temurun.
Respons positif juga datang
dari para guru dan fasilitator yang terlibat. Mereka mengapresiasi semangat
siswa dalam menelusuri dan merekam kekayaan budaya lokal. Beberapa guru
menyebut kegiatan ini sebagai contoh ideal dari pembelajaran berbasis proyek
yang kontekstual dan menyentuh sisi kemanusiaan. Tak sedikit yang berharap agar
kegiatan serupa dapat dikembangkan secara berkala, tidak hanya sebagai
rutinitas tahunan, tetapi sebagai bagian dari kultur belajar sekolah.
Dalam refleksi akhir, sebagian
besar siswa menyatakan harapan agar Gelar Karya P5 ini bisa terus diadakan dan
melibatkan lebih banyak lokasi serta tradisi lain di Jombang dan sekitarnya.
Mereka ingin agar generasi muda tak hanya menjadi pengguna teknologi dan
penikmat budaya luar, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur dari tempat asal
mereka sendiri. Beberapa bahkan mengusulkan agar video hasil karya mereka dapat
dipublikasikan lebih luas melalui kanal YouTube sekolah atau pameran digital
agar manfaatnya bisa dirasakan masyarakat luas.
Dari aula itu, semangat yang
menyala bukan hanya semangat menyelesaikan tugas, tetapi semangat menjadi
pelajar Pancasila sejati: yang beriman, berkebinekaan global, bergotong royong,
bernalar kritis, mandiri, dan kreatif. Semua nilai itu bukan diajarkan lewat
ceramah, tetapi dilatih melalui pengalaman nyata—menelusuri jejak budaya,
berbincang dengan tokoh lokal, hingga menyusun narasi dokumenter yang
menggugah.
Gelar Karya P5 bukan sekadar acara puncak. Ia adalah puncak dari proses belajar yang hidup. Ia adalah panggung bagi generasi muda untuk berkata: kami peduli, kami bisa, dan kami akan menjaga warisan budaya ini untuk masa depan Indonesia yang lebih berakar dan berdaya.[pgn]
Baca juga!
0 Komentar