Bukan Sekadar Wawancara Biasa

 

Wawancara ini adalah tahap akhir rangkaian seleksi calon anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang yang harus diikuti setiap peserta.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Ahad pagi, 6 Juli 2025, menjadi hari yang tak biasa dalam perjalanan saya sebagai seorang guru dan pegiat pendidikan. Bukan karena langit Jombang tampak lebih cerah dari biasanya, tetapi karena hati saya terasa penuh—antara harap, cemas, dan tekad yang membuncah. Hari itu, saya mengikuti tahap akhir seleksi Calon Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang. Setelah sebelumnya mempresentasikan makalah yang memuat sejumlah gagasan dan mempertahankannya di hadapan penguji tentang penguatan peran Dewan Pendidikan, kini saya bersiap menjalani sesi wawancara.

Saya melangkah ke sebuah ruangan sederhana namun penuh arti. Tidak ada pernak-pernik yang mewah, tak pula deretan mikrofon seperti di ruang konferensi. Hanya ada meja kayu panjang, dua orang pewawancara, dan selembar kertas biodata di depan mereka. Namun suasana yang tercipta di dalamnya jauh dari tegang. Justru terasa gayeng—hangat, terbuka, dan akrab. Kami berdialog dalam suasana yang cair: ada canda ringan, ada tanya-jawab yang jujur, dan ada momen hening sejenak untuk merenungi substansi.

Saya tidak tahu pasti apa yang menjadi indikator utama dalam wawancara ini. Apakah pengalaman? Apakah gagasan? Ataukah hal-hal yang lebih tak kasatmata, seperti ketulusan, integritas, atau semangat pengabdian? Tapi saya merasa, tim seleksi tidak sedang mencari orang yang paling pandai berbicara atau paling hebat mencetak prestasi. Mereka tampaknya sedang mencari siapa yang paling siap melayani, mendengar, dan bekerja untuk pendidikan.

Salah satu pewawancara membuka dengan pertanyaan yang langsung mengarah ke substansi: "Apa judul dan poin-poin penting dari makalah yang Anda buat?"

Saya pun menjawab dengan mantap. Judul makalah saya adalah “Gagasan Penguatan Peran Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang.” Dalam makalah itu saya menawarkan empat gagasan utama, yaitu:

1. Revitalisasi Fungsi Advokasi dan Representasi, agar Dewan Pendidikan benar-benar menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dengan kebijakan pemerintah daerah.

2. Kemitraan Strategis dengan Pesantren dan Komunitas Digital, karena sinergi antara lembaga pendidikan tradisional dan kekuatan dunia digital adalah kunci kemajuan pendidikan Jombang.

3. Transformasi Literasi Digital, sebuah kebutuhan mendesak agar guru, siswa, dan orang tua tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga bijak dalam menggunakan informasi.

4. Pelibatan MGMP atau Komunitas Guru dalam Kebijakan, sebagai upaya memastikan bahwa keputusan pendidikan tidak terlepas dari suara para praktisi di lapangan.

Setelah itu, datanglah pertanyaan kedua yang menurut saya sangat menarik dan cukup sensitif: “Apa pendapat Anda tentang kebijakan pemerintah yang menjadikan prestasi tahfidh al-Qur’an sebagai salah satu jalur penerimaan siswa baru? Apakah itu tidak diskriminatif karena hanya mengakomodasi siswa beragama Islam?”

Saya tahu, ini bukan sekadar pertanyaan. Ini ujian nalar, nilai, dan keberanian berpikir kritis. Maka saya menjawab dengan jujur dan berpijak pada logika keadilan kontekstual.

Saya menyampaikan bahwa saya sangat mendukung kebijakan tersebut. Sebab hakikat dari kebijakan ini adalah bentuk apresiasi terhadap kearifan lokal. Di wilayah seperti Jombang, yang dikenal sebagai kota santri dan memiliki banyak lembaga tahfidh, tentu relevan jika prestasi tahfidh dijadikan jalur khusus penerimaan siswa. Ini bukan diskriminasi, tetapi pengakuan terhadap capaian luar biasa dalam bidang keagamaan yang telah menjadi bagian dari identitas masyarakat setempat.

Namun demikian, saya juga menegaskan bahwa prinsipnya bisa diperluas. Bila di wilayah mayoritas non-Muslim ada siswa yang mampu menghafal kitab sucinya, dengan bukti legal yang sah, maka mereka juga patut mendapat jalur apresiasi serupa. Dengan cara itulah keadilan diwujudkan—bukan dengan menyamaratakan, tetapi dengan mengakomodasi keragaman dalam bingkai proporsionalitas.

Kebijakan tahfidh ini pun porsinya sangat kecil dalam keseluruhan sistem penerimaan siswa. Maka tetap ada ruang luas bagi jalur prestasi lainnya. Bila dihitung secara jernih, ia justru menambah variasi jalur masuk dan memperluas akses, bukan menutupnya.

Wawancara ini pada akhirnya tidak terasa seperti ujian. Lebih tepat disebut sebagai ruang pengakuan. Bukan tentang seberapa tinggi saya bisa menjelaskan konsep, tetapi seberapa dalam saya memahami realitas dan meresponsnya dengan sikap yang bijak. Bagi saya, inilah saat untuk menunjukkan siapa saya sebenarnya: seorang pendidik yang tidak sekadar mengajar, tetapi ingin ikut mewarnai arah kebijakan pendidikan di Jombang.

Tahapan seleksi kini telah saya lalui sepenuh hati. Tinggal menanti hasil yang akan diumumkan pada 11 Juli 2025. Sebanyak 22 nama akan diajukan kepada Bupati Jombang, lalu disaring menjadi 11 orang untuk dilantik sebagai anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang masa bakti 2025–2030.

Saya tidak ingin terlalu berharap, tetapi saya juga tidak menyiapkan diri untuk kecewa. Apa pun hasilnya nanti, saya telah berikhtiar sebaik mungkin. Saya telah menyampaikan gagasan, menjalani proses dengan jujur, dan meletakkan hati saya di dalamnya. Kini, semua saya kembalikan kepada kehendak Allah SWT dan keputusan tim seleksi.

Jika terpilih, maka itu amanah yang besar dan harus saya emban dengan penuh tanggung jawab. Jika tidak, saya akan tetap melanjutkan pengabdian di ruang-ruang lain: kelas SMAN 2 Jombang, DP MUI, AGPAII, MGMP PAI, dan organisasi khidmat yang lain.

Karena sesungguhnya, pengabdian tidak hanya bisa dilakukan dari balik meja rapat. Ia bisa tumbuh dari ruang kelas kecil, dari forum diskusi sederhana, dari program literasi digital melalui blog dan media sosial, atau dari sapaan hangat kepada murid-murid yang sedang mencari jati diri.

Jombang butuh banyak tangan yang mau bekerja, banyak hati yang mau mendengar, dan banyak pikiran yang mau diajak berpikir bersama. Dan saya ingin terus menjadi bagian dari gerak itu—sekalipun kecil, asalkan terus memberi makna.

Semoga langkah ini menjadi bagian kecil dari mozaik besar kemajuan pendidikan Jombang. Karena pendidikan bukan semata soal kurikulum dan angka, tapi soal cinta, komitmen, dan keyakinan bahwa setiap anak berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 JOMBANG, Peserta seleksi calon anggota Dewan Pendidikan nomor urut 15.

 

Baca juga!

Menyuarakan Pendidikan Jombang yang Berkeadilan

Langkah Kecil, Harapan Besar untuk Pendidikan Jombang

 

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Mantab..gagasan yg mas Adien usung mencerminkan kedekatan SDR SBG insan pendidik DG lingkungan di Jombang..SMG bs mengabdi di sgl tempat..

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)