Dari Upacara Bendera ke Kenduri Kemerdekaan

 

Tradisi di SMAN 2 Jombang selalu menghadirkan rasa hangat. Seusai upacara, kami berkumpul di ruang guru untuk melanjutkan tasyakuran kemerdekaan.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Ahad pagi, 17 Agustus 2025, lapangan SMAN 2 Jombang berubah menjadi panggung besar peringatan kemerdekaan. Udara masih segar, namun semangat kami yang hadir seolah membakar pagi itu dengan rasa syukur dan bangga. Sesuai instruksi pimpinan, semua guru dan murid diwajibkan mengenakan pakaian adat nasional. Dari jauh tampak warna-warni busana yang berbeda-beda: ada kebaya anggun, beskap Jawa, pakaian adat Bugis, hingga ikat kepala khas Bali. Kehadiran pakaian adat itu menjadi simbol betapa kemerdekaan bangsa ini berdiri di atas perbedaan yang dirajut dalam persatuan.

Upacara berlangsung dengan khidmat. Saat Sang Merah Putih perlahan naik di tiang bendera, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” berkumandang, dan setiap liriknya terasa menusuk hati. Pada momen itu, saya teringat bahwa 80 tahun kemerdekaan bukanlah angka biasa. Ia adalah perjalanan panjang penuh pengorbanan, perjuangan yang diwarnai darah dan air mata para pahlawan. Maka, berdiri di lapangan sekolah sambil menyanyikan lagu kebangsaan sesungguhnya adalah bagian dari doa, bagian dari penghormatan kepada mereka yang telah mendahului kita.

Upacara itu ditutup dengan pemberian apresiasi kepada para murid berprestasi. Mereka yang berhasil mengharumkan nama sekolah, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional, dipanggil ke depan. Wajah-wajah muda itu berdiri penuh percaya diri, seolah mewakili generasi penerus yang siap melanjutkan estafet perjuangan.

Usai upacara, suasana menjadi lebih cair. Murid-murid dan guru berfoto bersama, mengabadikan kebahagiaan. Barangkali bagi sebagian orang itu hanya aktivitas biasa, namun sesungguhnya ia menyimpan makna kebersamaan yang sangat penting. Dari senyum yang terekam kamera lahir rasa memiliki, dari pose yang sederhana lahir kebanggaan menjadi bagian dari bangsa yang besar. Kebersamaan seperti inilah yang menjaga semangat kolektif kita sebagai bangsa: bahwa perjuangan di masa depan hanya bisa dilakukan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri.

Tradisi di SMAN 2 Jombang selalu menghadirkan rasa hangat. Seusai upacara, kami berkumpul di ruang guru untuk melanjutkan tasyakuran kemerdekaan. Empat nampan besar berisi tumpeng telah disiapkan. Kehadiran tumpeng bukan sekadar makanan, melainkan simbol syukur. Bentuknya yang mengerucut ke atas seolah mengingatkan bahwa tujuan akhir dari perjuangan bangsa adalah mengangkat derajat setinggi-tingginya dan selalu berserah kepada Yang Maha Kuasa.

Saat saya duduk di depan ruang guru, tiba-tiba Pak Budiono, Kepala Sekolah, masuk dan secara spontan meminta saya untuk memberikan refleksi singkat sebelum memimpin doa. Permintaan itu tentu tidak bisa saya tolak. Maka setelah pembukaan singkat oleh Pak Abdul Gani, saya pun berbicara di hadapan rekan guru yang hadir.

Saya menyampaikan bahwa peringatan kemerdekaan harus selalu dimulai dengan rasa syukur. Kemerdekaan bukan hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan anugerah yang diperjuangkan dengan susah payah. Karenanya, kemerdekaan adalah amanah yang harus terus dijaga. Saya juga menegaskan pentingnya menghormati jasa para pahlawan. Tanpa pengorbanan mereka, kita tidak mungkin bisa berdiri di sini sebagai bangsa yang merdeka. Mengingat pahlawan bukan sekadar menyebut nama, tetapi meneruskan cita-cita mereka dengan tindakan nyata.

Saya lalu mengajak semua yang hadir untuk merenungkan betapa persatuan adalah modal utama bangsa ini. Indonesia adalah rumah bersama yang hanya bisa berdiri kokoh bila setiap warganya saling menjaga. Perbedaan suku, bahasa, dan budaya bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang memperkuat persaudaraan kita. Di era sekarang, menjaga persatuan sama pentingnya dengan menjaga kedaulatan. Kedaulatan tidak lagi hanya berarti mempertahankan batas wilayah, melainkan juga kemandirian ekonomi, politik, budaya, dan bahkan kedaulatan digital. Bangsa ini harus berdiri tegak di hadapan dunia, bukan sekadar sebagai pasar, tetapi sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Saya juga menyinggung soal kesejahteraan rakyat. Apa artinya merdeka jika masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan? Pembangunan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari kota hingga pelosok desa. Kemerdekaan sejati baru bisa dirasakan ketika rakyatnya sejahtera. Untuk mencapainya, pendidikan menjadi kunci utama. Pendidikan yang menumbuhkan karakter, membekali dengan teknologi, dan memupuk semangat berkarya. Generasi muda tidak boleh berhenti pada seremoni, mereka harus bergerak menciptakan karya nyata.

Di akhir refleksi, saya menekankan pentingnya komitmen kebangsaan. Tema HUT ke-80, Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju, bukanlah sekadar hiasan spanduk. Ia adalah arah perjuangan bersama yang harus dihidupi. Kemerdekaan bukan untuk dirayakan sesaat, tetapi untuk dijaga dengan kesungguhan hati dan kerja keras setiap hari.

Usai refleksi, saya menutup dengan doa syukur. Doa itu lahir dari hati yang tulus: mengenang jasa para pahlawan, memohon persatuan bangsa, kesejahteraan rakyat, bimbingan bagi para pemimpin, serta kekuatan bagi generasi penerus agar mampu membawa Indonesia maju dan terhormat di mata dunia. Doa sederhana itu saya akhiri dengan janji, bahwa kemerdekaan ini akan kami jaga dengan iman, kerja, dan cinta tanah air yang tak pernah padam.

Acara kemudian berlanjut dengan makan bersama, menyantap tumpeng kemerdekaan. Dari obrolan ringan, tawa, dan suapan nasi, lahirlah rasa kebersamaan yang tak ternilai. Di situlah saya menyadari bahwa mengisi kemerdekaan tidak selalu harus dengan hal-hal besar. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana: saling mendengar, saling menghargai, dan saling bekerja sama. [pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang

 

Baca juga!

Makna Upacara Bendera Lebih dari Sekadar Busana

Antara Pengibaran dan Pengerekan Bendera


Posting Komentar

0 Komentar