11 Tahun Wacana Bawana: Sebuah Catatan Penuh Rasa Syukur

 

Beberapa hari sebelum ulang tahunnya, Wacana tiba-tiba menyampaikan keinginannya: ia ingin berbagi makanan kepada teman-teman dan saudara. Keinginan yang sederhana, tetapi menunjukkan bahwa ia mulai memahami makna berbagi dan nilai kebahagiaan dari memberi. 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Sebelas tahun bukanlah waktu yang panjang, namun cukup untuk melihat bagaimana seorang anak tumbuh dari sekadar sosok mungil yang kita gendong menjadi pribadi kecil yang mulai memahami dunia dengan caranya sendiri. Sabtu, 22 November 2025, menjadi momen penting bagi keluarga kecil kami. Pada hari itu, Wacana Bawana, anak ketiga kami, genap berusia 11 tahun. Ia lahir Sabtu Kliwon, 22 November 2014 di Balai Pengobatan Pratama Madinah Pacarpeluk—lahir dengan mudah, cepat, dan penuh kelegaan, ditangani oleh bidan Bu Enny Nuruddin. Hari itu kini kembali hadir, bukan sebagai nostalgia semata, tetapi sebagai pengingat bahwa perjalanan tumbuhnya membawa banyak cerita, nilai, dan rasa syukur.

Beberapa hari sebelum ulang tahunnya, Wacana tiba-tiba menyampaikan keinginannya: ia ingin berbagi makanan kepada teman-teman dan saudara. Keinginan yang sederhana, tetapi menunjukkan bahwa ia mulai memahami makna berbagi dan nilai kebahagiaan dari memberi. Istriku bertanya, “Berbagi kue atau bubur?” Wacana tidak langsung menjawab. Ia justru meminta pendapat kami—suatu kebiasaan baik yang terbentuk dari komunikasi yang selama ini kami bangun. Saya pun mengusulkan bubur, bukan sekadar karena rasanya yang enak, tetapi karena jarang ada tasyakuran yang berbagi bubur. Akhirnya ia setuju, dan bubur khas Kepuhkembeng—campuran kacang hijau, mutiara, ketan hitam, bubur beras hijau pandan, dan santan gurih—menjadi pilihan yang penuh kehangatan.

Pagi itu, setelah Subuh, saya dan istri berangkat ke Jombang. Kami berbelanja kebutuhan sehari-hari sekaligus mengambil 38 kotak bubur untuk dibagikan. Di rumah, Wacana langsung membagikannya kepada teman-teman dan beberapa saudara. Ekspresinya cerah, terutama ketika menerima ucapan selamat ulang tahun. Bahkan beberapa warga memuji, “Wacana, bubure uenak. Tuku nang Jombang yo?” Ia mengiyakan sambil tersenyum lebar. Dari sorot matanya, terlihat kebahagiaan seorang anak yang merasakan bahwa memberi itu ternyata menghadirkan kegembiraan tersendiri.

Yang membuat hari itu semakin hidup adalah rencana kecil bersama teman-temannya. Mereka sepakat mengadakan makan-makan malam. Pagi hingga siang mereka sudah membagikan bubur, malamnya mereka ingin memasak dan makan bersama. Mereka merencanakan mancing ikan nila di Pagak, membakarnya, lalu menyantapnya bersama. Wacana meminta bundanya memasakkan nasi, sementara ia dan teman-temannya mengurus ikan bakarnya. Ada kemandirian di sana. Ada rasa persahabatan yang tumbuh. Dan ada nilai kebersamaan yang semakin ia pahami melalui aktivitas sederhana.

Di usianya yang ke-11, Wacana kini duduk di kelas 5 SD Islam Roushon Fikr. Ia belum dikhitan, dan ia sudah punya rencana jelas: khitan ketika masuk kelas 6. Bahkan arah pendidikannya setelah lulus SD pun telah disepakati. Ia akan melanjutkan ke asrama Hidayatul Quran Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, mengikuti jejak mbaknya. Kami sebagai orang tua memang berharap ketiga anak kami mendapat pengalaman mondok. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga tempat menempa karakter. Caraka Shankara, anak pertama kami, pernah mondok di Hidayatul Quran Sentul meski hanya dua setengah tahun. Taliya, anak kedua, menyelesaikan pendidikannya dengan baik di Rejoso hingga melanjutkan ke MAN 2 Kota Malang sambil mondok di Ma’had Al-Qolam. Harapan kami, Wacana kelak bisa mengikuti jejak itu dengan tuntas dan mantap.

Sifat kedewasaan kecil tampak pada diri Wacana. Ia sudah memiliki prinsip dalam beberapa hal, tetapi tidak kaku. Ia bisa berdebat, tetapi tetap rasional. Kami selalu mengatakan kepada ketiga anak kami, “Kalian boleh berbeda pendapat dengan Ayah dan Bunda, asal bisa menjelaskan secara logis. Kalau tidak rasional atau membahayakan, kalian harus menerima arahan kami.” Dan Wacana memahami itu. Ia bukan anak yang keras kepala tanpa pertimbangan; ia belajar menyampaikan alasan, belajar menerima nasihat, dan belajar bahwa keputusan tidak datang dari ego semata, tetapi dari pertimbangan yang matang.

Menjelang ulang tahunnya, Wacana mengikuti kegiatan English Explore ke Borobudur dan Yogyakarta. Ini adalah pengalaman pertamanya berkunjung ke Yogyakarta, sesuatu yang ia nantikan sejak lama. Namun ada hal lucu yang mewarnai hari-hari sebelum keberangkatannya: ia keranjingan menyanyikan lagu-lagu dangdut lawas Rhoma Irama, khususnya Bahtera Cinta. Setiap saat ia menyanyikannya—bahkan ketika kami mengantarnya ke sekolah untuk keberangkatan. Dalam bus, ia tetap menyanyikannya sampai teman-temannya berkata, “Iki lagu e Bapak-bapak!” Kami hanya tertawa mendengarnya. Ada sesuatu yang unik pada diri Wacana: ia tumbuh dalam dunia digital sebagai generasi Z, tetapi hatinya tetap dekat dengan nuansa desa dan budaya lama.

Kedekatannya dengan kehidupan desa sangat terasa. Ia sering bermain di sawah, mencari ikan di parit, mancing di sungai, bahkan menjual ikan dan udang hasil tangkapannya. Hasil penjualan itu dibagi rata dengan teman-temannya. Ini bukan hanya permainan; ini pelajaran hidup tentang kerja keras, berbagi, dan kejujuran.

Tentu, seperti anak lain, ia juga suka bermain game di smartphone. Namun yang sangat kami syukuri adalah kesadarannya untuk salat berjamaah. Setiap kali azan berkumandang, ia dan teman-temannya langsung menghentikan permainan dan berlari ke masjid. Setelah salat, barulah mereka bermain lagi. Ini menunjukkan bahwa nilai ibadah telah tertanam dengan baik dalam dirinya.

Ada satu hal yang selalu membuat kami tersenyum: ekspresinya saat marah. Bila ia merasa tidak bersalah, ia bisa ngomel panjang—sifat yang sangat mirip dengan bundanya. Saya sering menggoda istri saya, “Itu copy-an sampean!”

Namun di balik segala keunikan itu, ada satu benang merah yang jelas: Wacana tumbuh menjadi anak yang baik, penuh empati, bertanggung jawab, dan mulai memahami nilai-nilai hidup yang penting. Pada usia 11 tahun ini, kami tidak berharap ia menjadi sempurna. Kami hanya berdoa agar ia terus tumbuh dengan kebaikan di hatinya.

Semoga Allah SWT membimbing setiap langkahmu, Wacana Bawana. Semoga engkau tumbuh menjadi manusia yang mencintai ilmu, menghormati orang tua, dekat dengan Al-Qur’an, dan membawa kebaikan bagi sekelilingmu.

Selamat ulang tahun ke-11, nak. Dunia kecil kita semakin indah karena hadirmu. [pgn]

Posting Komentar

0 Komentar